Kamis, 10 Desember 2009

Menjadi Guru Andal Menjawab Pertanyaan

SUATU TIPS DARI FUAD HASAN....

Guru yang baik adalah guru yang terus-menerus berusaha memperluas wawasannya. Apakah itu wawasan umum maupun wawasan mengenai bidang studinya. Usaha guru untuk terus-menerus berusaha melakukan penyegaran dan pemutakhiran pengetahuannya bisa dinilai sebagai kegiatan otodidaktik. Kegiatan otodidaktik itu merupakan salah satu perwujudan pendidikan sepanjang hayat (lifelong education).
Sebagai guru kita seringkali mendapat pertanyaan-pertanyaan dari murid tentang hal ihwal yang mereka temui di luar dinding sekolah. Pertanyaan demikian seringkali berkaitan dengan peristiwa aktual yang tengah mencuat dalam pemberitaan media massa dan menjadi perhatian masyarakat. Pertanyaan itu bisa mengenai arti kata yang sedang marak digunakan. Bukankah dalam masyarakat kita sering muncul kata-kata yang sedang ‘musim’ (trend) digunakan oleh para petinggi dan pemuka masyarakat? Banyak contoh mengenai kata-kata yang ‘musim’ ini, seperti kata kondusif, paradigma, mekanisme, koridor, wacana, transparan, dan lain sebagainya. Pertanyaan juga diajukan murid mengenai suatu peristiwa yang tengah ramai dibicarakan. Semua itu sering didengar dan dibaca murid melalui pemberitaan media massa cetak maupun elektronik.
Pantaslah--bahkan baik--kalau kuriositas (rasa keingintahuan) murid terangsang untuk tahu arti kata-kata yang kerap digunakan para petinggi atau pemuka masyarakat tersebut. Bagi murid, guru adalahn tempat bertanya yang sering lebih diandalkan ketimbang orang tua. Murid cenderung untuk bertanya kepada guru mengenai kata-kata yang belum mereka ketahui artinya. Bukan hanya kata-kata melainkan juga berita hangat yang menajadi liputan dalam rentang waktu lama. Liputan yang berkelanjutan tentang suatu peristiwa bisa saja membangkitkan minat murid untuk minta penjelasan dari guru. Terlebih jika liputan itu berhubungan dengan dunia mereka, dunia anak dan remaja.
Berikut saya berbagi ‘resep’ bagaimana menjadi guru andal dalam menjawab pertanyaan murid.
1. Bekali diri dengan pengetahuan-siap untuk menjawab pertanyaan siap.
2. Memperluas pengetahuan-siap harus terus-menerus dilakukan untuk penye(refreshing) dan pemutakhiran (updating).
• Menyegarkan dan memutakhirkan pengetahuan siap dapat ditemup melalui BANYAK
MEMBACA sambil MEMBUAT CATATAN serta melakukan KONSULTASI pada buku-buku referensi, seperti kamus, eksiklopedi, dan buku pintar.
• Himpunlah terus pengetahuan-siap denga pendekatan membaca. Jadikan membaca sebagai kebiasaan (reading habit)
• Usaha kita memperkaya bekal tidak akan ada habisnya. Setiap tahap yang kita kuasai sebagai pengetahuan-siap pasti menjadi ransangan untuk lebih mekar lagi lingkupnya.
• Memekarkan pengetahuan lewat membaca (rekaman visual) memungkinkan kita bertemu dengan ha-hal baru yang belum kita kenali atau ketahui artinya. Itulah saatnya kita membuat catatan tertulis (motorik). Jika dilengkapi dengan bunyi (misalnya direkam dengan kaset), maka rekaman menjadi bersifat auditif. Kesan yang direkam lengkap itu akan lebih mudah tersimpan dalam ingatan.
• Lakukan juga konsultasi dengan buku referensi sehingga catatan tersebut menemukan penjelasan sehingga siap disimpan dan menetap dalam ingatan dengan arti yang benar.
• Jangan hambat kuriositas murid lewat pengajuan pertanyaan hanya karena pertanyaan itu bersifat pertanyaan umum dan tidak Anda ketahui jawabannya. Hindari menjawab pertanyaan kuriositas murid dengan gaya ‘itu bukan bidang saya!’
• Penuhi kuriositas murid mengenal arti kata yang ‘musim’ digunakan sebagai salah satu sumber informasi murid.
• Berilah penjelasan mengenai hal ihwal baru yang murid tanyakan.
• Jangan menolak menjawab atau menolak menjelaskan pertanyaan rasa keingintahuan murid, karena berarti Anda menghambar proses kreatif mereka.
• Jika Anda tidak tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan murid, jangan serta merta menolak. Akan tetapi, tundalah jawabannya dan mintalah waktu pada mereka untuk mencari informasinya. Akan tetapi, tetap penuhilah janji itu agar murid terpuaskan dan hal ini berdampak positif bagi perkembangan kognitif murid.
• Menjadi andalan tempat bertanya harus dijadikan tantangan yang menyenangkan karena usaha memperkaya diri dengan bekal pengetahuan-siap akan menjadi kekayaan pribadi berkat meluasnya wawasan kita.
• Menyegarkan dan memutakhirkan pengetahuan secara terus-menerus merupakan usaha pencerahan pandangan hidup pribadi.

KESADARANKU AKANMU

LELAH SUDAH AKU MELANGKAH UNTUKMU
MENGUKIR KATA DEMI KATA
MENGHARAP HATIMU KAN MENYENTUH
NAMUN, APALAH YANG KUTEMUI?
SEPI...SEPI...DAN...SEPI
ITU YANG KUMILIKI

KAU TAK PERNAH MAU TAHU
ASAKU PENUH LARA DAN DUKA
HATIKU LUKA TAK TERHINGGA
SAMPAI KATAKU TAK LAGI TERDENGAR
DAN MEMBISU....

DAN KINI AKU MENGERTI
DIRIMU TAK KAN PERNAH SADARI
APALAGI TUK MENGERTI DAN KUMILIKI
HINGGA AKU MATI
DAN TAK LAGI MENGHARAPKANMU.....

1 DESEMBER 2009

Jumat, 20 November 2009

Foto Bersama Murid-muridku


Foto ini adalah fotoku saat bersama murid-muridku di SMU 8. Dalam kesempatan itu, tim SMP 13 ikut serta dalam pertandingan voli antarsekolah menengah pertama di Pontianak. Akan tetapi, sayangnya, tim SMP 13 tidak lolos ke semi final....

Pahlawan Penuh Masalah?????


Percayakah Anda jika guru itu adalah sosok pahlawan penuh masalah. Bayangkan saja, guru itu tidak hanya menjalankan tugas mulianya sebagai pengajar dan pendidik. Akan tetapi, guru juga punya tugas yang lebih berat sebagai individu yang selalu berusaha untuk hidup yang layak. Hmm, jdi siap-siaplah bagi teman-temanku yang ingin menjadi guru. Siap-siaplah menjadi seorang pahlawan yang penuh dengan masalah.....

Akhirnya Selesai Juga

Hari ini, 20 November 2009 termasuk hari yang sangat berkesan dalam perjalanan hidupku. Ujian PPL telah kulewati. Apalagi semuanya berjalan begitu lancar, tanpa ada kendala yang berarti. Semua terasa sangat mudah, meski sebelumnya aku merasa ini akan sulit untuk dilalui. Aku dapat tampil dengan lepas, tanpa ada rasa grogi sedikitpun berada di hadapan dosen pembimbing dan guru pamongku, serta jelas para siswaku. Semoga hari ini dapat menjadi awal yang baik bagi hari-hariku yang akan datang. Tentunya menjadi kenangan klasik yang akan terbingkai manis di benakku selamanya. Thanks Jesus Kristus dan semua orang yang selalu ada di sampingku....

Minggu, 15 November 2009

Setelah Lama Menghilang, Kuingin Kembali Lagi..........


Lama nian aku tak lagi menumpahkan hasratku di blog ini. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, hingga segalanya tak sempat kutumpahkan di sini. Padahal, aku sangat butuh tempat yang pas untuk menumpahkan segala gagasanku. Akhirnya, aku ingin kembali lagi, setelah lama menghilang...

Kamis, 09 April 2009

KUMPULAN TUGAS SEMESTER 5

Berikut ini adalah kumpulan tugas-tugasku pada semester lima. Tugas-tugas yang tak layak untuk dipamerkan. Akan tetapi, tugas ini merupakan cermin dari sebuah usaha untuk menggapai sebuah mimpi. Semoga saja tugas ini dapat menjadi kenangan yang tak terlupakan sampai kapanpun.

KAITAN SASTRA DAERAH DAN ILMU ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Kenyataan sosial yang terkandung dalam sastra diungkapkan melalui proses kreatif penciptanya. Dalam arti, apa yang dilihat, dirasakan, dan didengar oleh seorang pengarang, itulah yang diekspresikan dalam karyanya.
Sastra daerah adalah sastra yang eksis, tumbuh dan berkembang di suatu tempat (daerah tertentu) yang diekspresikan secara lisan (oral) maupun melalui tulisan, yang isinya merepresentasikan kompleksitas kehidupan masarakat lokal (daerah). Dengan demikian, memahami sastra daerah menuntut suatu pemahaman yang luas terhadap keadaan sosial masyarakat lokal (daerah). Hal ini berarti bahwa sastra daerah tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Jika dikaitkan dengan ilmu sosial yang pada dasarnya berusaha untuk menganalisis dan memahami masyarakat, perubahan sosial, dan kebudayaan, akan didapatkan suatu persingungan. Karena pada dasarnya, sastra daerah mencerminkan kompleksitas kehidupan masyarakat lokal (daerah).
Persingungan antara sastra—dalam hal ini sastra daerah—dan ilmu sosial mencerminkan bahwa sastra tidak berdiri sendiri. Begitu juga dengan ilmu-ilmu sosial akan selalu berusaha mengungkap kehidupan masyarakat, dan dalam usaha tersebut ilmu sosial selalu memerlukan data-data. Rudolf Mrazek (dalam Bandung Mawardi, 2008:4) dengan studinya mengenai teknologi dan nasionalisme di Indonesia, menyatakan teks-teks sastra menjadi referensi penting yang memungkinkan deskrispi dan analisis mengenai situasi zaman dan tanggapan terhadap perubahan sosial dan kebudayaan.
Berdasarkan pembahasan di atas, tampaknya menarik untuk dibahas keterkaitan antara sastra dan ilmu-ilmu sosial.. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara sastra daerah dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial yang akan dibicarakan dalam hal ini adalah ilmu sosiologi dan antropologi.
B.Masalah
Secara umum permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana hubungan antara sastra daerah dan ilmu sosial. Sedangkan submasalah penulisan makalah ini adalah:
1.Bagaimana keterkaitan antara sastra daerah dengan ilmu sosiologi?
2.Bagaimana keterkaitan antara sastra daerah dengan ilmu antropologi?
C.Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara sastra daerah dan ilmu sosial. Berdasarkan tujuan umum tersebut, secara khusus tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.Mengetahui keterkaitan antara sastra daerah dengan ilmu sosiologi.
2.Mengetahui keterkaitan antara sastra daerah dengan ilmu antropologi.

BAB II
PEMBAHASAN

I.SOSIOLOGI
A.Pengertian Sosiologi
Secara etimologis, sesunguhnya istilah sosiologi berasal dari kata latin socius yang artinya kawan/ teman (dapat diartikan juga sebagai pergaulan hidup manusia atau masyarakat), dan logos dari kata Yunani yang berarti kata atau pembicaraan sehingga akhirnya berarti ilmu. Hal ini diungkapkan pertama kali oleh August Comte dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” (1798-1857). Jadi, secara sederhana sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan antara teman dan teman. Secara lebih luas, sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat.
Sehubungan dengan pengertian di atas, banyak ahli mencoba memberikan definisi tentang sosiologi, antara lain:
1.Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yakni kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya antara kehidupan ekonomi dan kehidupan politik.
2.Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
3.Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
4.Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Dari defenisi beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan sesuatu segi khusus masyarakat. Ia terutama berhubungan dengan studi tentang interaksi dan interelasi antarmanusia, syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhan, bukan hanya pada satu unsur saja. Keseluruhan yang dimaksud berhubungan dengan keadaan sosial dalam masyarakat, mencakup hubungan antarmasyarakat dan produk kehidupan masyarakat.
B.Obyek Kajian Sosiologi
Obyek studi atau kajian sosiologi adalah manusia (manusia adalah multidimensi), namun sosiologi mempelajari manusia dari aspek sosial yang kita sebut masyarakat, yakni hubungan antarmanusia dan proses sebab akibat yang timbul dari hubungan tersebut. Istilah masyarakat sering digunakan untuk menyebut kesatuan hidup manusia, misalnya masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Bali dan masyarakat lainnya. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Adat istiadat : tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adapun ciri-ciri masyarakat, antara lain sebagai berikut.
1.Adanya manusia yang hidup bersama dalam ukuran minimalnya berjumlah dua orang atau lebih.
2.Adanya pergaulan (hubungan) dan kehidupan bersama antarmanusia dalam waktu yang cukup lama.
3.Adanya kesadaran bahwa mereka merupakan suatu kesatuan
4.Adanya sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat dan kehidupan sosialnya menjadi objek sosiologi. Masyarakat merupakan suatu kesatuan, yang di dalamnya terjadi hubungan yang bersifat timbal balik. Berdasarkan objek tersebut, kemudian objek sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam meliputi obyek materi dan obyek formal. Objek materi dari sosiologi adalah kehidupan sosial manusia, dan gejala serta proses hubungan antarmanusia yang mempengaruhi kesatuan hidup bersama. Sedangkan obyek formal adalah ; pengertian terhadap lingkungan hidup manusia dalam kehidupan sosial, meningkatkan kehidupan harmonis masyarakatnya, meningkatkan kerja sama antarmanusia.
C.Hubungan Sosiologi dan Sastra Daerah
Sastra daerah merepresentasikan kehidupan masyarakat lokal (daerah). Berbagai persoalan kehidupan dalam masyarakat lokal tidak dapat dilepaskan dari lahirnya sastra daerah pada suatu masyarakat. Misalnya, dalam sastra melayu, banyak hal yang dapat diketahui berkaitan dengan kehidupan masyarakat Melayu pada masa lampau. Menurut Liaw Yock Fang (dalam Zachrun 2008:4), di dalam karya sastra Melayu masa lampau tercermin pengalaman hidup dan keadaan masyarakat pendukungnya sepanjang masa, di dalamnya tergambar keadaan geografisnya, manusia dan pemukimannya serta kesibukan sehari-harinya, serta perjalanan sejarah kaum dan bangsanya. Karya sastra itu membukakan dunia orang Melayu kepada kita gambaran alam pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, keadaan sosial masyarakat, kepribadian individu, hubungan antarindividu serta hubungan di antara individu dan masyarakat, dan sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosionil atau rasionil dari masyarakatnya. Jadi jelas bahwa sastra bisa dipelajari berdasar disiplin ilmu sosial juga, dalam hal ini sosiologi. Dengan demikian untuk memahami dan mempelajari sastra daerah, diperlukan sosiologi sebagai ilmu yang objeknya masyarakat dan kondisi sosialnya. Sebab, sastra daerah merupakan hasil karya (buatan) orang daerah, yang berada dan juga berkembang dalam masyarakat daerah.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikemukan bahwa sosiologi dan sastra daerah memiliki suatu hubungan yang saling menunjang. Hubungan itu dapat dtemukan dengan melihat objek dari sosiologi dan hakikat dari sastra daerah itu sendiri. Batasan-batasan itu dipertemukan dalam kesimpulan sederhana bahwa sosiologi dan sastra memilki persamaan fokus: manusia dan masyarakat. Karena pada dasarnya sosiologi berusaha mempelajari masyarakat dari aspek sosialnya, sedangkan sastra daerah berurusan dengan manusia dalam masyarakat lokal (daerah) yang berkaitan dengan usaha manusia untuk menyesuaikan diri, dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.
Sudah barang tentu semua ilmu mendasarkan pada kenyataan data-data. Dengan demikian dalam upaya sosiologi untuk memperlajari suatu masyarakat daerah dari aspek sosialnya, diperlukan data dan referensi yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat tersebut. Dari banyaknya data yang dapat digunakan untuk mendapatkan suatu pemahaman tentang kehidupan masyarakat, teks sastra dapat dijadikan data untuk mengungkap kenyataan-kenyataan sosial pada masyarakat daerah pada zaman tertentu. Teks sastra dapat dijadikan acuan yang memungkinkan suatu pembacaan imajinatif, yang membuat teori-teori sosial tidak kering dan kaku. Seperti yang dikemukakan Rudolf mrazek (dalam Bandung Mawardi 2008:5), bahwa teks-teks sastra menjadi referensi penting yang memungkinkan deskrispi dan analisis mengenai situasi zaman dan tanggapan terhadap perubahan sosial.
Jadi jelas bahwa untuk memahami sastra daerah, perlu suatu pemahaman yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat lokal (daerah). Misalnya, seseorang sosiolog berusaha untuk mempelajari kehidupan sosial masyarakat Melayu, Kapuas Hulu. Dalam hal ini sosiolog tersebut tentu memerlukan data-data untuk keperluan penelitiannya. Data-data tersebut dapat ia peroleh dari buku-buku yang secara khusus mengkaji kehidupan masyarakat Melayu Kapuas Hulu, dan melakukan observasi ke masyarakat setempat. Selain itu, ada suatu hal lagi yang dapat dijadikan data dan referensi oleh sosiolog tersebut, yaitu sastra daerah Melayu Kapuas Hulu, misalnya cerita Pak Aloy Berladang. Dalam cerita Pak Aloy Berladang, tergambar kehidupan sosial masyarakat Melayu yang selalu bersama-bersama membuka lahan untuk berladang. Mereka memulai kegiatan berladang, setelah ada kesepakatan bersama.
II.Antropologi
A.Pengertian Antropologi
Antropologi adalah satu di antara cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Secara etimologi kata, istilah antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi, tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Sehubungan dengan pengertian di atas, banyak ahli mencoba memberikan definisi tentang antropologi, antara lain sebagai berikut:
1.William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2.David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3.Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Dikatakan pula oleh Allan H Smith & John L Fischer (dalam Purwowibowo, 2007:32 ), bahwa banyak ilmu sosial mempelajari manusia, namun ilmu antropologi berusaha untuk melihat manusia dengan segala kompleksitasnya, atau manusia dengan segala aspeknya. Aspek-aspek itu menyangkut asal mula, perkembangan, sifat, dan ciri-ciri manusia serta kebudayaaannya.
B.Objek Kajian Antropologi
Sama halnya dengan ilmu sosial lainnya, antropologi memiliki objek kajian sendiri. Objek kajian antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya. Secara khusus, objek kajian antropologi yaitu:
1.Mempelajari manusia dari segi biologi misalnya, bentuk tubuh, warna rambut, warna kulit, dan lainnya.
2.Mempelajari manusia yang berkaitan dengan materi-materi kebudayaan seperti misalnya, alat-alat hidup, perumahan, kesenian-kesenian, norma, perilaku dan lain sebagainya yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan dua objek kajian di atas, kemudian dikenal antropologi fisik dan antropologi budaya sebagai bagian dari ilmu antropologi. Kedua bagian ilmu antropologi terebut, kemudian dapat dijabarkan ke dalam beberapa jenis cabang disiplin ilmu, antara lain sebagai berikut.
1.Antropologi Fisik, mecakup paleoantrologi dan somatologi. Paleo antropologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil. Sedangkan somatologi adalah ilmu yang mempelajari keragaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
2.Antropologi budaya, mencakup etnografi, antropologi linguistik, dan foklor.
a.Etnografi, yaitu ilmu yang mempelajari mengenai berbagai kebudayaan pada suatu masyarakat secara mendetail pada suatu kenyataan berupa aktivitas nyata masyarakat.
b.Antropologi linguistik, yaitu Ilmu yang mempelajari bahasa baik lisan maupun tulisan dari bangsa-bangsa di seluruh dunia. Antropologi linguistik juga mempelajari sejarah perkembangan bahasa dan hubungannya antara bahasa- bahasa itu dengan nilai budaya yang ada.
c.Foklor, yaitu Ilmu ini mempelajari kreativitas manusia, musik, drama, cerita rakyat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesenian.
Demikianlah objek antropologi yaitu manusia dan kebudayaannya. Sebagai ilmu sosial, antropologi dan sosiologi memiliki suatu kesamaan dalam objeknya, yaitu masyarakat. Sosiologi lebih pada aspek sosial masyarakat, yang mencakup pola hubungan antarmasyarakat, dan sistem sosial masyarakat. Sedangkan antropologi lebih mendasarkan studinya pada manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku, dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.

C.Hubungan Antropologi dan Sastra Daerah
Antropologi merupakan cabang ilmu sosial yang berusaha mempelajari budaya masyarakat etnis tertentu. Budaya dalam hal ini dapat dibatasi pada pengertian yang dikemukakan oleh Dr. Sady Telaumbanua (2006), bahwa budaya adalah sebuah aktivitas, respon, jawaban atas persoalan hidup sekaligus sebagai pedoman, arah, kompas dalam bertindak dan berperilaku. Dengan demikian, dalam usahanya mempelajari budaya suatu masyarakat, antropologi memerlukan berbagai data yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang dipelajarinya. Data-data tersebut dapat ditelusuri atau dilacak malalui observasi langsung dan mengumpulkan hasil-hasil peninggalan leluhur, misalnya melalui sastra daerah.
Sastra daerah adalah hasil karya (buatan) orang daerah. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suku yang mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pendangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Dengan demikian, sastra daerah dapat menjadi sumber penting antropologi untuk mempelajari suatu masyarakat. Selain itu, hal ini juga diperjelas dengan adanya foklor sebagai bidang ilmu antropologi budaya, yang mempelajari kreativitas manusia, musik, drama, cerita rakyat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesenian.
Berikut ini sebuah ilustrasi yang menggambarkan bagaimana kaitan sastra daerah sebagai data dengan ilmu antropologi yang berusaha untuk mempelajari budaya suatu masyarakat:
Seorang antropolog ingin mempelajari kebudayaan masyarakat suku Dayak Kayan. Dalam melakukan studinya, antropolog itu memanfaatkan sastra daerah yang dihasilkan oleh suku dayak Kayan, yang berbentuk syair, yaitu syair Lawe. Syair Lawe adalah syair agama yang diagungkan oleh suku Kayan di Kalimantan dan Serawak. Syair ini mengambarkan kehidupan, godaan-godaan, dan kemenangan dari seorang dewa bernama Lawe di dunia atas atau alam baka, dunia tempat tinggal orang-orang yang sudah mati. Selain itu, dari syair Lawe ini, setidaknya dapat diketahui bahwa mayarakat suku Dayak Kayan memiliki suatu pandangan terhadap roh orang yang meninggal. Mereka percaya bahwa para roh mempunyai bumi sendiri, seperti bumi manusia, tetapi tidak tampak (seperti bumi rohaniah seperti roh-roh itu juga).
Sebagai referensi dan data bagi antropolog untuk mempelajari masyarakat suku dayak Kayan, syair Lawe menrcerminkan kebudayaan masyarakat Kayan. Misalnya, budaya masyarakatnya yang hidup bersama di suatu tempat yang disebut rumah panjang. Berikut ini kutipan syair Lawe pada bagian Rumah Rakyat.

“Pindahkanlah bicara
ke dalam rumah sana,
rumah empangan tanjung naga,
rumah yang pindah kemudiannya,
rumah tanjung nanga air kepunyaan iting luno.”

“Layangkanlah pandangan
ke serambi muka Pahlawan,
layangkanlah pandangan ke serambi muka Balaan,
serambi muka Iting Luno.” (Ding Ngo, 1984:17)

Kutipan dua bait syair Lawe pada bagian Rumah Rakyat, pada dasarnya menggambarkan bahwa masyarakat Kayan dalam sehari-harinya tinggal di suatu tempat yang dikenal dengan nama Rumah Panjang. Rumah tersebut mereka bangun bersama-sama dan menjadi tradisi bagi masyarakat Kayan. Seperti yang diungkapkan oleh Ding Ngo pada bagian Keterangan (1948:211-212), “Rumah orang Kayan dulu terbagi dua; dengan penyekat atau dinding di antaranya; sebagian tertutup dengan dinding dan pintu (bagian belakang), yang bilik atau serambi dalam, di mana orang tinggal, memasak, makan, tidur dsb; dan dalam bilik hipi (raja) terdapat kamar-kamar;…Inilah rumah sebuah keluarga (yang dapat menampung satu atau dua keluarga lain); rumah yang demikian disambung-sambung menjadi rumah panjang atau rumah betang, untuk keperluan umum;” Kebudayaan masyarakat Kayan yang terungkap dalam syair Lawe,selain yang tersebut di atas adalah kebudayaan bercocok tanam (berladang). Setiap tahun,orang Kayan selalu berladang. Berikut ini, kutipan bait syair Lawe
.
“Bagaikan lenggang topeng pulai hutan,
yang gembira akan permulaan tahun buah-buahan,
lenggang Baginda tertelan udang bengawan,
melenggang di serambi muka Nanga burakkeputihan,
mereka akan turun dari rumah di tanjung nanga Leno.”

"Bagaikan lenggang topeng pepeya,
yang gembira akan permulaan tahun yang kena
lenggang seri baginda,
ia melenggang menjurus ke ujung rumah sana,
rumah tanjung nanga,
rumah tanjung nanga air, tanjung nanga Leno." (Ding Ngo, 1948:61-62)
Kutipan bait syair Lawe di atas, setidaknya mengambarkan bahwa orang Kayan melakukan perayaan khusus saat musim berladang tiba (tahun buah). Pada bagian keterangan, Ding Ngo (1948:229) mejelaskan “Tahun buah boleh dibilang sama dengan tahun padi, yaitu pada bulan Agustus menanam padi dan bulan Desember mulai makan padi baru, dan mulai makan buah juga. Untuk memulai berladang (menugal) ditetapkan waktu yang sama dan dilakukan pada waktu yang sama di setiap kampung. Untuk itu orang mempergunakan bintang pengukur tanah atau bintang tiga dalam orion. Dini hari ia nampak di timur. Orang mengangkat tangan yang bergelang di pergelangannya. Kalau gelang itu turun ke siku, itulah waktu yang dipergunakan untuk mulai menugal.”

IIustrasi di atas dapat menjelaskan bahwa sastra daerah--misalnya syair Lawe--menggambarkan kehidupan budaya suatu masyarakat yang sejak dulu sudah dilakukan dan diyakini sebagai suatu tradisi. Dengan demikian seorang antropolog setidaknya dapat menjadi sastra daerah sebagai suatu referensi dalam mempelajari kebudayaan sautu masyarakat. Selain itu, ilustrasi di atas juga memberikan pemahaman bahwa untuk memahami sastra daerah diperlukan pengetahuan tentang masyarakat daerah yang menghasilkan karya tersebut. Karena, pada dasarnya sastra daerah merupakan cerminan kompleksitas kehidupan masyarakat lokal (daerah).

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1.Sosiologi adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat serta tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
2.Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
3.Dalam bidang antropologi budaya, tercakup foklor sebagai cabang ilmunya. Foklor adalah Ilmu yang mempelajari kreativitas manusia, musik, drama, cerita rakyat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesenian. Hal ini menandai bahwa sastra daerah merupakan satu di antara objek studi dari antropologi.
4.Untuk, memahami sastra daerah menuntut suatu pemahaman yang luas terhadap keadaan sosial masyarakat lokal (daerah). Hal ini berarti bahwa sastra daerah tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan dengan menggunakan disiplin ilmu lain, misalnya sosiologi dan antropologi.
5.Antropologi dan Sosiologi dalam studinya tentang masyarakat dalam aspek sosial dan budaya, memerlukan data atau referensi sebagai acuan atau dasar untuk memahami keadaan suatu masyarakat. Data tersebut satu di antaranya adalah sastra daerah.

B.Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukan di atas, maka perlu dikemukakan saran sebagai berikut:
1.Semoga makalah ini dapat menjadi bahan diskusi yang menarik, berkaitan dengan hubungan sastra daerah dan ilmu-ilmu lainnya.
2.Sastra daerah merupakan kekayaan yang dimiliki suatu daerah, yang memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat lokal (daerah). Oleh karena sudah selayaknya sastra daerah terus dikembangkan.
3.Semoga makalah ini dapat menjadi bahan rujukan bagi pembuatan makalah selanjutnya, yang berkaitan dengan hubungan sastra daerah dan ilmu lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2008. Sastra Lisan dalam Budaya dan Seni Melayu Klasik. (Online). http://melayuonline.com (diakses tanggal 10 Oktober 2008).

Long, S. Lii’ dan Ngo, A.J Ding. 1984. Syair Lawe (Bagian Pendahuluan). Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

Pusat Bahasa/Sugono, Dendy (ed).2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa/ Depdiknas.

Sumardjo, Yakob.1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:
Nur Cahaya.

Wikilpedia Bahasa Indonesia. 2006. Antrpologi. (Online). www.usu.ac.id/ (diakses tanggal 17 Oktober)

Wikilpedia Bahasa Indonesia. 2006. Sosiologi. (Online). www.usu.ac.id/ (diakses tanggal 17 Oktober)

Senin, 23 Februari 2009

MAKAN MENGHADAP BULAN

Makan menghadap ke bulan, menikam segala rasa yang penuh dengan duka, penuh dengan kemunafikan, dan penuh dengan kesombongan. Aku merasa sudah kenyang dengan segala omongan yang selalu meremehkanku, dan tak menghargaiku. Bagai pahlawan, kaum intelektual yang tak pernah tahu rasa itu, memakiku, menyalahkanku. Katanya mereka kaum terpelajar, punya gelar dan kehormatan, tapi tampaknya penghargaan untuk orang lain, seperti aku, tak pernah ada. Di mata mereka aku tak ada harganya. Gelar dan kedudukan yang mereka miliki membuat jurang pemisah semakin dalam.
Aku semakin tak tahan untuk menyimpan segudang rasa ini. Rasa yang semakin padamkan semangatku. Kata-kata itu terus saja berkeliaran di benakku. Aku makan penuh dengan amarah untuk membalas semua perlakuan itu. Mungkin di benak mereka, aku tak pernah ada harganya. Hanya tuntutan saja yang membuat mereka betah untuk setiap minggunya mentransfer ilmu kepadaku. Ilmu yang tak ada ubahnya dengan segudang padi yang susah untuk diangkut. Ilmu yang sama halnya juga dengan permen karet, dan lauk yang sedang aku makan ini. Hanya terpaksa aku menguyahnya. Tapi, kapan aku bisa membalasnya.
Malam itu, aku hanya duduk terpaku membayangkan apa yang sedang terjadi. Sinar bulan membuat terang di sekeliling rumahku. Aku teguk minuman pelepas amarahku. Mengharap ada ketenangan dalam batinku ini. Saat-saat kuterbayang pada kesombongan orang yang baru aku hadapi, aku lihat seseorang berjalan dengan langkah tegap, membawa tas hitam dan buku di tangannya. Dia memang mirip seorang pahlawan tanpa tanda jasa, seperti yang aku impikan selama ini. “Hei…Pak guru, sedang melamun ya?” Kata Bogem padaku. Aku perhatikan Bogem begitu rapi malam ini. “Lagi santai saja Bog.” Kutawarkan pada Bogem apa yang sedang aku teguk. Bersama malam yang dikabuti bintang, aku dan Bogem terhanyut dalam derasnya air penuh rasa ini. Air pelarian segala kegundahan. Air yang melekat di dalam kehidupan anak daerah yang sedang berusaha mengejar cita-citanya. Seperti aku dan Bogem.
Saat embun mulai menyelimuti pagi, Bogem pun pulang. Dengan terpaksa aku mengijinkannya. Aku takut daya imaji Bogem terlalu tinggi, hingga rumahnya sendiri dia tak tahu. Bogem telah pulang, dengan tas hitam tepat di atas kepalanya. Buku yang tadinya ia pegang, kini sudah ada di saku celananya. Rambutnya berubah mirip vokalis band yang kini menjadi idola di kalangan remaja. Kelakuannya memang membuatku tertawa terbahak-bahak. Bogem juga tampaknya menikmati keadaannya itu, ia serasa terbebas dari berbagai masalah yang sedang ia hadapi. Ya...berbagai masalah yang terus menghujamnya.
Bogem dan aku sudah lama bersahabat. Sudah banyak waktu yang kami habiskan untuk melukiskan tinta manis di dunia ini. Pahitnya hidup pun sudah biasa kami berdua lalui bersama. Telanjang untuk menang pun pernah dilakukan. Seperti kemarin, saat Bogem dihajar oleh kata-kata kaum terpandai yang penuh dengan embel-embel di belakangnya. Maksud mencari ilmu dan sedikit menyumbung pendapat, tapi Bogem malah disidang dan dituduh merusak citra mereka. Bagaikan seorang pencuri saja Bogem di hadapan mereka. Lebih dari itu, Bogem hanya dipandang sebagai yang orang tak ada sumbangsihnya bagi manusia yang penuh dengan kemunafikan itu.
“Berikan saja teori-teori itu, lakukan saja sesuka bapak (sengaja ’b’ dikecilkan), asal bapak senang akan saya ikuti! Saya kan manusia bodoh, tak ada satu pun teori yang saya ketahui.” Kata-kata itulah yang selalu aku bingkaikan dalam benakku. Gagahnya Bogem di hadapan manusia yang penuh sains itu. Aku sempat tersentak ketika ia mengatakan begitu. Keberanian itulah yang membuatku kagum dengan Bogem. Meski dihadapkan pada pilihan yang menyulitkan dan pada senjata mematikan milik kaum sains itu, Bogem tak gentar. Ia tetap pada pendiriannya, seperti yang selalu ia katakan padaku, “Untuk apa takut, kalau kesalahan memang jauh dari kita”.
Seperti biasanya, siang itu aku dijemput oleh Bogem dengan Phonixnya. Dalam perjalanan, Bogem berbicara padaku, “Lihat motor yang dipakai lelaki itu, mobil itu juga.”Bogem menunjuk ke arah motor dan mobil mewah yang melintas di jalan. “Suatu saat nanti, kita juga akan seperti itu.” Kataku pada Bogem sambil tertawa. “Jangan bermimpi, sampai kapan pun hidup kita tak akan berubah, Phonix ini juga yang akan mengantar kita. Sampai kapan pun, selalu si buntut ini.” “Tapi…”Belum sempat aku berbicara, Bogem sudah memotongnya, “Hari ini adalah usaha untuk hidup yang lebih baik ke depannya. Kesusahan hari ini adalah kesenangan untuk keturunan kita di waktu yang akan datang. Berharaplah apa yang baru aku katakan itu dapat tercapai, bukan berharap memiliki apa yang aku tunjukkan tadi. Itu hanya sesaat, dan bukan ukuran bagi kita.”
Sampai di tempat menempa ilmu, aku dan Bogem langsung menuju kelas. Di kelas tampak orang-orang sudah berkumpul semuanya. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang aku sendiri tak mau tau apa yang sedang mereka didiskusikan itu. Membosankan jika berbicara hal-hal yang penuh dengan intuitif dan teori saja. Teori-teori saat ini memang begitu mewabah, sampai-sampai aku juga sering kali dijuluki dengan sebutan Mr. RPP oleh Bogem. Sedangkan ia aku juluki dengan sebutan “Marx”, nama seseorang yang menjadi buah bibir di kelasku.
Aku dan Bogem duduk paling belakang, membaca buku sambil menunggu orang yang paling diharapkan dapat menurunkan ilmunya kepada kami. Keadaan di kelas tampak semakin ribut saja, apa yag dibicarakan mereka semakin tak jelas. Aku sengaja tak mau tahu dengan apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau mencampuri urusan yang tak ada sangkut pautnya denganku. Dan mereka juga tampak tak mengacuhkan kehadiranku dan Bogem. Mengiriskan jika kelas menjadi sarang bermain. Sarang menghabiskan waktu saja tanpa ada makna. Janganlah berharap untuk menjadi professional, jika selalu saja hal itu dilakukan dan tentunya dibiasakan. Hanya pulang, dan pulang, itu yang selalu ada.
Tampaknya tak ada sesuatu yang berubah setelah hampir setengah jam aku dan tentunya si Bogem duduk di kelas eksekutif ini. Keramaian berubah menjadi kesunyian. Hanya seseorang yang masih tampak tenang menunggu dan selalu menunggu pengantar ilmu hadir untuk memberikan ceramahnya. Walau tak semuanya seperti itu. “Ti, mana yang teman-teman yang lain?” Tanyaku pada Yanti yang dikenal sebagai anak pendiam di kelasku. Dengan halusnya, Yanti mengatakan kalau yang lainnya sudah pulang. Pulang…selalu saja seperti itu. Selalu saja membuang waktu untuk berguru. Berguru menjadi guru, berguru menjadi yang digugu. Sampai kapan seperti ini, jika harus terus pulang? Pulang penuh dengan kekosongan. Tak seperti Yanti, yang selalu setia menunggu.
Memang Yantilah gadis idaman semua pria. Gadis penuh sensasi, bukan sensasi seperti selebriti ataupun sejenisnya. Tapi sensasi akan tingkahnya yang begitu cerdas dalam segala hal. Tapi, tidak bagiku. Sensasinya Yanti takmembuat hatiku berpaling. Hatiku tetap pada pilihan utamanya. Terutama adalah Frida, sang pencuri hati di setiap waktu. Aku tak pernah bisa lari dari bayangan hantu seperti dirinya.
Tak ada pilihan lain, lebih baik pulang daripada menghabiskan waktu di sini. “Hah…penceramah itu pastinya tidak akan datang, lebih baik kita berdua pulang dan mengerjakan tugas yang sudah menumpuk dan menunggu untuk dijamah.” Bogem memegang tasnya, mengajakku pulang. Kami berdua pun meninggalkan kelas, dengan segala kekosongan dalam dada yang haus akan rasa. Yanti sang penarik hati, tampaknya masih betah duduk dengan buku berlabelkan “IBM” di tangannya. Buku yang sempat membuatku jenuh pada penceramah itu. Penceramah yang selalu menganggap beda aku, Bogem, dan calon pendidik ulung di kelasku. Beda, memang harus berbeda. Tidak akan ada yang pernah sama, tetapi janganlah terlalu membedakan. Sains yang dimiliki bukanlah ukurannya. Hormatilah orang seperti aku dan Bogem, yang selalu haus akan ilmu. Ilmu yang bukan hanya teori belaka, tapi ilmu sejati yang berguna bagi hidup ini.
Pulang dengan segala kekosongan seperti ini, bukanlah yang pertama kali. Tampaknya sejumlah uang yang begitu banyak ayahku keluarkan tak ada artinya. Penceramah itu lebih sibuk dengan urusan dinasnya. Urusan yang tak ubahnya seperti selebriti, yang sibuk show ke luar kota. Kesibukan yang menumbuhkan bibit kesengsaraan bagi orang lain. Bibit penyakit masyarakat yang tak pernah habisnya.
Janganlah berharap aku dan Bogem, ataupun yang sejenisnya menjadi orang yang profesional, jika semuanya ini terus terjadi. Dan janganlah terlalu banyak teori dari pada aplikasinya, jika mau aku dan Bogem, atau pun sejenisnya menjadi pendidik sejati. Seperti yang dikatakan Bogem, saat berhadapan dengan manusia yang begitu jenius itu. Bogem dengan tenangnya mengeluarkan segala jeritan hatinya yang selalu mendekam dalam nurani yang paling dalam.
“Jika aku memang dikatakan bodoh, itu bisa saja memang diriku, dan kesalahan masa lalu yang sering kita sebut kesalahan tradisional. Dan jika aku diharapkan menjadi pembaharu, profesional, ataupun sejenisnya, jangan harap dengan teori itu semuanya akan terwujud. Semuanya akan tetap seperti dulu, karena kami sering pulang dengan segala kekosongan.”
“Bogem, kamu dipanggil.” Kata Riri, teman sekelas kami sambil menunjuk ke ruangan tempat segala urusan kami diselesaikan. Ada apa dengan Bogem, apakah ia akan mendapat doorprize seperti yang selau ditayangkan dalam iklan di tv ataupun di jalan-jalan. Ataukah Bogem tersangkut dengan biaya pendidikan yang supermahal, seperti yang dialami tetanggaku. Ingin sekolah tapi harus bermodal kertas merah yang banyak, kertas yang menjadi segala-galanya di dunia. Kertas yang menjadi ukuran dalam segala hal tentang hidup, termasuk tentang cinta.
Di ruangan yang begitu sejuk, Bogem dengan tenang menghadap seseorang yang sering dikenal dengan julukan si jenius dari pulau seberang. Tak seperti biasanya Bogem dengan tenang berhadapan dengan orang yang selalu ia kagumi dan idolakan. Orang yang superjenius dan juga sering dikenal dengan sebutan Jeng Kelin. Kulihat dari luar tampaknya Bogem menerima sesuatu yang rupanya adalah amplop.
Bogem dengan perlahan membuka dan membaca isi surat berwarna merah itu. Ia tampaknya menikmati surat itu, seperti saat aku dan ia meneguk air kedamain di bawah sinar terang bulan. Ataupun saat aku makan menghadap bulan. Menghadap cahaya terang yang menerangi kelamnya malam dan kelamnya duniaku dan juga Bogem, lelaki yang selalu menggunakan nurani untuk menghadapi masalah hidup ini.
“Sejauh ini, kalian memperlakukanku. Kalian anggap aku apa, kalian pikir aku ini anak SD, yang bisa menerima saja apa kata gurunya.” Kudengar suara lantang Bogem menghentikan sejenak aktivitas orang yang ada di sekitar itu. Rasanya ada sesuatu yang tak beres dalam ruangan itu. Bogem marah dan melalui sinar matanya dapat kulihat kalau ia kini sedang menantang orang yang dihadapannya. “Ini sudah menjadi prosedur,” kata orang yang sebenarnya begitu Bogem hormati dan kagumi. “Prosedur…inikah yang dinamakan prosedur. Prosedur yang bisa membunuhku dan merampas semua cita-citaku?”
Aku hafal dengan apa yang sedang diungkapkan Bogem, itulah jeritan hatinya saat ini. Ia selalu mengatakan kepadaku kalau prosedur di sini selalu penuh dengan teori. Teori yang hanya merugikan kaum lemah, kaum yang selalu terkalahkan oleh harta, seperti aku dan Bogem. Dan ia berkata, “makan menghadap bulan pun tampaknya tak akan kita nimati lagi, karena prosedur-prosedur itu semua. Akan tetapi, makan menghadap kesengsaraan dapat kita lakukan, tapi adakah yang mau sengsara.
Sudah menjadi prosedur, begitulah jawaban yang didapatkan Bogem. Ia keluar dari ruangan itu dengan wajah tertunduk, wajah layu penuh beban yang terbelenggu. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, saat ia keluar dari ruangan yang akan menjadi kenangan terpahit dalam hidup Bogem. Aku tidak berani untuk menanyakan apa pun kepada Bogem, di saat-saat seperti ini. Biar saja aku cari tahu nanti, saat semuanya sudah tenang.
“Kamu tahu bukan, orang yang selalu kita hormati dan penuh dengan teori itu, menganggap aku sebagai pembangkang. Mereka bisanya menyalahkan, tapi membantu memperbaikinya tak mau. Membuat kita tertekan selama belajar dan menyudutkan, itu yang dapat mereka perbuat. Lihat hari ini, apa yang aku alami. Semuanya akan selalu seperti ini jika terus dibiarkan. Aku telah kalah, aku telah menghancurkan mimpi ibuku. Mimpi menjadikanku seperti alamhrum ayah, guru yang selalu penuh dengan kesengsaraan dan tentunya jauh dari kesejahteraan. Aku tak dapat lagi setiap hari bersama denganmu, dan bersam Phonix ayahku ini.”
Aku tak dapat melakukan apa-apa. Aku hanya diam mendengarkan curahan hati sahabat sejatiku itu. Aku mengerti apa sedang ia rasakan, hatinya begitu hancur. Tapi, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Aku dan Bogem pergi. Kuperhatikan pandangan mesra Bogem ke tempat yang penuh dengan cerita. Aku sedikit paham, walau tak semuanya. Semakin menjauh, pandangan mesra itu tetap saja tak hilang. Bogem bagaikan orang yang akan pergi dan tak akan pernah kembali. Ia menatap tajam segalanya. Ia meninggalkan sejuta tanya pada diriku. Tanya akan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, saat aku sedang mencoba untuk mengaitkan semuanya, Bogem mengajakku berhenti dan duduk di samping Tugu Digelis, yang kini jauh dari sorotan mata manusia. Tak seperti biasanya ia mengajakku duduk di tempat yang sebenarnya tak ia sukai.
Aku sadar sesuatu yang yang berat sedang menimpa hati Bogem, hingga ia tak seperti biasanya. “Aku tak lagi dapat merasakan suasana kelas yang begitu menyenangkan bagi kita, walau sedikit memuakan. Aku tak lagi dapat mendengarkan teori-teori itu. Aku telah mengecewakan keluargaku. Dan pastinya aku tak akan lagi menghadap bulan dengan kepala tegak. Aku malu pada bulan.” Bogem memandang malam yang bertabur bintang. Bintang seakan merasakan hancurnya hati Bogem dengan meredupkan cahayanya, mengiringi hancurnya hati sang pencari sejati yang tak kenal lelah. Aku juga mulai paham dengan apa yang sedang dialami Bogem. Aku salut dengan Bogem, ia berani untuk melakukan apa yang sudah menjadi pilihan hatinya. Ia sanggup melawan teorisme. Tak ada kata mundur jika sudah melangkah. Dan yang pastinya segala tentang KTSP akan menjadi mimpi-mimpi yang tak berarti. Semuanya akan menjadi abu dalam pikiran Bogem. Menjadi kenangan pahit dalam hidup pria yang berambut lurus itu. Dan yang terpenting aku akan menjadi orang yang beruntung karena memiliki teman seperti Bogem. Manusia yang selalu anti untuk mengucapkan kata-kata tanpa ada usaha nyata. Manusia yang selalu butuh kebebasan untuk berekspresi, seperti saat-saat makan menghadap bulan.
Semuanya telah berakhir, mimpi-mimpi akan menjadi sesuatu yang tak akan berarti. Bogem telah pergi dengan segala kehancurannya. Tapi Bogem telah berjanji padaku, akan menjadi sesuatu yang berharga bagi hidup ini. Ia akan mencoba menjadi apa pun asalkan itu nyata baginya. Bogemlah korban prosedur yang tak pernah jelas dan selalu berubah sepanjang waktu. Ialah korban teorisme dalam hidup ini. Korban dari keganasan dan kebodohan hidup, yang selalu diukur lewat mistar kenikmatan duniawi.
“ITAH” 24-11-2008

Rabu, 04 Februari 2009

KELAMKU


Hai sobat, inilah kumpulan puisi yang selama ini aku tulis. Kumpulan puisi yang berlabelkan "Kelamku" adalah suatu jelmaan dari segala perasaanku akan hidup dan cintaku. Kelamku mewakili perasaanku yang sempat hancur berantakan hingga aku sendiri tak tahu siapa aku, di mana aku, dan ke mana aku harus pergi?
Aku tahu bahwa saat membaca puisiku ini, semuanya pasti akan tertawa, semuanya pasti akan berceloteh, dan semuanya pasti akan berpikir bahwa puisi ini tak begitu puitis atau malahan tak layak untuk dipertontonkan. Akan tetapi, inilah aku, inilah puisiku, dan inilah hasil pergulatan jiwaku selama ini. Aku hanya ingin kelamku menjadi tahta bagiku selamanya.
Terima kasih aku kirimkan untuk sobat yang sudah rela melirikkan matanya ke blogku ini. Aku juga ingin menyampaikan salam matiku pada seseorang yang tak pernah mau menerima jeritan hatiku. Terima kasih juga untuk sobat-sobat yang selalu menjadi sumber inspirasiku.

KELAMKU

MASIH ADA RASA YANG TERLUPA
DI SAAT SEMUA TELAH BERSAMA
DI SAAT KUTERLANTARKAN WAKTUKU

MAUT TAHU WAKTU TAK PERNAH TAHU
HINGGA SEMUA TAK BERHARGA
DI MATA MEREKA KUTAK SELALU SAMA
TERINJAK DAN TERKUBUR LEMAH

AKU...TERLALU NAIF
DI SAAT SEMUA TELAH ADA DI MUKA,
AKU HILANG TANPA ARAH
HINGGA KATA TIADA BERKATA….

AKU...TERLALU LEMAH
UNTUK MELAWAN
AKU...
TERLALU MUDA
UNTUK MENGENAL PERJALANAN PENUH KEMUNAFIKAN

MAAF WAKTU
MAAFKAN AKU
INGIN KU AKHIRI SEMUA DI SINI
MENGHENTIKAN DETAK NADI
MENGHILANGKAN KELAMKU
MENGHANTARKAN AKU KE KEHIDUPAN ABADI
MENGHINDARKAN AKU DARI KEPALSUAN
DUNIA INI (28-08-08)

WAKTU

WAKTU…
INGINKU HAPUS…
INGINKU PUTAR…
INGINKU BUNUH …
TAPI AKU TAK AKAN MAMPU

INGINKU BERLALU…
WALAU SEBATAS TAHU…
INGINKU TENGGELAMKAN WAKTU…
TAPIKU TELAH TERKURUNG

KEPALASUANKU MENGURUNGKU
DARU WAKTU KE WAKTU
KUTINGGALKAN DIRIKU
SAAT KETERASINGAN MELANDAKU

DAN KINI AKU SENDIRI
MERATAPI BERSAMA SUNYI
TERDAMPAR DALAM KELAMNYA DUNIAKU
TERASING DALAM HEBATNYA DIRIKU (1-09-08)

PALSU

DALAM KEHENINGAN TAK TERTAHAN
RASA NAIF KIAN MENGGEMA
BATU TAJAM TAK BERDURI
MENUSUKKU, BERPALING DARIKU

TANGAN TAK SEPERTI TANGAN
KAKI TAK SEPERTI KAKI
MATA TAK SEPERTI MATA
PALSU TAK SEPERTI PALSU

DAN KINI SEMAKIN PUDAR
RASA CINTA KIAN PALSU
KARENA HARTA SEMUA BISA

DAN POLITIK TAK SEPERTI POLITIK
POLITIK HANYA BISA MENGELITIK
KEPALSUAN PUN TERUS MEMOLITIK
DI ANTARA RESAHNYA JIWAKU
AKAN DUNIA INI…
AKAN CINTA INI... (1-09-08)

KESENDIRIANKU

LELAH TERLALU BERAT KUPIKUL
HINGGA KELAM MENYELIMUTI
SUARA MENYUARA TIADA MAKNA
SESATI AKU,
DALAM KETERASINGANKU

DIAM, DIAM SAJA
DIAM PUN TAK AKAN DIAM
WALAU SEBATAS DIAM.

DAN KINI AKAN BERLALU
WALAU KU PASTIKAN KU TAK AKAN JEMU
MESKI WAKTU TERUS BERLALU
TERPAJAK AKU DALAM KESENDIRINKU (3-09-08)

DALAM

PELANGI PAGI TAK SEMPAT MENGHAMPIRI
TIDURKU TERLALU LELAP
HINGGA KU TAK AKAN TERBANGUN

KICAUN BURUNG MENYAMBUTKU
DENGAN SEDIH, TERTAWAKANKU
BEGITU KOTORNYA DIRIKU
SETIAP MATA MENGHINAKU
DALAM HATI

DALAM…TERLALU DALAM,
PERIH YANG KURASAKAN (4-9-08)
MENGAPA…

PAGI DATANG DAN PERGI
WALAU TAK PERNAH BERARTI
KUTAK AKAN BERHENTI
TANDINGI SEMUA YANG SAKITI

MENGAPA…AKU TERSAKITI
MENGAPA…AKU TERINJAK

KELAMNYA DUNIAKU
SEMPAT PADAMKAN JIWAKU
KEGETIRAN HATI
SELIMUTIKU DALAM CINTA TAK BERSUARA

MENGAPA…HARUS AKU
MENGAPA…TIDAK BERLAKU
BELAS KASIH TIADA MAKNA
DI DUNIAKU YANG KELAM
DIHIASI KALBU PENANTIANKU…
ALAM CINTA TANPA HARTA DAN TAHTA(5-9-08)

TAHTAKU..KELAMKU

SEPI SELIMUTI HATI
DALAM HATI TERPATRI
KATA MENYERAH
KIAN MENGGEMA

TAK PEDULI DENGAN HARTA
TAK PEDULI DENGAN TAHTA
MESKI MEREKA LEBIH NYATA
MESKI MEREKA PUNYA HARTA
KUYAKIN TAHTAKU BUKAN KARENA MEREKA…

TAHTAKU ADALAH KELAMKU
TAHTAKU JELMAKANKU
DALAM GUNDAH KUMENARI
RAYAKAN…SENANDUNGKAN…
TANPA MEREKA…
TANPA HARTA…
KU BERNYANYI KUATKAN HATI…

DAN KINI AKU TAK MAU TAHU
AKAN TAHTA DAN HARTA
DAN KINI KUMAU TAHU
TAHTAKU…KELAMKU (5-908)

SAKIT…

INGIN KUMULAI DENGAN KATA
HARGAIKU DALAM SUNYIKU
SAYANGIKU DALAM SENDIRIKU
SAKIT…TERLALU SAKIT…

TAK TERTAHAN HASRAT SAKITI
LESU LUNGLAI KUMENANTI
TAPI HATI TERLALU BESAR
MENAMPUNG HASRAT TIADA MAKNA
DI DUNIA, KARENA CINTA… (5-9-08

PERCUMA…

PERCUMA…
KUBERNYANYI
DALAM SEPI TIADA HENTI

PERCUMA…
KUBERMIMPI
DALAM GELAP TIADA ARTI

PERCUMA…
KUMENANTI
CINTA SEMUA TIADA MAKNA

PERCUMA…
KUBERHENTI,
DALAM TERANG KUAKAN MATI
SAMPAI KAPAN KUTERUS BEGINI??? (10-9-08)

TIADA ARTI

TERTAHTA AKU DI MALAM TIADA MAKNA
WAKTUKU PULANG DENGAN SEDIH
TIADA ARTI KUTERUS BERTAHAN

HANYA KARENA NAMA DAN HARTA
GENGGAMANKU DIRAMPAS
TIADA MAKNA KUTERUS MELAWAN

SAKIT TERLALU SAKIT
KUTERLENA DALAM LELAHKU
MENCARI ARTI TAK KUNJUNG HENTI
HINGGA PERIH TAK LAGI TERASA
BERULANG KALI…
KESEKIAN KALI…
KUDITERLANTARKAN OLEH CINTA…
TAPIKU TAK AKAN JEMU… (10-9-08)

TERLALU

CINTA…TERLALU
KELAM…HIASI
CINTA…TAK HILANG
SEDIKITPUN PADAMU

KAU…HEMPASKANKU
DENGAN KATAMU
HASRAT JIWAKU LELAP
PUDAR SEMANGATKU
HINGGA KINI KUTAK SADARI

CINTA…TERLALU
TERLANJUR…BUKAN ITU
CINTA…TULUS
BAGIKU…UNTUKMU

CINTA…TERLALU
CINTA…PADAMU
TERLALU…CINTAKU
HINGGA KUTAK SADAR DIRI (28-09-08)

HINA…

ALUNAN KATA TERBESIT DALAM,
HATI TAK PERNAH MENGERTI
UNTUKMU…BUKAN UNTUKKU

TANGISAN TEREDAM DALAM
JANTUNG TAK BERDETAK
UNTUKMU…HINAKU

HINA…HINAKAH AKU…
HINA…DI MATAMU

MEMINTA KESEKIAN KALI
MEMINTA DENGAN HINAKU
MEMOHON DENGAN HINAKU
TAPI AKU TAK AKAN BERHENTI
SAMPAI KAU MAU (12-10-08)

TAK ADA…

TAK ADA YANG SEPERTIKU
TAK ADA YANG MENGERTIKU
MIMPI-MIMPI LELAPKAN SEMUA
DALAM DUNIA…

TAK ADA YANG SEPERTIKU
TAK ADA YANG MENEMANIKU
DALAM GUNDAH
KU SELALU SEPI

TAK ADA YANG MENGAGUMI
TAK ADA YANG MENCINTAI
TAK ADA YANG MENGERTI
TAK ADA YANG MEMILIKI (20-10-08)

SISKA

SISKA…
TERDAMPAR AKU DALAM CINTA
TERHANYUT AKU TIADA MAKNA
INGINKAN SESUATU DARIMU

SISKA…
GEMULAI INDAH WAJAHMU
BENAMKANKU DALAM MIMPI
SAMPAIKU MATI

SISKA…
MANJAKU KARNAMU
MATIKU KARNA CINTAMU
SAKITIKU SETIAP WAKTU

HANCUR

PERJALANAN MENUJU ISTANA
KUISI WAKTU DENGAN PENUH MAKNA
TERTATIH KUTAK MAU TAU
HATIKU TERLALU HANCUR UNTUK BERTAHAN

PERJALANAN MENUJU KEMAUAN
TELAH RUNTUH TERTIMPA CINTA
TERTIMPA RASA YANG TAK ADA MAKNA
HINGGA HIDUP MENUJU KEHANCURAN

DAN KINI AKU TERLARUT
DALAM HATI KEHANCURAN MENEMANI
MENEROBOS RUANG GELAP
PENUH CAHAYA TAK TERJELMAKAN
OLEHKU…DI UJUNG WAKTUKU…

JAUH

TAK LAGI SEPERTI DULU
PENUH TAWA MELEWATI WAKTU
TAK LAGI SEPERTI AKU DULU
JAUH BERBEDA DAN TAK SAMA

TAK LAGI ADA KATA BAKU
JELMAKAN CINTA DI DADA
HINGGA HABIS PENUH SIKSA
BAGI HATIKU…JAUH DI HATIMU

JAUH, SUDAH AKU TERLUKA
BERSEMBUNYI MENEMANI SEPI
INGIN PERGI
TAPI, ENTAH KE MANA?

HABIS

MENATAP LANGIT
MENJUAL DIRI
TAK PERNAH BERARTI

MENGINJAK BUMI
MENGEJAR HARTA
TAK AKAN BERNYAWA

MENATAP LANGIT
MENCARI ARTI
TAK PERNAH MEMILIKI

MENATAP PERIH
MENJUAL DIRI
TAK ‘KAN PERNAH LAGI

TAK PERNAH

WAJAHMU SINARKAN CAHAYA
GEMULAIKANKU
MANJAKANKU
MIMPIKANMU

HATIMU…CINTAMU
SAKITI AKU
LUKAI AKU

CINTAMU DAN CINTAKU
TAK AKAN PERNAH SATU
HINGGA SANG ILAHI DATANG MENJEMPUTKU (d)

HIDUP

TANGAN PENUH LUKA
MENYISIRI TERIK MATAHARI
TAK ADA KATA LELAH
MENGEJAR MIMPI

HATI TERTEPI
LABUHKAN LUKA DI BAWAH SEMUA
MENGEJAR MIMPI
DI BAWAH TERIK MATAHARI

HIDUP ITULAH HIDUP
SELALU ADA KEBUTAAN
SELALU ADA KENIKMATAN
PENUH DENGAN KEBOHONGAN
PENUH DENGAN KESUCIAN
DAN PENUH DENGAN KEMUNAFIKAN
DI SAAT HIDUP
BENAR-BENAR HIDUP

HIDUP KARENA HARTA
HIDUP KARENA TAHTA
TAK AKAN BERMAKNA (D)

DAN BERKATA

PELANKAN LANGKAH
TUNDUKAN KEPALA
DI HADAPAN YANG MULIA

KUASAI SEMUA
TEGAKKAN MUKA
DI HADAPAN YANG LEMAH

PENUH KEBOHONGAN
BERLUTUT DAN BERKATA
“AKU ADA UNTUK YANG MULIA”

PENUH KEJUJURAN
TEGAK BERDIRI DAN BERKATA
“AKU ADA UNTUK MENGADA-NGADA”
KUASAI SEMUA
DAN BERKATA
“AKU ANJINGKU”
DI HADAPAN SANG RAJA

SISKA 2

SISKA...WAJAHMU TAK AKAN TERLUPA
DISAATKU CAMPAKKAN CINTA
PENUH DENGAN LUKA

SISKA...SENYUMANMU TAK AKAN HILANG
SAAT KUINGIN HAPUS DIRIMU
UNTUK SELAMANYA

SISKA..NADI BERHENTI
INGATKANKU PADAMU
DI SETIAP WAKTUKU

SISKA...BETAPAKU MENCINTAI
TERSIKSA AKU KARENA CINTA
CINTAKU PADAMU TAK TERBATAS WAKTU

SISKA...INGINKU KEJAR DIRIMU
KUTAK AKAN TAHU
MALUKU TAK SEPERTI DULU
ENTAH MENGAPA KAU TOLAK CINTAKU

SISKA...INGINKU DEKATMU
MENDEKAP PELUK RINDUKU
PADAMU SEUMUR HIDUPKU

SISKA...CINTAKU HANYA UNTUKMU
SAMPAI KAPAN KUTAK AKAN TAU
SAMPAI MATI PUN KAU JUGA AKAN TAU

SISKA...BIARKAN WAKTU BERLALU
CINTAKU TAK KAN PUDAR
SAMPAI KUHABISI WAKTU

SISKA...MEGERTILAH AKU
PAHAMILAHKU
KUCINTA PADAMU SEUMUR HIDUPKU

SISKA...BIARKAN WAKTU MENUNGGU
SAATKU TELAH PULANG
DAN TAK AKAN KEMBALI

SISKA...OH SISIKA...
MENGERTILAH AKU...

HUJAN

KURASAKAN DAMAI DALAM DEKAPAN SUNYI
DALAM DERASNYA AIR JATUH KE BUMI
MENYIRAMI DUKA DI DADA
AKAN CINTA,
YA... AKAN CINTA YANG KANDAS KARENA HARTA

HUJAN, BASAHI KELAMKU
SIRAMI NURANIKU
PADAMKAN AMARAHKU
AKAN CINTA KARENA HARTA
HINGGA AKU KAN MATI KARENA CINTA...

LELAHKU…

SELALU AKU TERTAHAN DALAM MIMPI
HINGGA PAGI TAK PERNAH KUTEMUI
LELAPKU DALAM MIMPI
DI MANAKAH DIRIKU…

KAPAN…SEMUA ’KAN BERAKHIR
DI MANA…TEMPAT SEJATIKU
KE MANA KUHARUS PERGI…
MENGUBUR LELAHKU…

MATI…
JEMPUTLAH AKU
MATI…
KUTAK MAU TERMANJA OLEH MIMPI
MEMILIKI TAPI DISAKITI…
MATI…AKU DI SINI MENUNGGUMU
KU TAK MAU HIDUP
DI DUNIA SEPERTI INI (20-10-08)

Selasa, 06 Januari 2009

Mimpi Kelamku


Hujan, telah lama aku nanti dan saatnya kunikmati hujan dalam arus nikmatnya dunia. Aku larut dalam kelamnya malam, menunggu hujan hadir dan menyelimuti jeritan hatiku yang terdalam. Jeritan akan keniscayaan hidup, yang penuh dengan kedustaan. Dan di saat-saat hujan datang menemaniku, kutemui seseorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Seseorang berpakaian serba putih, memegang dan memeluk erat tubuhku yang penuh luka. Luka akan neraka dunia, yang semakin hari semakin tak terpatri lagi. Aku larut dalam belaian mesra itu dan membuatku tak sadarkan diri akan nikmatnya hujan di malam seperti ini.

”Kamu siapa?” Aku coba untuk bertanya pada seseorang yang begitu mesra memelukku. Aku serasa tak ingin lepas dalam dekapan itu. Seperti dekapan ibuku yang penuh sayang dan cinta padaku. Tak ada jawaban yang kudengar. Tubuhku semakin tak karuan menerima pelukkan itu. Aku benar-benar larut dalam hujan dan dinginnya malam yang tak sempat aku rasakan beberapa hari ini. Aku mencoba untuk melepaskan pelukkan itu, tapi tak mampu. Aku bahkan tak tahu, siapakah dia, perempuan atau...Tapi aku tak mau tahu, aku harus coba menikmati dekapan ini. Dekapan cinta tanpa ada harganya. Kapan lagi aku dipeluk seperti ini. Sampai mati pun aku tak akan mendapatkan pelukan ini, jika harus menunggu Fransiska. Ya..gadis yang mencuri hatiku.

Pelukkan mesra yang sedang aku rasakan tak sedikit pun hilang. Aku semakin melayang mengitari luasnya dunia ini. Dunia yang penuh dengan warna. Warna yang sesekali berganti, dari putih hingga hitam. Hitam yang selalu penuh dengan kelam, penuh dengan kematangan akan penindasan. Sampai ke negeri yang sedang merasakan euforia akan pemimpin barunya, aku pun sempat merasakan hal itu. Tapi tak sedikit pun aku merasa kelamnya hatiku terobati, mungkin juga kelamnya negeriku. Hingga harapan yang terlalu besar sirna semua. Dari negeri yang begitu maha di dunia ini, aku melayang ke negeri tempat lahirnya Lavezzi sampai ke negeri Ratu Elisabeth. Di negeri Lavezzi, aku begitu menikmati atmosfir sepak bola yang hampir sama dengan di negeriku. Sepak bola yang sama saja dengan ring tinju. Ring tempat perturahan nyawa.

”Kamu mau ke mana?” Seseorang berbaju merah memanggilku sambil memegang pundakku yang penuh beban akan kehidupan. Aku semakin tak yakin dengan apa yang baru saja aku lihat. Bukan hanya seseorang, tetapi lebih dari itu. ”Aku mau ke mana pun, asalkan itu bisa membuatku jauh dari kelamnya negeriku.” ”Kamu mau ke mana?” Pertanyaan itu terulang lagi.” Aku hanya menarik nafasku dalam, coba sabar. Perlahan aku jawab, ”Ke mana pun, asal itu bisa membuatku jauh dari negeriku yang paling kelam.” Aku berharap jawabanku dapat dimengerti oleh orang-orang yang begitu asing bagiku. ”Kamu mau ke mana?” Baru saja aku berharap jawabanku itu dapat dimengerti mereka, tapi pertanyaan itu telah terulang lagi. Aku semakin binggung, apakah mereka tak mengerti bahasa yang aku gunakan. Apakah bahasa yang aku gunakan kurang efektif hingga mereka terus bertanya. Apakah bahasa yang aku pakai tidak terstruktur, hingga pertanyaan itu terulang lagi. Atau apakah bahasaku tak mengikuti kaidah? Ah...buat apa aku pikirkan.

Menjengekkan jika aku harus mengulang itu-itu saja. Seperti saatku meluapkan cinta di hadapan Fransiska. Burung kakak tua mungkin tak mau mengulang seperti itu. Tapi, aku tak boleh begitu. Jangan-jangan mereka adalah orang di sini dan tak tahu negeriku. Ah...tidak mungkin mereka tak tahu sedikit pun tentang negeriku. Bukankah beberapa waktu yang lalu di negeriku tersiar kabar yang mendunia. Kabar yang tak menyedapkan, tapi sangat dinanti, sebagai balasan akan tindakan murka sebagian umat manusia.

”Where do you from?” aku tanyakan dengan bahasa yang terbata-bata. Maklumlah, bahasa itu kurang mendaging dalam tubuhku. Aku berharap mereka dapat mengerti saat aku menggunakan bahasa itu. ”Kamu mau ke mana?” Suara itu kembali terdengar. Semakin menjengkelkan saja tingkah orang-orang ini. Tapi anehnya, bukan hanya seseorang yang mengucapkan itu, mereka serentak dan terdengar merdu. Ya...semerdu suara Ariel, dan pastinya tak sesumbang suaraku saat bernyanyi.

Lalu mau apa lagi orang ini, sampai-sampai aku gunakan bahasa dunia itu pun mereka belum mengerti. Ingin rasanya aku pergi, tapi mau ke mana. Apa mungkin mereka ini orang dari langit, sehingga tak akan pernah mengerti bahasa manusia. Ataukah mereka ini sama dengan Fransisika, yang tak pernah mengerti untaian kata cintaku. Ah...pastinya mereka ini orang negeriku juga. Di negeriku kan biasa, orang mengulang apa yang sebenarnya pernah dilakukan, sekalipun itu sangat buruk. Yang pastinya, jika mereka juga adalah orang bangsaku, mereka adalah korban kesalahan pengajaran bahasa selama ini. Korban struktur dan korban teorisme yang sering terjadi di kelas-kelas, seperti di kelasku selama ini.

Dari negerinya Lavezzi, aku berharap dapat lari dari orang-orang yang memuakkan itu. Aku berharap memperoleh ketenangan dan kedamaian. Di suatu tempat, aku berhenti sejenak untuk membeli sebatang rokok, berharap melepaskan dahagaku. Tapi anehnya, aku merasa pernah mengunjungi tempat ini. Sepi, tak ada keramaian dan suara ribut mesin-mesin tronton di sepanjang jalan. Seperti yang sedang terjadi di kota tempatku menggapai mimpi.

”Pak beli satu batang rokok.” Aku serahkan uang Rp 1.000 kepada bapak berbaju hitam dan serba hitam itu. Saat menyerahkan sebatang rokok kepadaku, bapak itu juga mengembalikan uangku. Tapi, aku terkejut dan bertanya, ”Benar Pak, kembaliannya ini?” Lelaki itu, hanya diam dan menganggukan kepalanya. Wah, beda sekali dengan di negeriku. ”Kalau begitu saya beli tiga lagi Pak, dan satu indomie!” Kataku sambil menyerahkan uang kembalian itu. Aku masih merasa binggung saat meninggalkan tempat itu. Dengan uang sejumlah itu aku bisa memperoleh tiga batang rokok, dan hanya perlu Rp 500 aku bisa memperoleh satu bungkus indomie. Andai saja di negeriku seperti ini, tentu tak akan ada orang yang mati kelaparan dan mengalami busung lapar. Ya...Busung lapar.

Saat aku mulai jauh dari warung bapak berbaju hitam itu, aku baru sadar mengapa aku tidak membeli sebanyak mungkin barang itu. Membeli sebagai persediaan di kosku, kan lumayan dapat membuat kantongku tak terlalu boros. ”Ah...lebih baik aku kembali ke tempat itu. Kapan lagi aku mendapatkan barang dengan harga seperti itu. Sesuatu yang tak mungkin terjadi di negeriku, apalagi di zaman seperti ini.” Namun, saat aku kembali ke tempat itu, tak ada lagi kutemui sebuah warung. ”Di mana warung itu?” Aku bertanya dalam hatiku. Warung itu tidak ada lagi, yang aku jumpai hanya tebaran sampah yang baunya begitu menyengatkan. Dan terlihat ada seseorang yang sedang sibuk mengumpulkan sampah itu. ”Permisi...warung di wilayah ini ada di mana ya Pak?” Aku bertanya pada lelaki berbaju putih itu, dengan segala keraguanku. Aku tak mengerti mengapa warung yang tadinya persis ada di sini tidak ada lagi.

Alangkah terkejutnya aku, saat aku lihat bahwa orang yang baru saja aku tanya itu adalah bapak berbaju hitam yang tadi aku temui di warung supermurah itu. Aku seakan tak percaya. ”Bapak kan yang tadi ada di warung itu?” Aku coba mencari tahu dan meyakinkan bahwa dugaanku tak salah. ”Warung mana?” Kata bapak itu, sambil tersenyum ramah padaku. ”Ah...Bapak jangan berpura-pura. Tadi saat saya membeli rokok, kan Bapak yang ada di warung itu?” ”Ah Adik ini bercanda saja.” Bapak itu tidak yakin dengan apa yang aku tanyakan. ”Serius Pak, beberapa menit yang lalu saya membeli rokok dan indomie di warung Bapak. Masa’ bapak tidak ingat?” ”Warung...?” Bapak berbaju putih itu tampaknya bingung dengan apa yang aku tanyakan padanya. Tapi rasanya aku tidak salah, bapak ini yang aku temui di warung itu tadi. Warung yang harga barangnya begitu murah.

”Adik tampaknya salah orang. Jangankan warung, rumah saja saya tak punya. Memang Adik tadi pergi ke warung mana. Rasanya di wilayah ini, warung tidak ada. Saya dan warga kampung membeli barang di sana.” Bapak itu coba meyakinkanku, sambil menunjuk ke arah barat. Dari wajahnya dapat aku lihat suatu kejujuran dan tidak ada sedikitpun kepura-puraan. Yang jelas Bapak itu tidak seperti Fransiska, yang penuh dengan kepura-puraan, dan membuatku hatiku hancur.

”Pak, benar apa yang dikatakan Bapak tadi. Soalnya, tadi saya temui warung di sini.” ”Ah Adik ini, tidak percaya sama saya. Lantas, mengapa Adik kembali lagi, tadi kan Adik bilang sudah membeli rokok dan indomie?” Bapak itu balik bertanya kepadaku. ”Saya berencana mau membeli sebanyak mungkin barang di ditu, soalnya harga barang di situ murah Pak. ”Dari mana adik tahu murah?” ”Yah...ini buktinya rokok yang saya hisap dan indomie yang saya pegang ini,” aku menunjukkan rokok dan indomie yang tadi aku beli. ”Memangnya berapa harganya?” ”Semuanya hanya Rp 1.500.” Bapak itu kelihatannya tidak percaya dengan apa yang kukatakan. ”Ah...adik ini ngawur. Tidak mungkin dengan uang begitu adik mendapatkan empat batang rokok dan satu bungkus indomie.” ”Benar Pak, saya tidak sedang berbohong.”

Semua yang aku katakan tampaknya tak akan dimengerti Bapak itu. Sambil mengangkat karung yang penuh dengan sampah itu, ia berkata, ”Di zaman seperti ini tidak ada harga barang yang semurah adik katakan itu. Harga seperti itu adanya saat Bapak masih kecil. Jangankan yang adik sebutkan tadi, harga sampah ini saja belum tentu cukup untuk membeli barang-barang yang adik sebutkan tadi. Adik sedang bermimpi sepertinya?” ”Saya tidak sedang bermimpi. Kalau saya bermimpi, indomie dan rokok ini?” Bapak itu hanya diam dan kemudian berkata, ”Kalau memang yang adik katakan itu benar, sekarang adik ikut saya mengabarkan berita ini kepada teman seprofesi saya yang ada di sana.”

Bapak itu bermaksud mengajakku memberi tahu teman-temannya. Ya..tentu para pemulung juga. Baru saja ingin aku jelaskan kepada Bapak itu bahwa sebaiknya aku dan dia saja yang mencari tahu dulu di mana warung itu. Tetapi, di hadapanku sudah tak ada lagi sampah-sampah yang bertebaran bersama Bapak berbaju putih itu, yang ada malah aku melihat gadis pujaanku sedang menyantap makanan bersama seorang lelaki di meja paling kanan. ”Mana Bapak itu?” Aku bertanya dalam hatiku, sambil mengalihkan pandanganku dari Fransiska, pencuri hatiku.

Semuanya terasa aneh. Tiba-tiba aku sudah berada di hadapan Fransiska. Lalu Bapak dan sampah-sampah itu ke mana. Apa ini yang disebut kiamat sudah dekat. Ah...buat apa aku memikirkan itu, lebih baik aku menikmati wajah Fransiska. Kapan lagi aku dapat menikmati sepuas-puasnya, kalau tidak sekarang. Daripada aku menunggu saat berada di kelas, aku pastinya tak akan pernah berani memandangnya. Tapi, siapa lelaki yang ada di sampingnya. Apakah itu pujaan hatinya, seperti yang dikatakan Irma. Lelaki yang sedikit lebih berada, tapi tak lebih tampan dariku. Keberadaannya itu yang mungkin menarik hati Fransiska. Ya, Fransisika kan tak lebih dari iseng-iseng berhadiah. Toh, dia kan termasuk gadis yang selalu menginginkan lelaki yang seperti itu. Tak seperti aku, tak lebih berada dari Bapak misterius yang aku temui tadi.

Kucoba untuk menikmati wajah manis Fransiska, walau wajah itu pernah membuatku terluka. Tapi, semuanya berubah. Saat aku lihat gadis pujaan hatiku itu menangis. Tampaknya ia merasakan lima jari lelaki brengsek itu. Aku hanya bisa diam dan sedikit marah terhadap kelakuan lelaki itu. Ia telah berani menampar wajah manis kekasih impianku itu. Andai saja aku bisa, akan aku balas perlakuan lelaki itu. Tapi, aku kan tak lebih dari seorang pecundang. Ya...pecundang cinta, bukan untuk dunia. Aku kembali bingung, apa aku harus mendekati Fransiska dan menjadi seperti lelaki yang ada di sinetron-sinetron itu. Menghapus air mata dan coba menenangkannya. Inilah kesempatan bagiku untuk menunjukkan semuanya kepada Fransisika. Aku harus meyakinkan dia bahwa aku bukan lelaki yang sudah membuatnya menangis.

Aku yakinkan pada diriku bahwa inilah saatnya, untuk menunjukkan rasa sayangku. Aku harus menghampiri dan memberikan rasa tenang kepadanya. ”Sudahlah, Ika jangan menangis.” Aku usapkan air matanya dengan penuh rasa sayang. Baru inilah aku merasakan bagaimana mengusap wajah cantiknya Fransisika. Aku gemetar. Aku berharap semoga ini menjadi awal semuanya. Aku bisa menunjukkan rasa sayangku padanya, meskipun telah berulangkali aku ditolak dan disakitinya. Saat Fransiska memandangku, aku terhentak dan aku lihat sesuatu di sinar bola matanya. Sesuatu yang membuatku begitu jatuh hati kepadanya, sampai kapan pun. Aku rasa ia tidak keberatan dengan kehadiranku. Ia mungkin mulai menyadari arti pentingku baginya. Harapanku mungkin terlalu besar. Tapi, aku tak mau saat-saat seperti ini berlalu begitu saja, aku harus memeluknya. Memberikan rasa tenang. Wanita kan paling mau diperhatikan. Kucoba memeluknya, dan berusaha memberikan ketenangan padanya. Tapi...saat kucoba memeluk mesra tubuh Fransiska, aku sadar bahwa aku sedang memeluk seorang lelaki yang ada di sampingku. Lelaki yang tak lain adalah abangku. Ah...aku hanya bermimpi rupanya.

Aku terbangun dan meraih handuk untuk membasuh mukaku yang penuh luka. Saat aku pergi ke belakang rumahku, kulihat seseorang yang sedang mengumpulkan sampah. Dan aku rasa aku mengenalnya. Tak salah lagi, dialah Bapak yang aku temui tadi. Inginku hampiri, tapi aku tak berani, aku takut itu bagian dari kelamnya mimpiku. Kelam untuk menenggelamkanku dalam derasnya arus harta di dunia ini. Dalam kesusuhan yang sedang dialami bapak berbaju putih atau hitam itu, ataupun kekesusahan yang sedang dirasakanku saat ini. Kesusahan akan hidup yang penuh dengan tuntutan dan selalu diukur dengan mistar harta dan tahta.

”Hei...” Ku dengar seseorang memanggilku. Saat kulihat, aku diam dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Suara itu adalah suara merdu kekasih pujaan hatiku. ”Apa aku sedang bermimpi?” Tanyaku dalam hati.