Senin, 23 Februari 2009

MAKAN MENGHADAP BULAN

Makan menghadap ke bulan, menikam segala rasa yang penuh dengan duka, penuh dengan kemunafikan, dan penuh dengan kesombongan. Aku merasa sudah kenyang dengan segala omongan yang selalu meremehkanku, dan tak menghargaiku. Bagai pahlawan, kaum intelektual yang tak pernah tahu rasa itu, memakiku, menyalahkanku. Katanya mereka kaum terpelajar, punya gelar dan kehormatan, tapi tampaknya penghargaan untuk orang lain, seperti aku, tak pernah ada. Di mata mereka aku tak ada harganya. Gelar dan kedudukan yang mereka miliki membuat jurang pemisah semakin dalam.
Aku semakin tak tahan untuk menyimpan segudang rasa ini. Rasa yang semakin padamkan semangatku. Kata-kata itu terus saja berkeliaran di benakku. Aku makan penuh dengan amarah untuk membalas semua perlakuan itu. Mungkin di benak mereka, aku tak pernah ada harganya. Hanya tuntutan saja yang membuat mereka betah untuk setiap minggunya mentransfer ilmu kepadaku. Ilmu yang tak ada ubahnya dengan segudang padi yang susah untuk diangkut. Ilmu yang sama halnya juga dengan permen karet, dan lauk yang sedang aku makan ini. Hanya terpaksa aku menguyahnya. Tapi, kapan aku bisa membalasnya.
Malam itu, aku hanya duduk terpaku membayangkan apa yang sedang terjadi. Sinar bulan membuat terang di sekeliling rumahku. Aku teguk minuman pelepas amarahku. Mengharap ada ketenangan dalam batinku ini. Saat-saat kuterbayang pada kesombongan orang yang baru aku hadapi, aku lihat seseorang berjalan dengan langkah tegap, membawa tas hitam dan buku di tangannya. Dia memang mirip seorang pahlawan tanpa tanda jasa, seperti yang aku impikan selama ini. “Hei…Pak guru, sedang melamun ya?” Kata Bogem padaku. Aku perhatikan Bogem begitu rapi malam ini. “Lagi santai saja Bog.” Kutawarkan pada Bogem apa yang sedang aku teguk. Bersama malam yang dikabuti bintang, aku dan Bogem terhanyut dalam derasnya air penuh rasa ini. Air pelarian segala kegundahan. Air yang melekat di dalam kehidupan anak daerah yang sedang berusaha mengejar cita-citanya. Seperti aku dan Bogem.
Saat embun mulai menyelimuti pagi, Bogem pun pulang. Dengan terpaksa aku mengijinkannya. Aku takut daya imaji Bogem terlalu tinggi, hingga rumahnya sendiri dia tak tahu. Bogem telah pulang, dengan tas hitam tepat di atas kepalanya. Buku yang tadinya ia pegang, kini sudah ada di saku celananya. Rambutnya berubah mirip vokalis band yang kini menjadi idola di kalangan remaja. Kelakuannya memang membuatku tertawa terbahak-bahak. Bogem juga tampaknya menikmati keadaannya itu, ia serasa terbebas dari berbagai masalah yang sedang ia hadapi. Ya...berbagai masalah yang terus menghujamnya.
Bogem dan aku sudah lama bersahabat. Sudah banyak waktu yang kami habiskan untuk melukiskan tinta manis di dunia ini. Pahitnya hidup pun sudah biasa kami berdua lalui bersama. Telanjang untuk menang pun pernah dilakukan. Seperti kemarin, saat Bogem dihajar oleh kata-kata kaum terpandai yang penuh dengan embel-embel di belakangnya. Maksud mencari ilmu dan sedikit menyumbung pendapat, tapi Bogem malah disidang dan dituduh merusak citra mereka. Bagaikan seorang pencuri saja Bogem di hadapan mereka. Lebih dari itu, Bogem hanya dipandang sebagai yang orang tak ada sumbangsihnya bagi manusia yang penuh dengan kemunafikan itu.
“Berikan saja teori-teori itu, lakukan saja sesuka bapak (sengaja ’b’ dikecilkan), asal bapak senang akan saya ikuti! Saya kan manusia bodoh, tak ada satu pun teori yang saya ketahui.” Kata-kata itulah yang selalu aku bingkaikan dalam benakku. Gagahnya Bogem di hadapan manusia yang penuh sains itu. Aku sempat tersentak ketika ia mengatakan begitu. Keberanian itulah yang membuatku kagum dengan Bogem. Meski dihadapkan pada pilihan yang menyulitkan dan pada senjata mematikan milik kaum sains itu, Bogem tak gentar. Ia tetap pada pendiriannya, seperti yang selalu ia katakan padaku, “Untuk apa takut, kalau kesalahan memang jauh dari kita”.
Seperti biasanya, siang itu aku dijemput oleh Bogem dengan Phonixnya. Dalam perjalanan, Bogem berbicara padaku, “Lihat motor yang dipakai lelaki itu, mobil itu juga.”Bogem menunjuk ke arah motor dan mobil mewah yang melintas di jalan. “Suatu saat nanti, kita juga akan seperti itu.” Kataku pada Bogem sambil tertawa. “Jangan bermimpi, sampai kapan pun hidup kita tak akan berubah, Phonix ini juga yang akan mengantar kita. Sampai kapan pun, selalu si buntut ini.” “Tapi…”Belum sempat aku berbicara, Bogem sudah memotongnya, “Hari ini adalah usaha untuk hidup yang lebih baik ke depannya. Kesusahan hari ini adalah kesenangan untuk keturunan kita di waktu yang akan datang. Berharaplah apa yang baru aku katakan itu dapat tercapai, bukan berharap memiliki apa yang aku tunjukkan tadi. Itu hanya sesaat, dan bukan ukuran bagi kita.”
Sampai di tempat menempa ilmu, aku dan Bogem langsung menuju kelas. Di kelas tampak orang-orang sudah berkumpul semuanya. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang aku sendiri tak mau tau apa yang sedang mereka didiskusikan itu. Membosankan jika berbicara hal-hal yang penuh dengan intuitif dan teori saja. Teori-teori saat ini memang begitu mewabah, sampai-sampai aku juga sering kali dijuluki dengan sebutan Mr. RPP oleh Bogem. Sedangkan ia aku juluki dengan sebutan “Marx”, nama seseorang yang menjadi buah bibir di kelasku.
Aku dan Bogem duduk paling belakang, membaca buku sambil menunggu orang yang paling diharapkan dapat menurunkan ilmunya kepada kami. Keadaan di kelas tampak semakin ribut saja, apa yag dibicarakan mereka semakin tak jelas. Aku sengaja tak mau tahu dengan apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau mencampuri urusan yang tak ada sangkut pautnya denganku. Dan mereka juga tampak tak mengacuhkan kehadiranku dan Bogem. Mengiriskan jika kelas menjadi sarang bermain. Sarang menghabiskan waktu saja tanpa ada makna. Janganlah berharap untuk menjadi professional, jika selalu saja hal itu dilakukan dan tentunya dibiasakan. Hanya pulang, dan pulang, itu yang selalu ada.
Tampaknya tak ada sesuatu yang berubah setelah hampir setengah jam aku dan tentunya si Bogem duduk di kelas eksekutif ini. Keramaian berubah menjadi kesunyian. Hanya seseorang yang masih tampak tenang menunggu dan selalu menunggu pengantar ilmu hadir untuk memberikan ceramahnya. Walau tak semuanya seperti itu. “Ti, mana yang teman-teman yang lain?” Tanyaku pada Yanti yang dikenal sebagai anak pendiam di kelasku. Dengan halusnya, Yanti mengatakan kalau yang lainnya sudah pulang. Pulang…selalu saja seperti itu. Selalu saja membuang waktu untuk berguru. Berguru menjadi guru, berguru menjadi yang digugu. Sampai kapan seperti ini, jika harus terus pulang? Pulang penuh dengan kekosongan. Tak seperti Yanti, yang selalu setia menunggu.
Memang Yantilah gadis idaman semua pria. Gadis penuh sensasi, bukan sensasi seperti selebriti ataupun sejenisnya. Tapi sensasi akan tingkahnya yang begitu cerdas dalam segala hal. Tapi, tidak bagiku. Sensasinya Yanti takmembuat hatiku berpaling. Hatiku tetap pada pilihan utamanya. Terutama adalah Frida, sang pencuri hati di setiap waktu. Aku tak pernah bisa lari dari bayangan hantu seperti dirinya.
Tak ada pilihan lain, lebih baik pulang daripada menghabiskan waktu di sini. “Hah…penceramah itu pastinya tidak akan datang, lebih baik kita berdua pulang dan mengerjakan tugas yang sudah menumpuk dan menunggu untuk dijamah.” Bogem memegang tasnya, mengajakku pulang. Kami berdua pun meninggalkan kelas, dengan segala kekosongan dalam dada yang haus akan rasa. Yanti sang penarik hati, tampaknya masih betah duduk dengan buku berlabelkan “IBM” di tangannya. Buku yang sempat membuatku jenuh pada penceramah itu. Penceramah yang selalu menganggap beda aku, Bogem, dan calon pendidik ulung di kelasku. Beda, memang harus berbeda. Tidak akan ada yang pernah sama, tetapi janganlah terlalu membedakan. Sains yang dimiliki bukanlah ukurannya. Hormatilah orang seperti aku dan Bogem, yang selalu haus akan ilmu. Ilmu yang bukan hanya teori belaka, tapi ilmu sejati yang berguna bagi hidup ini.
Pulang dengan segala kekosongan seperti ini, bukanlah yang pertama kali. Tampaknya sejumlah uang yang begitu banyak ayahku keluarkan tak ada artinya. Penceramah itu lebih sibuk dengan urusan dinasnya. Urusan yang tak ubahnya seperti selebriti, yang sibuk show ke luar kota. Kesibukan yang menumbuhkan bibit kesengsaraan bagi orang lain. Bibit penyakit masyarakat yang tak pernah habisnya.
Janganlah berharap aku dan Bogem, ataupun yang sejenisnya menjadi orang yang profesional, jika semuanya ini terus terjadi. Dan janganlah terlalu banyak teori dari pada aplikasinya, jika mau aku dan Bogem, atau pun sejenisnya menjadi pendidik sejati. Seperti yang dikatakan Bogem, saat berhadapan dengan manusia yang begitu jenius itu. Bogem dengan tenangnya mengeluarkan segala jeritan hatinya yang selalu mendekam dalam nurani yang paling dalam.
“Jika aku memang dikatakan bodoh, itu bisa saja memang diriku, dan kesalahan masa lalu yang sering kita sebut kesalahan tradisional. Dan jika aku diharapkan menjadi pembaharu, profesional, ataupun sejenisnya, jangan harap dengan teori itu semuanya akan terwujud. Semuanya akan tetap seperti dulu, karena kami sering pulang dengan segala kekosongan.”
“Bogem, kamu dipanggil.” Kata Riri, teman sekelas kami sambil menunjuk ke ruangan tempat segala urusan kami diselesaikan. Ada apa dengan Bogem, apakah ia akan mendapat doorprize seperti yang selau ditayangkan dalam iklan di tv ataupun di jalan-jalan. Ataukah Bogem tersangkut dengan biaya pendidikan yang supermahal, seperti yang dialami tetanggaku. Ingin sekolah tapi harus bermodal kertas merah yang banyak, kertas yang menjadi segala-galanya di dunia. Kertas yang menjadi ukuran dalam segala hal tentang hidup, termasuk tentang cinta.
Di ruangan yang begitu sejuk, Bogem dengan tenang menghadap seseorang yang sering dikenal dengan julukan si jenius dari pulau seberang. Tak seperti biasanya Bogem dengan tenang berhadapan dengan orang yang selalu ia kagumi dan idolakan. Orang yang superjenius dan juga sering dikenal dengan sebutan Jeng Kelin. Kulihat dari luar tampaknya Bogem menerima sesuatu yang rupanya adalah amplop.
Bogem dengan perlahan membuka dan membaca isi surat berwarna merah itu. Ia tampaknya menikmati surat itu, seperti saat aku dan ia meneguk air kedamain di bawah sinar terang bulan. Ataupun saat aku makan menghadap bulan. Menghadap cahaya terang yang menerangi kelamnya malam dan kelamnya duniaku dan juga Bogem, lelaki yang selalu menggunakan nurani untuk menghadapi masalah hidup ini.
“Sejauh ini, kalian memperlakukanku. Kalian anggap aku apa, kalian pikir aku ini anak SD, yang bisa menerima saja apa kata gurunya.” Kudengar suara lantang Bogem menghentikan sejenak aktivitas orang yang ada di sekitar itu. Rasanya ada sesuatu yang tak beres dalam ruangan itu. Bogem marah dan melalui sinar matanya dapat kulihat kalau ia kini sedang menantang orang yang dihadapannya. “Ini sudah menjadi prosedur,” kata orang yang sebenarnya begitu Bogem hormati dan kagumi. “Prosedur…inikah yang dinamakan prosedur. Prosedur yang bisa membunuhku dan merampas semua cita-citaku?”
Aku hafal dengan apa yang sedang diungkapkan Bogem, itulah jeritan hatinya saat ini. Ia selalu mengatakan kepadaku kalau prosedur di sini selalu penuh dengan teori. Teori yang hanya merugikan kaum lemah, kaum yang selalu terkalahkan oleh harta, seperti aku dan Bogem. Dan ia berkata, “makan menghadap bulan pun tampaknya tak akan kita nimati lagi, karena prosedur-prosedur itu semua. Akan tetapi, makan menghadap kesengsaraan dapat kita lakukan, tapi adakah yang mau sengsara.
Sudah menjadi prosedur, begitulah jawaban yang didapatkan Bogem. Ia keluar dari ruangan itu dengan wajah tertunduk, wajah layu penuh beban yang terbelenggu. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, saat ia keluar dari ruangan yang akan menjadi kenangan terpahit dalam hidup Bogem. Aku tidak berani untuk menanyakan apa pun kepada Bogem, di saat-saat seperti ini. Biar saja aku cari tahu nanti, saat semuanya sudah tenang.
“Kamu tahu bukan, orang yang selalu kita hormati dan penuh dengan teori itu, menganggap aku sebagai pembangkang. Mereka bisanya menyalahkan, tapi membantu memperbaikinya tak mau. Membuat kita tertekan selama belajar dan menyudutkan, itu yang dapat mereka perbuat. Lihat hari ini, apa yang aku alami. Semuanya akan selalu seperti ini jika terus dibiarkan. Aku telah kalah, aku telah menghancurkan mimpi ibuku. Mimpi menjadikanku seperti alamhrum ayah, guru yang selalu penuh dengan kesengsaraan dan tentunya jauh dari kesejahteraan. Aku tak dapat lagi setiap hari bersama denganmu, dan bersam Phonix ayahku ini.”
Aku tak dapat melakukan apa-apa. Aku hanya diam mendengarkan curahan hati sahabat sejatiku itu. Aku mengerti apa sedang ia rasakan, hatinya begitu hancur. Tapi, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Aku dan Bogem pergi. Kuperhatikan pandangan mesra Bogem ke tempat yang penuh dengan cerita. Aku sedikit paham, walau tak semuanya. Semakin menjauh, pandangan mesra itu tetap saja tak hilang. Bogem bagaikan orang yang akan pergi dan tak akan pernah kembali. Ia menatap tajam segalanya. Ia meninggalkan sejuta tanya pada diriku. Tanya akan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, saat aku sedang mencoba untuk mengaitkan semuanya, Bogem mengajakku berhenti dan duduk di samping Tugu Digelis, yang kini jauh dari sorotan mata manusia. Tak seperti biasanya ia mengajakku duduk di tempat yang sebenarnya tak ia sukai.
Aku sadar sesuatu yang yang berat sedang menimpa hati Bogem, hingga ia tak seperti biasanya. “Aku tak lagi dapat merasakan suasana kelas yang begitu menyenangkan bagi kita, walau sedikit memuakan. Aku tak lagi dapat mendengarkan teori-teori itu. Aku telah mengecewakan keluargaku. Dan pastinya aku tak akan lagi menghadap bulan dengan kepala tegak. Aku malu pada bulan.” Bogem memandang malam yang bertabur bintang. Bintang seakan merasakan hancurnya hati Bogem dengan meredupkan cahayanya, mengiringi hancurnya hati sang pencari sejati yang tak kenal lelah. Aku juga mulai paham dengan apa yang sedang dialami Bogem. Aku salut dengan Bogem, ia berani untuk melakukan apa yang sudah menjadi pilihan hatinya. Ia sanggup melawan teorisme. Tak ada kata mundur jika sudah melangkah. Dan yang pastinya segala tentang KTSP akan menjadi mimpi-mimpi yang tak berarti. Semuanya akan menjadi abu dalam pikiran Bogem. Menjadi kenangan pahit dalam hidup pria yang berambut lurus itu. Dan yang terpenting aku akan menjadi orang yang beruntung karena memiliki teman seperti Bogem. Manusia yang selalu anti untuk mengucapkan kata-kata tanpa ada usaha nyata. Manusia yang selalu butuh kebebasan untuk berekspresi, seperti saat-saat makan menghadap bulan.
Semuanya telah berakhir, mimpi-mimpi akan menjadi sesuatu yang tak akan berarti. Bogem telah pergi dengan segala kehancurannya. Tapi Bogem telah berjanji padaku, akan menjadi sesuatu yang berharga bagi hidup ini. Ia akan mencoba menjadi apa pun asalkan itu nyata baginya. Bogemlah korban prosedur yang tak pernah jelas dan selalu berubah sepanjang waktu. Ialah korban teorisme dalam hidup ini. Korban dari keganasan dan kebodohan hidup, yang selalu diukur lewat mistar kenikmatan duniawi.
“ITAH” 24-11-2008

Rabu, 04 Februari 2009

KELAMKU


Hai sobat, inilah kumpulan puisi yang selama ini aku tulis. Kumpulan puisi yang berlabelkan "Kelamku" adalah suatu jelmaan dari segala perasaanku akan hidup dan cintaku. Kelamku mewakili perasaanku yang sempat hancur berantakan hingga aku sendiri tak tahu siapa aku, di mana aku, dan ke mana aku harus pergi?
Aku tahu bahwa saat membaca puisiku ini, semuanya pasti akan tertawa, semuanya pasti akan berceloteh, dan semuanya pasti akan berpikir bahwa puisi ini tak begitu puitis atau malahan tak layak untuk dipertontonkan. Akan tetapi, inilah aku, inilah puisiku, dan inilah hasil pergulatan jiwaku selama ini. Aku hanya ingin kelamku menjadi tahta bagiku selamanya.
Terima kasih aku kirimkan untuk sobat yang sudah rela melirikkan matanya ke blogku ini. Aku juga ingin menyampaikan salam matiku pada seseorang yang tak pernah mau menerima jeritan hatiku. Terima kasih juga untuk sobat-sobat yang selalu menjadi sumber inspirasiku.

KELAMKU

MASIH ADA RASA YANG TERLUPA
DI SAAT SEMUA TELAH BERSAMA
DI SAAT KUTERLANTARKAN WAKTUKU

MAUT TAHU WAKTU TAK PERNAH TAHU
HINGGA SEMUA TAK BERHARGA
DI MATA MEREKA KUTAK SELALU SAMA
TERINJAK DAN TERKUBUR LEMAH

AKU...TERLALU NAIF
DI SAAT SEMUA TELAH ADA DI MUKA,
AKU HILANG TANPA ARAH
HINGGA KATA TIADA BERKATA….

AKU...TERLALU LEMAH
UNTUK MELAWAN
AKU...
TERLALU MUDA
UNTUK MENGENAL PERJALANAN PENUH KEMUNAFIKAN

MAAF WAKTU
MAAFKAN AKU
INGIN KU AKHIRI SEMUA DI SINI
MENGHENTIKAN DETAK NADI
MENGHILANGKAN KELAMKU
MENGHANTARKAN AKU KE KEHIDUPAN ABADI
MENGHINDARKAN AKU DARI KEPALSUAN
DUNIA INI (28-08-08)

WAKTU

WAKTU…
INGINKU HAPUS…
INGINKU PUTAR…
INGINKU BUNUH …
TAPI AKU TAK AKAN MAMPU

INGINKU BERLALU…
WALAU SEBATAS TAHU…
INGINKU TENGGELAMKAN WAKTU…
TAPIKU TELAH TERKURUNG

KEPALASUANKU MENGURUNGKU
DARU WAKTU KE WAKTU
KUTINGGALKAN DIRIKU
SAAT KETERASINGAN MELANDAKU

DAN KINI AKU SENDIRI
MERATAPI BERSAMA SUNYI
TERDAMPAR DALAM KELAMNYA DUNIAKU
TERASING DALAM HEBATNYA DIRIKU (1-09-08)

PALSU

DALAM KEHENINGAN TAK TERTAHAN
RASA NAIF KIAN MENGGEMA
BATU TAJAM TAK BERDURI
MENUSUKKU, BERPALING DARIKU

TANGAN TAK SEPERTI TANGAN
KAKI TAK SEPERTI KAKI
MATA TAK SEPERTI MATA
PALSU TAK SEPERTI PALSU

DAN KINI SEMAKIN PUDAR
RASA CINTA KIAN PALSU
KARENA HARTA SEMUA BISA

DAN POLITIK TAK SEPERTI POLITIK
POLITIK HANYA BISA MENGELITIK
KEPALSUAN PUN TERUS MEMOLITIK
DI ANTARA RESAHNYA JIWAKU
AKAN DUNIA INI…
AKAN CINTA INI... (1-09-08)

KESENDIRIANKU

LELAH TERLALU BERAT KUPIKUL
HINGGA KELAM MENYELIMUTI
SUARA MENYUARA TIADA MAKNA
SESATI AKU,
DALAM KETERASINGANKU

DIAM, DIAM SAJA
DIAM PUN TAK AKAN DIAM
WALAU SEBATAS DIAM.

DAN KINI AKAN BERLALU
WALAU KU PASTIKAN KU TAK AKAN JEMU
MESKI WAKTU TERUS BERLALU
TERPAJAK AKU DALAM KESENDIRINKU (3-09-08)

DALAM

PELANGI PAGI TAK SEMPAT MENGHAMPIRI
TIDURKU TERLALU LELAP
HINGGA KU TAK AKAN TERBANGUN

KICAUN BURUNG MENYAMBUTKU
DENGAN SEDIH, TERTAWAKANKU
BEGITU KOTORNYA DIRIKU
SETIAP MATA MENGHINAKU
DALAM HATI

DALAM…TERLALU DALAM,
PERIH YANG KURASAKAN (4-9-08)
MENGAPA…

PAGI DATANG DAN PERGI
WALAU TAK PERNAH BERARTI
KUTAK AKAN BERHENTI
TANDINGI SEMUA YANG SAKITI

MENGAPA…AKU TERSAKITI
MENGAPA…AKU TERINJAK

KELAMNYA DUNIAKU
SEMPAT PADAMKAN JIWAKU
KEGETIRAN HATI
SELIMUTIKU DALAM CINTA TAK BERSUARA

MENGAPA…HARUS AKU
MENGAPA…TIDAK BERLAKU
BELAS KASIH TIADA MAKNA
DI DUNIAKU YANG KELAM
DIHIASI KALBU PENANTIANKU…
ALAM CINTA TANPA HARTA DAN TAHTA(5-9-08)

TAHTAKU..KELAMKU

SEPI SELIMUTI HATI
DALAM HATI TERPATRI
KATA MENYERAH
KIAN MENGGEMA

TAK PEDULI DENGAN HARTA
TAK PEDULI DENGAN TAHTA
MESKI MEREKA LEBIH NYATA
MESKI MEREKA PUNYA HARTA
KUYAKIN TAHTAKU BUKAN KARENA MEREKA…

TAHTAKU ADALAH KELAMKU
TAHTAKU JELMAKANKU
DALAM GUNDAH KUMENARI
RAYAKAN…SENANDUNGKAN…
TANPA MEREKA…
TANPA HARTA…
KU BERNYANYI KUATKAN HATI…

DAN KINI AKU TAK MAU TAHU
AKAN TAHTA DAN HARTA
DAN KINI KUMAU TAHU
TAHTAKU…KELAMKU (5-908)

SAKIT…

INGIN KUMULAI DENGAN KATA
HARGAIKU DALAM SUNYIKU
SAYANGIKU DALAM SENDIRIKU
SAKIT…TERLALU SAKIT…

TAK TERTAHAN HASRAT SAKITI
LESU LUNGLAI KUMENANTI
TAPI HATI TERLALU BESAR
MENAMPUNG HASRAT TIADA MAKNA
DI DUNIA, KARENA CINTA… (5-9-08

PERCUMA…

PERCUMA…
KUBERNYANYI
DALAM SEPI TIADA HENTI

PERCUMA…
KUBERMIMPI
DALAM GELAP TIADA ARTI

PERCUMA…
KUMENANTI
CINTA SEMUA TIADA MAKNA

PERCUMA…
KUBERHENTI,
DALAM TERANG KUAKAN MATI
SAMPAI KAPAN KUTERUS BEGINI??? (10-9-08)

TIADA ARTI

TERTAHTA AKU DI MALAM TIADA MAKNA
WAKTUKU PULANG DENGAN SEDIH
TIADA ARTI KUTERUS BERTAHAN

HANYA KARENA NAMA DAN HARTA
GENGGAMANKU DIRAMPAS
TIADA MAKNA KUTERUS MELAWAN

SAKIT TERLALU SAKIT
KUTERLENA DALAM LELAHKU
MENCARI ARTI TAK KUNJUNG HENTI
HINGGA PERIH TAK LAGI TERASA
BERULANG KALI…
KESEKIAN KALI…
KUDITERLANTARKAN OLEH CINTA…
TAPIKU TAK AKAN JEMU… (10-9-08)

TERLALU

CINTA…TERLALU
KELAM…HIASI
CINTA…TAK HILANG
SEDIKITPUN PADAMU

KAU…HEMPASKANKU
DENGAN KATAMU
HASRAT JIWAKU LELAP
PUDAR SEMANGATKU
HINGGA KINI KUTAK SADARI

CINTA…TERLALU
TERLANJUR…BUKAN ITU
CINTA…TULUS
BAGIKU…UNTUKMU

CINTA…TERLALU
CINTA…PADAMU
TERLALU…CINTAKU
HINGGA KUTAK SADAR DIRI (28-09-08)

HINA…

ALUNAN KATA TERBESIT DALAM,
HATI TAK PERNAH MENGERTI
UNTUKMU…BUKAN UNTUKKU

TANGISAN TEREDAM DALAM
JANTUNG TAK BERDETAK
UNTUKMU…HINAKU

HINA…HINAKAH AKU…
HINA…DI MATAMU

MEMINTA KESEKIAN KALI
MEMINTA DENGAN HINAKU
MEMOHON DENGAN HINAKU
TAPI AKU TAK AKAN BERHENTI
SAMPAI KAU MAU (12-10-08)

TAK ADA…

TAK ADA YANG SEPERTIKU
TAK ADA YANG MENGERTIKU
MIMPI-MIMPI LELAPKAN SEMUA
DALAM DUNIA…

TAK ADA YANG SEPERTIKU
TAK ADA YANG MENEMANIKU
DALAM GUNDAH
KU SELALU SEPI

TAK ADA YANG MENGAGUMI
TAK ADA YANG MENCINTAI
TAK ADA YANG MENGERTI
TAK ADA YANG MEMILIKI (20-10-08)

SISKA

SISKA…
TERDAMPAR AKU DALAM CINTA
TERHANYUT AKU TIADA MAKNA
INGINKAN SESUATU DARIMU

SISKA…
GEMULAI INDAH WAJAHMU
BENAMKANKU DALAM MIMPI
SAMPAIKU MATI

SISKA…
MANJAKU KARNAMU
MATIKU KARNA CINTAMU
SAKITIKU SETIAP WAKTU

HANCUR

PERJALANAN MENUJU ISTANA
KUISI WAKTU DENGAN PENUH MAKNA
TERTATIH KUTAK MAU TAU
HATIKU TERLALU HANCUR UNTUK BERTAHAN

PERJALANAN MENUJU KEMAUAN
TELAH RUNTUH TERTIMPA CINTA
TERTIMPA RASA YANG TAK ADA MAKNA
HINGGA HIDUP MENUJU KEHANCURAN

DAN KINI AKU TERLARUT
DALAM HATI KEHANCURAN MENEMANI
MENEROBOS RUANG GELAP
PENUH CAHAYA TAK TERJELMAKAN
OLEHKU…DI UJUNG WAKTUKU…

JAUH

TAK LAGI SEPERTI DULU
PENUH TAWA MELEWATI WAKTU
TAK LAGI SEPERTI AKU DULU
JAUH BERBEDA DAN TAK SAMA

TAK LAGI ADA KATA BAKU
JELMAKAN CINTA DI DADA
HINGGA HABIS PENUH SIKSA
BAGI HATIKU…JAUH DI HATIMU

JAUH, SUDAH AKU TERLUKA
BERSEMBUNYI MENEMANI SEPI
INGIN PERGI
TAPI, ENTAH KE MANA?

HABIS

MENATAP LANGIT
MENJUAL DIRI
TAK PERNAH BERARTI

MENGINJAK BUMI
MENGEJAR HARTA
TAK AKAN BERNYAWA

MENATAP LANGIT
MENCARI ARTI
TAK PERNAH MEMILIKI

MENATAP PERIH
MENJUAL DIRI
TAK ‘KAN PERNAH LAGI

TAK PERNAH

WAJAHMU SINARKAN CAHAYA
GEMULAIKANKU
MANJAKANKU
MIMPIKANMU

HATIMU…CINTAMU
SAKITI AKU
LUKAI AKU

CINTAMU DAN CINTAKU
TAK AKAN PERNAH SATU
HINGGA SANG ILAHI DATANG MENJEMPUTKU (d)

HIDUP

TANGAN PENUH LUKA
MENYISIRI TERIK MATAHARI
TAK ADA KATA LELAH
MENGEJAR MIMPI

HATI TERTEPI
LABUHKAN LUKA DI BAWAH SEMUA
MENGEJAR MIMPI
DI BAWAH TERIK MATAHARI

HIDUP ITULAH HIDUP
SELALU ADA KEBUTAAN
SELALU ADA KENIKMATAN
PENUH DENGAN KEBOHONGAN
PENUH DENGAN KESUCIAN
DAN PENUH DENGAN KEMUNAFIKAN
DI SAAT HIDUP
BENAR-BENAR HIDUP

HIDUP KARENA HARTA
HIDUP KARENA TAHTA
TAK AKAN BERMAKNA (D)

DAN BERKATA

PELANKAN LANGKAH
TUNDUKAN KEPALA
DI HADAPAN YANG MULIA

KUASAI SEMUA
TEGAKKAN MUKA
DI HADAPAN YANG LEMAH

PENUH KEBOHONGAN
BERLUTUT DAN BERKATA
“AKU ADA UNTUK YANG MULIA”

PENUH KEJUJURAN
TEGAK BERDIRI DAN BERKATA
“AKU ADA UNTUK MENGADA-NGADA”
KUASAI SEMUA
DAN BERKATA
“AKU ANJINGKU”
DI HADAPAN SANG RAJA

SISKA 2

SISKA...WAJAHMU TAK AKAN TERLUPA
DISAATKU CAMPAKKAN CINTA
PENUH DENGAN LUKA

SISKA...SENYUMANMU TAK AKAN HILANG
SAAT KUINGIN HAPUS DIRIMU
UNTUK SELAMANYA

SISKA..NADI BERHENTI
INGATKANKU PADAMU
DI SETIAP WAKTUKU

SISKA...BETAPAKU MENCINTAI
TERSIKSA AKU KARENA CINTA
CINTAKU PADAMU TAK TERBATAS WAKTU

SISKA...INGINKU KEJAR DIRIMU
KUTAK AKAN TAHU
MALUKU TAK SEPERTI DULU
ENTAH MENGAPA KAU TOLAK CINTAKU

SISKA...INGINKU DEKATMU
MENDEKAP PELUK RINDUKU
PADAMU SEUMUR HIDUPKU

SISKA...CINTAKU HANYA UNTUKMU
SAMPAI KAPAN KUTAK AKAN TAU
SAMPAI MATI PUN KAU JUGA AKAN TAU

SISKA...BIARKAN WAKTU BERLALU
CINTAKU TAK KAN PUDAR
SAMPAI KUHABISI WAKTU

SISKA...MEGERTILAH AKU
PAHAMILAHKU
KUCINTA PADAMU SEUMUR HIDUPKU

SISKA...BIARKAN WAKTU MENUNGGU
SAATKU TELAH PULANG
DAN TAK AKAN KEMBALI

SISKA...OH SISIKA...
MENGERTILAH AKU...

HUJAN

KURASAKAN DAMAI DALAM DEKAPAN SUNYI
DALAM DERASNYA AIR JATUH KE BUMI
MENYIRAMI DUKA DI DADA
AKAN CINTA,
YA... AKAN CINTA YANG KANDAS KARENA HARTA

HUJAN, BASAHI KELAMKU
SIRAMI NURANIKU
PADAMKAN AMARAHKU
AKAN CINTA KARENA HARTA
HINGGA AKU KAN MATI KARENA CINTA...

LELAHKU…

SELALU AKU TERTAHAN DALAM MIMPI
HINGGA PAGI TAK PERNAH KUTEMUI
LELAPKU DALAM MIMPI
DI MANAKAH DIRIKU…

KAPAN…SEMUA ’KAN BERAKHIR
DI MANA…TEMPAT SEJATIKU
KE MANA KUHARUS PERGI…
MENGUBUR LELAHKU…

MATI…
JEMPUTLAH AKU
MATI…
KUTAK MAU TERMANJA OLEH MIMPI
MEMILIKI TAPI DISAKITI…
MATI…AKU DI SINI MENUNGGUMU
KU TAK MAU HIDUP
DI DUNIA SEPERTI INI (20-10-08)