Senin, 31 Mei 2010

Meeting: Rezeki Musiman


Ada sebab ada akibat. Itulah hukum kehidupan ini. Sesuatu itu tak muncul begitu saja. Selalu ada elemen yang tersimpan di belakangnya. Begitulah apa yang terjadi di Kecamatan Teluk Batang Kabupaten Kayong Utara. Ada fenomena menarik yang dapat dilihat. Anak-anak berlari mengejar setiap mobil yang melewati kampungannya. Mereka berharap mendapatkan uang dari pengendara mobil. Sebuah kesempatan di dalam kesulitan.
Perjalanan ke kota Ketapang kali ini penuh dengancerita. Saat itu kami bertugas untuk melakukan liputan. Ikut serta bersama saya ada teman jurnalis dari TV ONE, Ruai TV, dan beberapa wartawan senior saya dari Majalah Kalimantan Review. Kami berangkat dari Pontianak menggunakan mobil menuju Rasau Jaya. Dari Rasau Jaya kami bertolak ke Teluk Melano menggunakan spedboat. Sampai di Teluk Melano, perjalanan kami lanjutkan ke kota Ketapang menggunakan mobil.
Selama beberapa hari kami melakukan liputan di kota Ketapang. Tak ada waktu untuk berkeliling. Apalagi untuk mengunjungi tempat-tempat wisata. Waktu berlalu tanpa terasa karena aktivitas yang begitu padat.
Genap lima hari kami berada di tanah penghasil makanan Amplang itu. Hari itu kami pulang. Tak seperti saat berangkat, kami pulang mengikut jalan darat. Sebuah pengalaman yang sangat saya inginkan. Banyak pemandangan yang dapat dilihat. Sebuah panorama cantik yang menjadi bagian dari pulau Kalimantan.
Perjalan pulang lewat jalan darat terasa begitu lama. Meski banyak pemandangan indah yang dilihat, tapi saya merasakan suatu kesengsaraan. Jalan yang sangat tak bersahabat. Rusak dan penuh genangan lumpur.
”Brok, brup, brap,” terdengar keras. Salah satu bagian mobil terbentur lubang jalan. Tubuhku terpental ke kiri dan ke kanan. Keadaan itupun terus berulang. Apalagi saat melintas jalan di wilayah Kecamatan Teluk Batang. Semakin terasa sakitnya.
Di tengah perjalanan yang sangat menantang, ada suatu fenomena yang menarik. Mata saya kemudian terpusat ke situ. Sekelompok anak kecil berdiri di pinggir jalan. Mereka kemudian berlari mengejar setiap mobil yang melintas di hadapan mereka. Termasuk juga mobil yang saya tumpangi.
”Pak...Bang...Pak,” seruk anak kecil itu dengan nada membujuk. Suara itu, bagian dari permintaan mereka kepada pengendara mobil. Mereka meminta imbalan. Imbalan atas perbaikan jalan yang telah dibuat. Seperti pembutan gertak di atas lobang-lobang jalan.
Saat melihat  mereka, ingatanku pun kembali ke beberapa tahun yang lalu. Saat itu, di tanah kelahiranku, Kabupaten Kapuas Hulu, fenomena ini juga sempat terjadi. Beberapa orang yang disebut dengan istilah “Meeting”, menyetop semua kendaraan yang lewat di atas gertak yang mereka buat. Kemudian meminta imbalan. Untuk bus, imbalannya mencapai 10 ribu rupiah.
Waktu itu, di beberapa titik wilayah Kapuas Hulu, jalan rusak berat. Kendaraan-kendaraan yang ingin menuju Kota Putussibau, harus antri beberapa hari untuk melewati satu lubang lumpur yang begitu besar. Untung saja, saat ini, fenomena itu tak terjadi lagi. Mudah-mudahan tak akan pernah terjadi lagi di masa yang akan datang.
Kembali ke wilayah Teluk Batang. Anak-anak yang meminta imbalan, terkadang tak segan-segan mengetuk dengan keras kaca pintu mobil yang melintas. Saat itu, sopir mobil yang kami tumpangi, hanya memberi 1.000 rupian kepada anak-anak itu. “Cukup-cukup,” kata sopir kami setelah memberikan uang. Meski telah diberi, anak-anak yang lain terus memaksa untuk meminta.
“Kalau lewat jalan ini, harus banyak siap uang receh,” kata salah seorang teman perjalanan saya. Memang betul, anak-anak itu tak hanya ada di satu titik jalan. Tapi, masih banyak lagi. Pokoknya, di setiap jalan yang rusak dan telah diperbaiki dengan peralatan seadanya. Mau tak mau, pengendara mobil harus memberi imbalan kepada anak-anak itu. “Ya, harus diberi, daripada mobil kita dilempar dengan batu,” lanjut teman perjalanan saya tentang sikap anak-anak itu yang terkadang mengarah ke aksi anarkis.
Setelah hampir berjam-jam melewati jalan yang rusak. Akhirnya kami ampir di Pelabuhan Penyeberangan Teluk Batang. Mobil kami pun dinaikan ke kapal penyeberangan. Untuk sampai ke Rasau, kami harus menghabiskan waktu semalaman di kapal.
Saat di kapal, saya pun mengingat kembali fenomena yang terjadi dalam perjalanan. Anak-anak itu yang disebut dengan istilah “meeting”, mungkin merasa senang dengan apa yang mereka dapatkan. Sebuah imbalan yang cukup untuk jajan atau bahkan untuk mencukupi keperluan hidup sehari-sehari. Ini mungkin sebuah rezeki musiman. Rezeki yang tak datang setiap saat.
Anak-anak itu tak dapat disalahkan. Mereka tentu tak akan begitu, jika jalan tak rusak berat. Pemerintahlah yang harus sadar. Sebuah fenomena yang harus direfleksikan. Bagaimana menangani infrastruktur yang rusak berat. Sebuah kondisi jalan yang sangat meresahkan. Pemerintah daerah harus jeli dalam melihat setiap persoalan yang terjadi. Jangan hanya janji. Tapi, bukti.

Tidak ada komentar: