Selasa, 06 Januari 2009

Mimpi Kelamku


Hujan, telah lama aku nanti dan saatnya kunikmati hujan dalam arus nikmatnya dunia. Aku larut dalam kelamnya malam, menunggu hujan hadir dan menyelimuti jeritan hatiku yang terdalam. Jeritan akan keniscayaan hidup, yang penuh dengan kedustaan. Dan di saat-saat hujan datang menemaniku, kutemui seseorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Seseorang berpakaian serba putih, memegang dan memeluk erat tubuhku yang penuh luka. Luka akan neraka dunia, yang semakin hari semakin tak terpatri lagi. Aku larut dalam belaian mesra itu dan membuatku tak sadarkan diri akan nikmatnya hujan di malam seperti ini.

”Kamu siapa?” Aku coba untuk bertanya pada seseorang yang begitu mesra memelukku. Aku serasa tak ingin lepas dalam dekapan itu. Seperti dekapan ibuku yang penuh sayang dan cinta padaku. Tak ada jawaban yang kudengar. Tubuhku semakin tak karuan menerima pelukkan itu. Aku benar-benar larut dalam hujan dan dinginnya malam yang tak sempat aku rasakan beberapa hari ini. Aku mencoba untuk melepaskan pelukkan itu, tapi tak mampu. Aku bahkan tak tahu, siapakah dia, perempuan atau...Tapi aku tak mau tahu, aku harus coba menikmati dekapan ini. Dekapan cinta tanpa ada harganya. Kapan lagi aku dipeluk seperti ini. Sampai mati pun aku tak akan mendapatkan pelukan ini, jika harus menunggu Fransiska. Ya..gadis yang mencuri hatiku.

Pelukkan mesra yang sedang aku rasakan tak sedikit pun hilang. Aku semakin melayang mengitari luasnya dunia ini. Dunia yang penuh dengan warna. Warna yang sesekali berganti, dari putih hingga hitam. Hitam yang selalu penuh dengan kelam, penuh dengan kematangan akan penindasan. Sampai ke negeri yang sedang merasakan euforia akan pemimpin barunya, aku pun sempat merasakan hal itu. Tapi tak sedikit pun aku merasa kelamnya hatiku terobati, mungkin juga kelamnya negeriku. Hingga harapan yang terlalu besar sirna semua. Dari negeri yang begitu maha di dunia ini, aku melayang ke negeri tempat lahirnya Lavezzi sampai ke negeri Ratu Elisabeth. Di negeri Lavezzi, aku begitu menikmati atmosfir sepak bola yang hampir sama dengan di negeriku. Sepak bola yang sama saja dengan ring tinju. Ring tempat perturahan nyawa.

”Kamu mau ke mana?” Seseorang berbaju merah memanggilku sambil memegang pundakku yang penuh beban akan kehidupan. Aku semakin tak yakin dengan apa yang baru saja aku lihat. Bukan hanya seseorang, tetapi lebih dari itu. ”Aku mau ke mana pun, asalkan itu bisa membuatku jauh dari kelamnya negeriku.” ”Kamu mau ke mana?” Pertanyaan itu terulang lagi.” Aku hanya menarik nafasku dalam, coba sabar. Perlahan aku jawab, ”Ke mana pun, asal itu bisa membuatku jauh dari negeriku yang paling kelam.” Aku berharap jawabanku dapat dimengerti oleh orang-orang yang begitu asing bagiku. ”Kamu mau ke mana?” Baru saja aku berharap jawabanku itu dapat dimengerti mereka, tapi pertanyaan itu telah terulang lagi. Aku semakin binggung, apakah mereka tak mengerti bahasa yang aku gunakan. Apakah bahasa yang aku gunakan kurang efektif hingga mereka terus bertanya. Apakah bahasa yang aku pakai tidak terstruktur, hingga pertanyaan itu terulang lagi. Atau apakah bahasaku tak mengikuti kaidah? Ah...buat apa aku pikirkan.

Menjengekkan jika aku harus mengulang itu-itu saja. Seperti saatku meluapkan cinta di hadapan Fransiska. Burung kakak tua mungkin tak mau mengulang seperti itu. Tapi, aku tak boleh begitu. Jangan-jangan mereka adalah orang di sini dan tak tahu negeriku. Ah...tidak mungkin mereka tak tahu sedikit pun tentang negeriku. Bukankah beberapa waktu yang lalu di negeriku tersiar kabar yang mendunia. Kabar yang tak menyedapkan, tapi sangat dinanti, sebagai balasan akan tindakan murka sebagian umat manusia.

”Where do you from?” aku tanyakan dengan bahasa yang terbata-bata. Maklumlah, bahasa itu kurang mendaging dalam tubuhku. Aku berharap mereka dapat mengerti saat aku menggunakan bahasa itu. ”Kamu mau ke mana?” Suara itu kembali terdengar. Semakin menjengkelkan saja tingkah orang-orang ini. Tapi anehnya, bukan hanya seseorang yang mengucapkan itu, mereka serentak dan terdengar merdu. Ya...semerdu suara Ariel, dan pastinya tak sesumbang suaraku saat bernyanyi.

Lalu mau apa lagi orang ini, sampai-sampai aku gunakan bahasa dunia itu pun mereka belum mengerti. Ingin rasanya aku pergi, tapi mau ke mana. Apa mungkin mereka ini orang dari langit, sehingga tak akan pernah mengerti bahasa manusia. Ataukah mereka ini sama dengan Fransisika, yang tak pernah mengerti untaian kata cintaku. Ah...pastinya mereka ini orang negeriku juga. Di negeriku kan biasa, orang mengulang apa yang sebenarnya pernah dilakukan, sekalipun itu sangat buruk. Yang pastinya, jika mereka juga adalah orang bangsaku, mereka adalah korban kesalahan pengajaran bahasa selama ini. Korban struktur dan korban teorisme yang sering terjadi di kelas-kelas, seperti di kelasku selama ini.

Dari negerinya Lavezzi, aku berharap dapat lari dari orang-orang yang memuakkan itu. Aku berharap memperoleh ketenangan dan kedamaian. Di suatu tempat, aku berhenti sejenak untuk membeli sebatang rokok, berharap melepaskan dahagaku. Tapi anehnya, aku merasa pernah mengunjungi tempat ini. Sepi, tak ada keramaian dan suara ribut mesin-mesin tronton di sepanjang jalan. Seperti yang sedang terjadi di kota tempatku menggapai mimpi.

”Pak beli satu batang rokok.” Aku serahkan uang Rp 1.000 kepada bapak berbaju hitam dan serba hitam itu. Saat menyerahkan sebatang rokok kepadaku, bapak itu juga mengembalikan uangku. Tapi, aku terkejut dan bertanya, ”Benar Pak, kembaliannya ini?” Lelaki itu, hanya diam dan menganggukan kepalanya. Wah, beda sekali dengan di negeriku. ”Kalau begitu saya beli tiga lagi Pak, dan satu indomie!” Kataku sambil menyerahkan uang kembalian itu. Aku masih merasa binggung saat meninggalkan tempat itu. Dengan uang sejumlah itu aku bisa memperoleh tiga batang rokok, dan hanya perlu Rp 500 aku bisa memperoleh satu bungkus indomie. Andai saja di negeriku seperti ini, tentu tak akan ada orang yang mati kelaparan dan mengalami busung lapar. Ya...Busung lapar.

Saat aku mulai jauh dari warung bapak berbaju hitam itu, aku baru sadar mengapa aku tidak membeli sebanyak mungkin barang itu. Membeli sebagai persediaan di kosku, kan lumayan dapat membuat kantongku tak terlalu boros. ”Ah...lebih baik aku kembali ke tempat itu. Kapan lagi aku mendapatkan barang dengan harga seperti itu. Sesuatu yang tak mungkin terjadi di negeriku, apalagi di zaman seperti ini.” Namun, saat aku kembali ke tempat itu, tak ada lagi kutemui sebuah warung. ”Di mana warung itu?” Aku bertanya dalam hatiku. Warung itu tidak ada lagi, yang aku jumpai hanya tebaran sampah yang baunya begitu menyengatkan. Dan terlihat ada seseorang yang sedang sibuk mengumpulkan sampah itu. ”Permisi...warung di wilayah ini ada di mana ya Pak?” Aku bertanya pada lelaki berbaju putih itu, dengan segala keraguanku. Aku tak mengerti mengapa warung yang tadinya persis ada di sini tidak ada lagi.

Alangkah terkejutnya aku, saat aku lihat bahwa orang yang baru saja aku tanya itu adalah bapak berbaju hitam yang tadi aku temui di warung supermurah itu. Aku seakan tak percaya. ”Bapak kan yang tadi ada di warung itu?” Aku coba mencari tahu dan meyakinkan bahwa dugaanku tak salah. ”Warung mana?” Kata bapak itu, sambil tersenyum ramah padaku. ”Ah...Bapak jangan berpura-pura. Tadi saat saya membeli rokok, kan Bapak yang ada di warung itu?” ”Ah Adik ini bercanda saja.” Bapak itu tidak yakin dengan apa yang aku tanyakan. ”Serius Pak, beberapa menit yang lalu saya membeli rokok dan indomie di warung Bapak. Masa’ bapak tidak ingat?” ”Warung...?” Bapak berbaju putih itu tampaknya bingung dengan apa yang aku tanyakan padanya. Tapi rasanya aku tidak salah, bapak ini yang aku temui di warung itu tadi. Warung yang harga barangnya begitu murah.

”Adik tampaknya salah orang. Jangankan warung, rumah saja saya tak punya. Memang Adik tadi pergi ke warung mana. Rasanya di wilayah ini, warung tidak ada. Saya dan warga kampung membeli barang di sana.” Bapak itu coba meyakinkanku, sambil menunjuk ke arah barat. Dari wajahnya dapat aku lihat suatu kejujuran dan tidak ada sedikitpun kepura-puraan. Yang jelas Bapak itu tidak seperti Fransiska, yang penuh dengan kepura-puraan, dan membuatku hatiku hancur.

”Pak, benar apa yang dikatakan Bapak tadi. Soalnya, tadi saya temui warung di sini.” ”Ah Adik ini, tidak percaya sama saya. Lantas, mengapa Adik kembali lagi, tadi kan Adik bilang sudah membeli rokok dan indomie?” Bapak itu balik bertanya kepadaku. ”Saya berencana mau membeli sebanyak mungkin barang di ditu, soalnya harga barang di situ murah Pak. ”Dari mana adik tahu murah?” ”Yah...ini buktinya rokok yang saya hisap dan indomie yang saya pegang ini,” aku menunjukkan rokok dan indomie yang tadi aku beli. ”Memangnya berapa harganya?” ”Semuanya hanya Rp 1.500.” Bapak itu kelihatannya tidak percaya dengan apa yang kukatakan. ”Ah...adik ini ngawur. Tidak mungkin dengan uang begitu adik mendapatkan empat batang rokok dan satu bungkus indomie.” ”Benar Pak, saya tidak sedang berbohong.”

Semua yang aku katakan tampaknya tak akan dimengerti Bapak itu. Sambil mengangkat karung yang penuh dengan sampah itu, ia berkata, ”Di zaman seperti ini tidak ada harga barang yang semurah adik katakan itu. Harga seperti itu adanya saat Bapak masih kecil. Jangankan yang adik sebutkan tadi, harga sampah ini saja belum tentu cukup untuk membeli barang-barang yang adik sebutkan tadi. Adik sedang bermimpi sepertinya?” ”Saya tidak sedang bermimpi. Kalau saya bermimpi, indomie dan rokok ini?” Bapak itu hanya diam dan kemudian berkata, ”Kalau memang yang adik katakan itu benar, sekarang adik ikut saya mengabarkan berita ini kepada teman seprofesi saya yang ada di sana.”

Bapak itu bermaksud mengajakku memberi tahu teman-temannya. Ya..tentu para pemulung juga. Baru saja ingin aku jelaskan kepada Bapak itu bahwa sebaiknya aku dan dia saja yang mencari tahu dulu di mana warung itu. Tetapi, di hadapanku sudah tak ada lagi sampah-sampah yang bertebaran bersama Bapak berbaju putih itu, yang ada malah aku melihat gadis pujaanku sedang menyantap makanan bersama seorang lelaki di meja paling kanan. ”Mana Bapak itu?” Aku bertanya dalam hatiku, sambil mengalihkan pandanganku dari Fransiska, pencuri hatiku.

Semuanya terasa aneh. Tiba-tiba aku sudah berada di hadapan Fransiska. Lalu Bapak dan sampah-sampah itu ke mana. Apa ini yang disebut kiamat sudah dekat. Ah...buat apa aku memikirkan itu, lebih baik aku menikmati wajah Fransiska. Kapan lagi aku dapat menikmati sepuas-puasnya, kalau tidak sekarang. Daripada aku menunggu saat berada di kelas, aku pastinya tak akan pernah berani memandangnya. Tapi, siapa lelaki yang ada di sampingnya. Apakah itu pujaan hatinya, seperti yang dikatakan Irma. Lelaki yang sedikit lebih berada, tapi tak lebih tampan dariku. Keberadaannya itu yang mungkin menarik hati Fransiska. Ya, Fransisika kan tak lebih dari iseng-iseng berhadiah. Toh, dia kan termasuk gadis yang selalu menginginkan lelaki yang seperti itu. Tak seperti aku, tak lebih berada dari Bapak misterius yang aku temui tadi.

Kucoba untuk menikmati wajah manis Fransiska, walau wajah itu pernah membuatku terluka. Tapi, semuanya berubah. Saat aku lihat gadis pujaan hatiku itu menangis. Tampaknya ia merasakan lima jari lelaki brengsek itu. Aku hanya bisa diam dan sedikit marah terhadap kelakuan lelaki itu. Ia telah berani menampar wajah manis kekasih impianku itu. Andai saja aku bisa, akan aku balas perlakuan lelaki itu. Tapi, aku kan tak lebih dari seorang pecundang. Ya...pecundang cinta, bukan untuk dunia. Aku kembali bingung, apa aku harus mendekati Fransiska dan menjadi seperti lelaki yang ada di sinetron-sinetron itu. Menghapus air mata dan coba menenangkannya. Inilah kesempatan bagiku untuk menunjukkan semuanya kepada Fransisika. Aku harus meyakinkan dia bahwa aku bukan lelaki yang sudah membuatnya menangis.

Aku yakinkan pada diriku bahwa inilah saatnya, untuk menunjukkan rasa sayangku. Aku harus menghampiri dan memberikan rasa tenang kepadanya. ”Sudahlah, Ika jangan menangis.” Aku usapkan air matanya dengan penuh rasa sayang. Baru inilah aku merasakan bagaimana mengusap wajah cantiknya Fransisika. Aku gemetar. Aku berharap semoga ini menjadi awal semuanya. Aku bisa menunjukkan rasa sayangku padanya, meskipun telah berulangkali aku ditolak dan disakitinya. Saat Fransiska memandangku, aku terhentak dan aku lihat sesuatu di sinar bola matanya. Sesuatu yang membuatku begitu jatuh hati kepadanya, sampai kapan pun. Aku rasa ia tidak keberatan dengan kehadiranku. Ia mungkin mulai menyadari arti pentingku baginya. Harapanku mungkin terlalu besar. Tapi, aku tak mau saat-saat seperti ini berlalu begitu saja, aku harus memeluknya. Memberikan rasa tenang. Wanita kan paling mau diperhatikan. Kucoba memeluknya, dan berusaha memberikan ketenangan padanya. Tapi...saat kucoba memeluk mesra tubuh Fransiska, aku sadar bahwa aku sedang memeluk seorang lelaki yang ada di sampingku. Lelaki yang tak lain adalah abangku. Ah...aku hanya bermimpi rupanya.

Aku terbangun dan meraih handuk untuk membasuh mukaku yang penuh luka. Saat aku pergi ke belakang rumahku, kulihat seseorang yang sedang mengumpulkan sampah. Dan aku rasa aku mengenalnya. Tak salah lagi, dialah Bapak yang aku temui tadi. Inginku hampiri, tapi aku tak berani, aku takut itu bagian dari kelamnya mimpiku. Kelam untuk menenggelamkanku dalam derasnya arus harta di dunia ini. Dalam kesusuhan yang sedang dialami bapak berbaju putih atau hitam itu, ataupun kekesusahan yang sedang dirasakanku saat ini. Kesusahan akan hidup yang penuh dengan tuntutan dan selalu diukur dengan mistar harta dan tahta.

”Hei...” Ku dengar seseorang memanggilku. Saat kulihat, aku diam dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Suara itu adalah suara merdu kekasih pujaan hatiku. ”Apa aku sedang bermimpi?” Tanyaku dalam hati.