Kamis, 18 Februari 2010

RABU ABU:
ANTARA PUASA DAN PENEGASAN IMAN


Hari Rabu Abu bukan hanya tentang berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Tapi, sebuah momen berharga bagi manusia untuk memperbaruhi iman. Tanda salib dari abu yang dikenakan imam di dahi umat menjadi ciri khas dari perayaan Rabu Abu. Lalu, dari mana asal abu itu? Apa maknanya bagi kita, umat Katolik?       
Aku bangun dari tidurku. Bersiap melangkah, memulai hari. Penuh harap akan sesuatu yang lebih baik lagi. Seperti biasa, aku berangkat bekerja. Motor yang kupakai motor pijaman, milik kakak sepupuku. Motorku masih rusak. Hari itu hari Rabu, Alkamak menunjuk angka 17 Februari 2010.
 Di kantor aku beraktivitas seperti biasanya. Kucoba selesaikan desain penelitianku yang terbengkalai. Kupusatkan konsentrasiku untuk mengetik apa yang dapat aku ketik. Tapi, ada saja yang menggangu. Suara-suara kecil dari hatiku, maupun dari sekitarku. “Udah terima abukah?” kata seseorang di kantorku bertanya entah kepada siapa. Kepada aku atau seseorang di dekatku. Meski tak secara langsung bertanya kepadaku, tapi timbul tanda tanya besar di benakkua. “Abu apa yang diterima?” begitu yang ada dalam benakku.
Tak perlu lama aku memikirkan tentang abu itu. Suara dari teman sekantorku terdengar. Ia mengatakan ia belum pergi ke gereja. Saat ia menyebut gereja, pikiranku langsung tertuju pada perayaan Rabu Abu. “Ini hari Rabu, tapi apa benar hari ini ada misa Rabu Abu?” aku kembali bertanya. Kucoba mengkonfirmasi pada temanku. Rupanya benar. Di gereja ada perayaan Rabu Abu. Aku merasa bodoh dan sangat berdosa. Ada misa hari Rabu Abu saja aku tidak tahu. Ini mungkin akibat malasnya aku pergi ke gereja.
Aku tak boleh melewatkan momen ini. Bagaimanapun caranya aku harus pergi ke gereja, mengikuti misa Rabu Abu. Saat itu juga aku putuskan dalam hatiku untuk pergi ke gereja. Jarum jam menunjuk angka 17.00. Aku bergegas meninggalkan kantor. Sambil bernyanyi, kupacu motorku dengan laju. Bernyanyi membuat perjalanan tak terasa. Entah lagu apapun, yang penting membuatku terhibur. Meski suara sumbang, aku tetap menikmatinya.  
Aku singgah sejenak di rumahku, mengantar tas kerja yang melekat di pundakku. Aku juga menyempatkan diri untuk mandi dan berganti baju. Aku ajak saudaraku untuk pergi ke gereja. Tapi, entah mengapa ia tidak mau. Malah ia bertanya ada misa apa di gereja. Pertanyaan yang tadinya ada di benakku. Jam menunjuk pukul 17.45. Aku berangkat ke gereja.
Berada di gereja memberikan ketenangan dalam hatiku. Apalagi dengan mengikuti misa Rabu Abu. Rabu Abu adalah momen penting bagi umat Kristiani, khususnya umat Katolik.  Rabu Abu merupakan awal masa berpantang dan berpuasa selama 40 hari. Sekaligus menandai permulaan masa pra-Paskah.
Mengapa harus Abu?
Abu yang digunakan dalam misa telah ada dalam perjanjian lama. Abu melambangkan sesuatu. Seperti yang ditulis oleh P. William P. Saunders. “Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat,” tulis P. William dalam Aritikelnya. P.Willian juga memberi contoh bagaimana abu telah digunakan sejak zaman perjanjian lama.  Misalnya, Daniel dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel (sekitar 550 SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3).
Mengenai penggunaan abu juga pernah disebutkan oleh Yesus. Saat itu yesus berkata kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa meski mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira. “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21).
Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.” Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Hingga saat ini, abu terus digunakan pada setiap perayaan Rabu Abu. Dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Itulah asal abu yang selalu kita gunakan dalam pereyaan Rabu Abu.
Makna Rabu Abu sebagai Awal Masa Pra-Paskah
Rabu Abu menjadi awal yang berharga bagi umat Katolik. Setiap umat wajib menegaskan kembali imannya. Iman yang telah dimantapkan lewat janji baptis pada malam Paskah. Tidak hanya sekedar berpuasa atau berpantang. Tapi, lewat perilaku dan sikap sehari-hari. Jika hanya berpuasa makan dan minum, semua orang mungkin bisa. Hal yang penting adalah bagaimana membuat perilaku dan sikap yang bersahaja dan penuh dengan cinta kasih kepada setiap orang. Momen pra-Paskah harus dimanfaatkan untuk memulai kembali sesuatu lebih baik lagi, sekaligus mempertegas iman.
Bertobat. Itu yang harus dilakukan setiap manusia. Bertobat dapat dilakukan setiap waktu. Tapi, momen pra-Paskah dapat dijadikan sebagai awal untuk memulainya. Masa pertobatan merupakan pemurnian iman untuk mengikuti Tuhan. Puasa selama 40 hari menjadi media untuk melakukan hal tersebut. Puasa dilakukan untuk mengingatkan kita kepada Yesus. Yesus juga pernah melakukan hal tersebut selama empat puluh hari dan empat puluh malam di gurun pasir.
      Mari kita renungkan pada diri kita sendiri. Apa makna dari hari Rabu Abu? Mengapa kita harus berpuasa? Dengan demikian, puasa dan pantang yang kita lakukan akan memberikan makna yang berarti bagi kita. Terlebih sebagai media untuk menegaskan kembali iman kita. Puasa juga dapat dijadikan momen yang tepat untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan kelaliman dan kemunifakan yang kita lakukan di dunia ini. Amin. Dengan tanda salib dari abu juga kita diharapkan semakin menyadari bahwa kita adalah manusia yang tak sempurna. Manusia yang penuh dengan kesalahan, sehingga kita harus selalu memperbaiki diri kita dari waktu ke waktu.

Tulisan ini hanya sebuah renungan.
Jika ada yang kurang, maafkan dan berikan masukan…..Terima kasih….
Maksimianus Hajaang Deornay
18 Februari 2010






Selasa, 16 Februari 2010

100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II
Unjuk rasa terjadi di berbagai penjuru tanah air. Sejumlah elemen massa turun ke jalan dengan membawa berbagai aspirasi. Ada yang menyampaikan aspirasinya dengan cara damai dan ada pula dengan cara yang tidak bersahabat. Seperti aksi bakar ban dan poster Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapresnya, Boediono. Unjuk rasa dilakukan untuk menyambut 100 hari pemerintahan SBY dan Boediono.
Pada tanggal 28 Januari 2010, pemerintahan SBY-Boediono genap berusia 100 hari. Pada tanggal itu juga, ribuan massa di berbagai darah Indonesia melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa yang bertepatan dengan hari itu merupakan bentuk “tagihan” rakyat terhadap janji-janji politik SBY-Boediono untuk melakukan perubahan dan perbaikan nasib mereka. Tidak hanya itu, hal yang paling disoroti adalah program 100 hari SBY-Boediono berserta Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Sebagian kalangan kritis menilai100 hari pemerintahan SBY-Boediono beserta Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II belum mampu memenuhi janji-janjinya, terutama harapan rakyat dengan program 100 hari yang dicanangkan. Menurut Siti Zuhro, pengamat dan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), program 100 hari gagal memberikan fondasi yang cukup kuat bagi pemerintahan untuk melangkah lima tahun ke depan. Secara umum, menurutnya, kinerja 36 departemen/kementerian nyaris tidak terdengar. Aktivitas yang dilakukan tak lebih dari business as usual atau tanpa terobosan yang luar biasa. “Padahal, rakyat mengharapkan suatu gebrakan. Ketika ada kebutuhan yang sudah mencapai klimaks diberi solusi linier, yang terjadi adalah stagnansi,” kata Zuhro seperti dilansir oleh Bogor.Net.
Berbagai kritikan terhadap kinerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II tidak dapat dilepaskan dari berbagai kasus dan persoalan hukum yang terjadi di Indonesia. Berbagai skandal dan persoalan hukum yang menyertai perjalanan 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu seakan-akan lebih bergema daripada apa yang telah dikerjakan pemerintah selama 100 hari. Sebut saja skandal kasus Polri vs KPK atau lebih dikenal luas oleh masyarakat dengan istilah buaya vs cicak. Mereda buaya vs cicak, menguak skandal kasus Century yang sampai saat ini masih diproses di Pansus Angket DPR. Perhatian masyarakatpun terpusat pada skandal-skandal tersebut.
Sementara itu, menanggapi kritikan-kritikan dari berbagai kalangan, pihak istana tetap bergeming jika kinerja pemerintah cukup berhasil dalam jangka waktu 100 hari. Presiden SBY menilai program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II beserta jajarannya, 90 % telah mencapai sasaran. Menurut SBY, pencapaian tersebut sesuai dengan hasil laporan monitor atas semua program prioritas dan rencana aksi yang telah dilakukan. SBY juga pernah mengungkapkan beberapa keberhasilan pemerintah dalam program 100 hari, seperti dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, perbaikan pelayanan publik, pembangunan 1.206 fasilitas air minum di desa-desa sulit air, dan revitalisasi pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Terlepas dari pro dan kontra akan kinerja 100 hari SBY-Boediono, rakyat harus memahami betul apa yang menjadi program 100 hari SBY-Boediono dan seluruh jajarannya, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian secara objektif. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari bahwa survei terbarunya menemukan tingkat pengetahuan publik terhadap program seratus hari SBY-Boediono sangat rendah, yakni hanya 49,4 persen. Nilainya kalah jauh dengan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen (78,9 persen), kasus bailout Bank Century (77 persen), dan kasus penahanan Bibit-Chandra (69,1 persen).
Untuk sekedar mengulang, adapun program 100 hari yang pernah dicanangkan pemerintahan SBY-Boediono yaitu (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) mengatasi permasalah listrik, (5) meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, (6) revitalisasi pabrik pupuk dan gula, (7) membenahi kompleksitas penggunaan tanah dan tata ruang, (8) meningkatkan infrastruktur, (9) meningkatkan pinjaman usaha mikro, usaha kecil dan menengah yang dikaitkan dengan kredit usaha rakyat, (10) mengenai pendanaan pembangunan, (11) usaha untuk menanggulangi perubahan iklim dan lingkungan, (12) reformasi kesehatan dengan mengubah paradigma masyarakat, (13) reformasi di bidang pendidikan, (14) kesiap-siagaan dalam penanggulangan bencana alam, dan (15) koordinasi yang erat antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan di segala bidang. Semoga saja rakyat lebih objetif dalam menilai apakah kelima belas program tersebut sudah dapat dirasakan manfaatnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan kontrol dan evaluasi bagi kinerja pemerintah SBY-Boediono beserta Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II hingga 2014.