Senin, 30 Agustus 2010

“SBY, Mau Dibawa Kemana Indonesia?”
Konflik antara Indonesia dan Malaysia semakin memanas saja. Media massa di Indonesia—baik cetak maupun elektronik—terus menjadikan konflik itu sebagai berita terpopuler.
    Belakangan ini, pelbagai judul berita di beberapa media massa Indonesia tampak sangat provokatif. Ada yang mengungkapkan jika “Malaysia Menantang”. Ada juga yang melihat jika kedaulatan RI terinjak-injak oleh Malaysia. Bahkan ada yang mengungkapkan jika genderang perang sudah saatnya ditabuhkan.
    Gayungpun bersambut. Beberapa media massa di Malaysia tak tinggal diam. Ada yang menuliskan judul, “Tak Ada Kata Maaf Bagi Indonesia,” dan sebagainya. Itu bisa jadi bentuk respon terhadap berbagai aksi massa di Indonesia mendesak Malaysia meminta maaf kepada Indonesia.
    Tak heran jika perseteruan antara Indonesia dengan Malaysia semakin memanas saja dengan adanya pemberitaan seperti itu. Apalagi, berbagai pihak atau elemen masyarakat banyak yang angkat bicara menyoal perseteruan ini. Ada pihak yang bicara dengan lantang bahwa sudah saatnya Indonesia memberikan perlawanan. Baik dengan cara wajar, ataupun tidak wajar. Wajar, tentu dengan berdiplomasi. Tidak wajar, dengan cara angkat senjata. Ada juga yang menuntut Presiden RI untuk memutuskan hubungan bilateral dengan Malaysia.
    Berbagai aksi unjuk rasa di Indonesia pun semakin menambah panas perseteruan ini. Pemerintah Malaysia sampai berang, menyusul pelemparan kotoran manusia (tinja) ke kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia di Jakarta. Aksi massa itu disebut-disebut Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman sebagai aksi yang ditungganggi oleh salah satu partai poolitik di Indonesia. Pihak Malaysia pun menganggap jika aksi itu merupakan bentuk penghinaan terhadap negaranya. Tapi, Indonesia tetap tak bergeming. Pihak Indonesia tetap menuntut agar Malaysia minta maaf kepada Indonesia menyusul penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan di Peraitan Bintan, Kepulauan Riau.
    Menyusul hubungan Indonesia-Malaysia yang semakin memanas, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, telah mengirimkan nota protes kepada Malaysia. Rencananya, pada 9 September 2010 akan diadakan perundingan dengan pihak Malaysia. Tentang nota dan perundingan itu, tentu masyarakat Indonesia atau Malaysia berharap banyak. Agar, konflik ini dapat segera dengan damai. Tapi, pertanyaannya, apakah dengan cara-cara itu konflik akan terselesaikan??? Kenyataan, sudah berapa nota protes yang dikirimkan ke Malaysia, tapi tak ada respon.
    Berbagai opini liar berkeliaran. Pemerintah terkesan lamban dalam menyelesaikan konflik ini. Lambatnya Pemeritah RI dalam menangani masalah ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Berbagai masyarakat menyebut jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak responsif terhadap konflik Indonesia-Malaysia. Apalagi dengan gaya “kalem” SBY yang tak banyak bicara atau mengomentari masalah ini. Padahal SBY sering angkat bicara menyoal masalah yang sedang hangat di publik. Lihat saja komentar SBY menanggapi kematian sosok Mbah Surip, penyanyi yang populer dengan lagu “Tak Gendong”. Menjadi pertanyaan, apakah SBY tak menganggap serius masalah ini?
   Jika SBY terus diam dan tak cepat meredakan situasi panas konflik ini, maka akan terjadi hal yang lebih buruk lagi. Perang mungkin akan terjadi. Tapi, masyarakat berharap banyak jika presidennya dapat meredam konflik ini. Jika memang SBY menganggap tak ada jalan damai untuk menyelesaikan konflik ini, masyarakat menunggu jalan lain. Apakah SBY akan mengkuti jalan presiden pendahulu, Bung Karno, yang dengan lantang menyuarakan “Ganyang Malaysia”.
    Masyarakat Indonesia tak ingin resah dan dibingungkan dengan persoalan ini. Masih banyak persoalan yang terbentang luas di Indonesia dan membutuhkan solusi secepatnya. Lihat saja, aksi perampokan dengan berbagai modus operandi yang semakin meraja lela. Karena itu, biasa jadi masyarakat akan terus bertanya, “SBY, Mau Dibawa Kemana Indonesia?”

Bingung Ah, Mbak atau Bang???

    Suatu hari, aku bergegas pergi dari rumah. Aku ingin mewujudkan keinginanku. Keinginan yang telah lama aku tahan-tahan selama ini. Aku harus menggunting rambutku. Maklumlah, belakangan ini aku merasa jika rambutku terlalu panjang dan sedikit terlihat norak. Karena itu, terkadang aku merasa tak percaya diri saat berhadapan dengan orang lain.
     Dalam perjalanan, aku bingung memilih salon mana yang tepat untuk menggunting rambutku. Ada satu salon yang pernah kukunjungi beberapa waktu yang lalu. Ingin ke situ, tapi aku malas. Soalnya, pelayanan di salon itu tak memuaskan. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk pergi ke salon yang tak jauh letaknya dari tempat kerjaku. Aku pernah sekali ke salon itu. Waktu itu aku hanya mengantar temanku.
    Sampai di salon itu, aku disambut oleh seseorang. “Bang, potong rambut,” kataku. Orang itu kemudian balik bertanya, “Model apa?” Kujawab, “Model Mohak.” Mohak adalah model yang cukup familiar bagi rambutku. Ciri khas dari model ini adalah rambut di tengah dibuat berdiri. Samping kiri dan kanan dipotong tipis. Ya, seperti model rambut David Beckham saat masih berkostum Real Madrid.
     Tak ada yang salah, saat orang itu mulai menggunting rambutku. Aku hanya diam. Begitupun dengan orang itu. Ia terlihat begitu cermat memperhatikan model rambutku. Bagian demi bagian ia gunting. Setelah lama diam, orang itu kemudian bertanya. “Tinggal di mana?”
Aku kemudian menjawab, “Tinggal di sekitar ini Bang.”
Orang itu kembali bertanya, “Masih sekolah kah?”
“Masih Mbak,” kataku.
    Setelah perbincangan singkat itu berlangsung, aku kemudian berpikir sejenak. “Wah, aku manggil apa. Mbak atau Mas ya?” Pertanyaan itu terlintas dalam pikiranku. Aku pun merasa tidak nyaman. Masalahnya, bukan hanya sekali aku tak konsisten dalam mengucapkan itu. Hampir lima kali. Aku jadi salah tingkah. Jangan sampai orang itu marah, mendengar aku memanggil dia dengan dua sebutan yang tak karuan itu.
     Untung saja, sampai rambutku selesai dipotongnya, rasa takutku itu tak benar-benar terjadi. Orang itu enjoy aja dengan itu. Ia asyik berbincang. Malah memintaku untuk main-main ke salonnya. “Ya, kalau sempatlah,” jawabku atas permintaanny.
     Setelah bertolak dari salon itu, aku menuju kantorku. Di kantor aku berpikir. Wah, jadi serba salah kalau sudah ke salon. Mau manggil tukang gunting itu dengan panggilan Mas, takut salah. Habis, sikap dan tutur katanya menyerupai wanita. Mau manggil dia Mbak, tampaknya nyata jika fisiknya menyerupai lelaki sejati. Ah, aku jadi bingung. Dunia ini semakin aneh….He….He…wkkwkwkwkwwkwkwkkww
25 Agustus 2010

Kamis, 19 Agustus 2010


Karena 60 ribu, Dua Wanita Itu Harus Dipenjara
Maksud hati hendak memungut brondolan sawit, sebagai tambahan penghasilan keluarga. Tapi, tak disangka harus berurusan dengan pihak kepolisian. Proses hukum yang panjang pun sudah menanti dan harus dijalani.

Sungguh malang nasib dua wanita ini. Belum juga lepas dari berbagai belenggu persoalan hidup ini, mereka harus dihadapkan pada persoalan lain yang lebih serius lagi. Oleh pihak PTPN XIII, keduanya dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pencurian 60 kg sawit di wilayah Kebun Inti PTPN XIII Kembayan. Keduanya pun sempat ditahan selama tiga hari (14 Mei s.d. 17 Mei 2010) di Polsek Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, sebelum ditangguhkan penahanannya.
Kedua wanita itu adalah Norweti dan Yulita Linda. Dua warga Dusun Sanjan Beras, Desa Pandan Sembuat ini tak hanya harus merasakan pahitnya tidur di sel tahanan selama tiga hari. Tapi, karena persoalan ini, keduanya kini harus meninggalkan pekerjaan rutin yang menjadi sumber utama kehidupan keluarga mereka di kampung. Berbagai proses hukum yang memakan waktu yang lama harus mereka jalani ke depannya. ”Saya bingung, capek, dan harus bagaimana lagi. Banyak pekerjaan di kampung yang terbengkalai,” kata Norweti ketika jumpa pers di kantor Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Kalimantan Barat, Pontianak (8 Agustus 2010).
Norweti mengaku, karena kasus ini, ia juga harus mengorbankan anaknya, Icha. Anaknya terpaksa terlibat, karena dalam usia yang belia, tak mungkin anaknya dapat ditinggalkan. ”Kasihan anak saya,” katanya. Saat Norweti ditahan di Polsek Tayan Hulu, anaknya juga ikut bersamanya. Anaknya sampai-sampai sakit setelah beberapa hari dalam penjara. ”Anak saya sakit saat di kantor polisi. Malam-malam dia nangis terus,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Apa yang dialami oleh Norweti sama juga dengan yang dialami oleh Yulita Linda. Linda juga harus mengorbankan anak-anaknya. Anaknya yang kecil, Intan, harus ikut juga merasakan hidup di dalam penjara. Begitupun dengan suaminya yang terlibat juga dalam kasus ini. ”Anak saya dan anak ibu Norweti harus ikut juga tidur di kantor polisi,” kata Linda yang hadir juga dalam jumpa pers di kantor DPD-RI. Untung saja, saat itu mau polisi memberikan penangguhan hukuman. ”Itupun ditangguhkan karena anak kami sakit dan sering nangis-nangis,” ujarnya,
Suami Linda, Agung, terlibat dalam kasus ini karena ia tertangkap basah membawa dua karung brondolan sawit yang dipungut Linda dan Norweti. Oleh petugas keamanan PTPN XIII Kembayan, Agung kemudian diserahkan ke polisi. ”Saya diminta istri saya untuk mengambil sawit yang mereka pungut. Karena istri saya baru saja sakit dan tidak mampu membawanya. Dalam perjalanan, saya kemudian dihentikan oleh petugas PTPN XIII. Lalu kemudian dilaporkan kepada polisi. Setelah itu, saya ditahan. Istri saya dan Bu Norweti juga dipanggil ke kantor polisi,” cerita Agung.
Setelah beberapa bulan berlalu, kasus yang dialami Norweti dan Linda belum juga mendapatkan titik terang. Berbagai upaya sudah keduanya lakukan. Permintaan agar kasus ini diselesaikan secara damai juga sudah disampaikan kepada pihak PTPN XIII. Tapi, tidak ada tanggapan. ”Kami ingin kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Kami pun siap jika dimintai ganti rugi atas sawit yang kami ambil,” kata Norweti. Brondolan sawit yang berhasil dikumpulkan oleh Norweti dan Linda sejumlah 60 kg. Jika diuangkan, seharga 60 ribu.
Senada dengan Norweti, Linda juga mengharapkan kasus ini dapat cepat selesai. Ia tak ingin kasus ini berlarut-larut lagi. ”Banyak pekerjaan di kampung yang harus diselesaikan. Kalau tidak kerja, kami mau makan apa,” kata Linda. Mengenai tuduhan pencurian terhadapnya dan Norweti, Linda tetap berkeyakinan bahwa mereka tidak mencuri. Mereka hanya memungut brondolan sawit yang jatuh ke tanah dan tidak digunakan lagi oleh perusahaan. ”Saya memungut agar uang untuk bayar SPP cukup. Jika kami dianggap mencuri, kami minta maaf dan berharap agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan,” ujar Linda.
Ketidakjelasan nasib yang dialami oleh Norweti dan Linda membuat beberapa kalangan bersimpati. Seperti, dari Anggota DPD-RI daerah pemilihan Kalbar, Erma Suryani Ranik. Erma Suryani Ranik menyampaikan kekecewaannya terhadap pihak PTPN XIII yang tetap ingin melanjutkan proses hukum kasus Norweti dan Linda. Menurutnya, kasus ini seharusnya masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa proses hukum yang berlarut-larut.  ”Kami sangat menyayangkan sikap PTPN XIII yang memproses hukum kasus pencurian ini. Karena, selain nilainya kecil, brondolan sawit yang diambil masyarakat juga sudah tidak dimanfaatkan oleh perusahaan," katanya. Dengan proses hukum yang berlarut-larut, katanya, akan sangat membebankan Norweti dan Linda. ”Kasihan mereka. Sudah hidup susah, harus menghadapi masalah seperti ini.”
Erma Suyani Ranik juga mempertanyakan bagaimana peranan pihak PTPN XIII terhadap masayarakat yang hidup di sekitar perkebunan. ”Bagaimana peranan mereka. Adakah bantuan untuk masyarakat,” ungkapnya. Untuk itu, ia pun sudah mengirimkan surat protes kepada Kementrian BUMN, karena perlakuan PTPN XIII yang tidak memperhatikan kehidupan masyarakat miskin.
Sebagai bentuk dukungan terhadap Norweti dan Linda, kata Erma Suryani Ranik, pihaknya telah menyediakan tujuh orang pengacara untuk mengawal kasus ini. ”Kami sudah siapkan tujuh pengacara, jika kasus ini sampai ke persidangan,” katanya. Ia sangat berharap, kasus ini dapat cepat diselesaikan dan ditempuh melalui jalur kekeluargaan. ”Kasihan rakyat miskin jika terus diperlakukan seperti ini,” ujarnya.
Maksi Hajaang


Toras Beroperasi Lagi, Masyarakat Kayaan Mendalam Resah
Masyarakat Kayaan Mendalam resah, dengan kembali beroperasinya PT Toras Banua Sukses (PT TBS) di wilayah Mendalam. Padahal, sudah berulang kali masyarakat menolak dan menuntut pemerintah untuk mencabut ijin operasi PT TBS. Dari bupati, hingga menteri sudah didatangi untuk meminta kepastian. Tapi, tak ada titik terang yang didapatkan.
Kisah perjuangan Masyarakat Kayaan Mendalam menjaga kelestarian alamnya, sudah lama dimulai. Masyarakat punya tekad yang kuat, agar tidak satupun perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan masuk ke wilayah mereka. Mulai dari penolakan PT Lembah Jati Mutiara dan PT Puncak Sawmill, sekitar tahun 1990 s.d. 2000. Perjuangan itu tak sia-sia, dan berhasil mengusir kedua PT tersebut.
Berakhir cerita kedua PT itu, sekitar tahun 2005 datang lagi PT TBS. Pada tahun itu, PT TBS sudah melakukan survei di lapangan dengan mengantongi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam seluas 22 ribu hektar di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam dan Sibau. Ijin itu berdasarkan keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 522.11/105/PH/2002, tanggal 19 Februari 2002.
Dengan sebuah komitmen untuk menjaga tanah leluhur mereka, Masyarakat Kayaan Mendalam dengan tegas melakukan penolakan. Berbagai cara ditempuh untuk menghadang PT TBS. “Kami akan terus berupaya menolak PT Toras,” kata Benyamin Satar, Temenggung Kayaan Mendalam. Penolakan masyarakat sudah berulang kali disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, bahkan ke Menteri Kehutanan yang saat itu masih dijabat oleh M.S. Kaban.
Anehnya, meski sudah mengetahui masyarakat menolak PT TBS, M.S Kaban malah mengeluarkan SK Menhut No 107/Menhut-II/2006. SK itu tentang pembaharuan areal IUPHHK pada hutan alam TBS yang semula seluas 22 ribu hektar bertambah menjadi 24.920 ha. Masyarakat kecewa dengan keputusan yang dikeluarkan M.S.Kaban. Meski upaya-upaya yang sudah dilakukan tak menghasilkan kepastian yang jelas, tapi masyarakat sudah berhasil membuat PT TBS tidak dapat beroperasi dari tahun 2005 hingga 2009.
Beberapa tahun tak kedengaran, cerita PT TBS mencuat kembali pada tahun 2010. Masyarakat Kayaan Mendalam panik, setelah mengetahui PT TBS beroperasi lagi. Meski tak langsung datang ke Mendalam, tapi masyarakat resah akan taktik baru yang dimainkan oleh PT TBS. “PT Toras sudah beroperasi lagi. Camp mereka di Lunsa,” kata Satar. Dengan strategi yang berbeda, tapi sasaran operasi yang sama, PT TBS memulai operasinya dengan mendirikan base camp di Desa Lunsa yang berada di DAS Kapuas. Desa Lunsa dijadikan sebagai “pintu masuk” ke DAS Mendalam dan Sibau. “Sekarang mereka (PT TBS) sudah membuka jalan perusahaan sampai ke Mendalam,” kata Satar.
Mengetahui bahwa PT TBS sudah membuka jalan sampai ke batas wilayah mereka, Masyarakat Kayaan Mendalam kemudian membuat pagar di batas wilayah Mendalam dengan Lunsa. Ritual adat dilakukan saat pemagaran itu. “Kami sudah buat batas, agar PT Toras tidak masuk ke wilayah Mendalam,” kata Satar. Tapi, menurut Satar, pagar yang dibuat itu malah dibongkar oleh sebagian pihak yang setuju dengan keberadaan PT TBS. “Pagar itu dibongkar,” lanjut Satar.
Setelah kejadian itu, keadaan di masyarakat semakin meresahkan. Berbagai isu mencuat ke permukaan. Konflik batas wilayah dan konflik antara masyarakat yang pro dan kontra PT TBS semakin sering terdengar. Yang lebih merisaukan adalah konflik batas wilayah.
Masyarakat Kayaan Mendalam berpendapat jika PT TBS berusaha beroperasi lagi dengan memainkan konflik batas. Tepatnya, antara batas wilayah Masyarakat Kayaan Mendalam dengan Masyarakat Taman Lunsa. Kondisi ini pun rentan menimbulkan pertikaian antar kedua masyarakat tersebut. “Kita ini seolah ingin disabung dengan orang Lunsa,” kata Satar. Untuk mengantisapi hal tersebut, perwakilan masyarakat kedua wilayah tersebut sudah beberapa kali melakukan musyawarah.
Sebagai bentuk perlawan terhadap PT TBS, warga berusaha menyampaikan keresahannya itu kepada pejabat-pejabat daerah. Masyarakat pun sempat beraudiensi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kapuas Hulu, tapi tak mendapatkan jawaban yang pasti akan tuntutan mereka. “Ke DPRD sudah, tapi ada kepastian,” kata Huvaat, warga Kayaan Mendalam. Begitupun saat mereka melakukan aksi ke kantor bupati Kapuas Hulu (22 Juli 2010). Bupati Kapuas Hulu yang saat itu masih dijabat H. Tambul Husein tak dapat ditemui, karena sedang berada di luar daerah. “Kita ingin Bupati membuat surat rekomendasi pencabutan ijin PT Toras kepada menteri,” kata Huvaat.
Perlawanan Masyarakat Kayaan Mendalam terhadap PT TBS, mendapatkan dukungan dari masyarakat-masyarakat dari daerah lainnya. Itu terlihat saat aksi damai di kantor bupati. Berbagai perwakilan warga dari wilayah Lintas Utara dan Selatan Kapuas Hulu turut hadir. Seperti dari Desa Lunsa, Sungai Utik, Sibau, dan desa-desa lain yang mendiami wilayah DAS Mendalam. “Kami ingin bergabung dengan orang Mendalam. Karena tanah dan air ini kan tidak ada batas. Air mereka di sana, air saya juga. Air saya di sini, air mereka juga. Jangan sampai tanah dan air dicuri orang, sehingga kita tidak mendapatkan apa. Kita harapkan pemerintah mencabut ijin PT Toras,” kata Pak Janggut, warga Sungai Utik. Ia pun menegaskan, jika pemerintah tak berpihak kepada masyarakat, jangan salahkan masyarakat jika mengambil cara sendiri untuk mengusir PT TBS. “Jangan sampai hukum rimba kami gunakan lagi,” tegasnya.


Dulu Abang, Kini Adik
Ada yang menarik dari Bupati Kapuas Hulu dalam dua periode ini. Setelah abang, kini adik yang akan menempati jabatan itu.
      Berakhir sudah masa kepemimpinan H. Abang Tambul Husein. Setelah dua periode menjabat sebagai Bupati Kapuas Hulu (KH), kini jabatannya beralih ke tangan saudara kandungnya, AM. Natsir. Bersama dengan wakilnya, Agus Mulyana, AM. Natsir akan memimpin KH lima tahun ke depan.   
Tanggal 4 Agustus 2010 lalu menjadi hari yang istimewa bagi masyarakat KH. Pada tanggal itu, Bupati dan Wakil Bupati KH periode 2010-2015 resmi dilantik. Dengan dipandu secara langsung oleh Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, AM. Natsir dan Agus Mulyana mengucapkan sumpah dan janji di hadapan Anggota DPRD KH dan tokoh masyarakat. Tak ingin melewatkan kesempatan berharga itu, ratusan masyarakat KH pun turut hadir dalam upacara pelantikan yang digelar di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KH.
Dalam upacara pelantikan itu, Cornelis berharap dan mengingatkan kepada Bupati dan Wabup KH yang baru untuk dapat mengemban tugasnya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. “Saya tekankan agar dalam menjalankan tugas lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat. Tinggalkan kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Utamakan kepentingan Bangsa dan Negara,” ungkap Cornelis seperti dilansir oleh Koran Harian Borneo Tribun.
Dengan resmi dilantiknya Bupati dan Wabup KH tersebut, telah tergores sebuah sejarah baru. Secara bergantian, dua saudara kandung menjadi orang namor satu di Bumi Uncak Kapuas. Jabatan bupati yang sudah dipangku H. Tambul Husein dari tahun 2000-2010, resmi tergantikan dan akan dilanjutkan oleh saudara kandungnnya, AM. Natsir. Natsir pun menjadi bupati yang ke-15 dalam sejarah Kabupaten KH.       
AM. Natsir berhak menggantikan kedudukan H. Tambul Husein, setelah bersama Agus Mulayana berhasil memenangani Pemilukada KH yang digelar 19 Mei 2010 lalu. Dengan dukungan dari Partai Golkar, PPP, Partai Hanura, dan Partai Patriot, keduanya mampu mengungguli lima pasangan Bupati dan Wabup lainnya. Dari total 130.545 suara pemilih, 48.414 suara berhasil diraup oleh AM. Natsir dan Agus Mulyana. Jumlah suara itu lebih banyak dari pasangan calon lainnya. H. Baiduri dan Antonius L Ain Pamero (39.254 suara), Drs Y Alexander dan Abang Chairul Saleh (26.496 suara), Drs Kamsidi dan Zainudin (6.000 suara), Syaitul Bahri ST dan Thomas Suka (5.985 suara), serta pasangan Alias Imenuah dan Sugiri (4.400 suara).

Masyarakat Berharap
Lima tahun mendatang nasib masyarakat KH akan sangat tergantung pada AM. Natsir dan Agus Mulayana. Masyarakat begitu berharap agar kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemimpinnya dapat berorientasi pada kemaslahatan masyarakat banyak.
“Saya berharap, Kapuas Hulu ke depannya lebih maju dan ada perubahan. Kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas,” kata Wahyu Yatim, Warga Kapuas Hulu yang saat ini berdomisili di Pontianak. Meski jarang pulang, tapi ia terus mengikuti perkembangan tanah kelahirannya itu. Ia pun menaruh harapan besar pada bupati dan wabup yang baru dilantik. “Pemimpin yang baru ini harus prorakyat. Jangan sampai hanya mementingkan kepentingan pribadi. Lebih-lebih untuk memperkaya diri sendiri,” katanya kepada KR.
Keinginan masyarakat KH akan perubahan di segala bidang kehidupan memang selalu dirindukan. Satu di antaranya, adanya transparansi dalam pengelolaan pemerintahan. Selama ini masyarakat menganggap kurang dilibatkan dan dimaksimalkan perannya dalam pembangunan daerah, sehingga timbullah sikap acuh dan tidak acuh. “Kinerja yang lebih transparan saja. Biar masyarakat paham dan tahu apa yang dilakukan pemerintah daerahnya,” kata Zikri, mahasiswa asal KH yang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pontianak.
Tak hanya itu, Zikri juga berharap pemimpin baru KH dapat melihat berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan KH. Seperti pengembangan kawasan wisata, seperti Taman Nasional Danau Sentarum. “Kapuas Hulu kan punya cukup banyak objek wisata. Kalau bisa, dimaksimalkan dan lebih gencar lagi promosinya. Jika warga luar tertarik, ini kan bisa menambah pemasukan daerah dan sekaligus membuka lapangan perkerjaan bagi masyarakat,” katanya.  
Harapan lain juga datang dari Elias, warga Kota Putussibau. Menurutnya, Bupati dan Wabup baru KH harus dapat konsen memperhatikan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Seperti di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat. “Saya berharap kepada bupati dan wabup baru sebagai pemegang tampuk pemerintahan dan kebijakan di KH, dapat memaksimalkan program-program pokok masyarakat yang sangat vital, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pemerintahan harus dapat meyedikan akses pendidikan dan kesehatan yang mudah didapat dan dijangkau masyarakat,” harapnya. Dan hal yang lebih penting, kata Eli, bagaimana Bupati dan Wabup baru dapat mengambil kebijakan yang adil, tanpa mementingkan satu atau dua golongan masyarakat saja. “Kedamaian dan ketentraman masyarakat Kapuas Hulu harus terus dijaga dan dibina,” tambahnya.
Maksi Hajaang




 


Jumat, 13 Agustus 2010

Eko: CU Angkat Harkat dan Martabat Petani
Seorang lelaki duduk santai. Sebatang rokok menemaninya. Dari wajahnya terpancar rasa lelah. Tapi, ia tetap serius. Dia adalah Eko. Satu di antara peserta Rapat Anggota Tahunan Pleno CU Pancur Kasih yang dilaksanakan di Auditorium Untan, tanggal 23 Februari 2010 lalu. Meski lelah, tapi ia tetap bersedia berbagi cerita kepada KR.
     Eko merupakan anggota CU Pancur Kasih TP Sidas. Ia terdaftar sebagai anggota sejak tahun 2009. Menurut ayah tiga anak ini, ia dapat ber-CU karena istrinya, Suastri. “Saya kenal CU karena istri. Istri saya sudah lama menjadi anggota CU,” ungkap pria berumur 36 tahun ini.
     CU banyak membantu kaum kecil. Itulah yang dikatakan Eko. Sebagai kepala keluarga yang sehari-harinya bekerja sebagai petani, Eko merasa sangat terbantu setelah bergabung sebagai anggota CU. “CU banyak membantu kaum kecil seperti saya. Setidaknya ekonomi keluarga saya meningkat setelah ber-CU,” kata pria asal Jawa ini. Eko juga menambakan bahwa CU telah memberikan pendidikan dan pengetahuan kepadanya. Khususnya, bagaimana cara mengelola keuangan keluarga yang baik.
      Ayah dari Sukamto, Rena, dan Felix ini juga mengungkapkan sisi lain manfaat ber-CU. Baginya, CU telah mampu mengangkat harkat dan martabat para petani, seperti keluarganya. Dengan ber-CU ia semakin bersemangat untuk terus bekerja, menggapai hidup yang lebih layak lagi. “CU telah mengangkat harkat dan martabat para petani, seperti yang dirasakan oleh keluarga saya,” ungkap pria yang sejak tahun 1985 ini merantau ke Kalimantan Barat.  Ia juga menambahkan bahwa di dalam CU tidak ada yang dibedakan. Semua anggota mendapatkan pelayanan yang sama. Baik kaya maupun miskin.
     Saat ini, tidak hanya Eko dan Istrinya yang terdaftar sebagai anggota CU. Anak sulungnya, Sukamto juga telah ber-CU. Di kemudian hari ia berencana untuk mendaftarkan anak kedua dan ketiganya masuk CU. Oleh karena itu, ia berharap CU dapat terus melayani kaum kecil seperti keluarganya. “Semoga CU lebih baik dan maju. Pelayanan kepada anggota terus ditingkatkan,” harap pria yang sehari-harinya berdomisili di Desa Sungai Lubang ini.
Maksi Hajaang
RAT Pleno CU Pancur Kasih Tahun Buku 2009

Hari itu, Rabu tanggal 23 Februari 2010. Gedung Auditorium (Audit) Untan dipenuhi oleh ribuan orang. Sejak pukul 7.00, puluhan kendaraan telah memenuhi halaman parkiran Audit. Baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Kerumunan orang tampak berjalan memasuki ruang Audit. Di depan pintu masuk, mereka telah disambut beberapa orang dengan mengenakan pakaian batik yang seragam untuk didata. Setelah didata, mereka dipersilakan masuk ke ruangan. Mereka adalah sebagian dari anggota Credit Union Pancur Kasih dari berbagai tempat pelayanan (TP). Mereka hadir untuk mengikuti Rapat Anggota Tahunan (RAT) Pleno Credit Union Pancur Kasih (CU PK) Tahun Buku 2009 yang dilaksanakan pada hari itu.

CU Pancur Kasih Terus Menyebarkan Kasih
Pukul 8.00 acara RAT CU Pancur Kasih dimulai. Kehadiran ribuan anggota CU Pancur Kasih menggemakan suasana pagi itu di Audit Untan. Banyak harapan datang dari berbagai pihak agar CU Pancur Kasih dapat terus berkarya dan menyebarkan kasihnya. Sesuai dengan tema RAT tahun buku 2009, yaitu “Memperkuat Praktik Nilai dan Prinsip CU untuk Meningkatkan Pelayanan Prima Kepada Anggota”.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Pengurus Credit Union Pancur Kasih periode 2007-2009, Norberta Yati L menyampaikan bahwa CU Pancur Kasih harus tetap menjadi sarana pemberdayaan masyarakat. “CU Pancur Kasih sudah berusia 23 tahun hadir di tengah masyarakat, memberikan pelayanan dalam bidang keuangan dan membantu masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak semata-mata mengenai pengelolaan uang, tapi lebih-lebih pada pemberdayaan masyarakat,” ungkapnya. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa untuk menilai kemajuan CU, bukan hanya dinilai dari jumlah aset atau jumlah anggota CU tersebut. Tapi, bagaimana perubahan kualitas hidup anggotanya. “CU tidak semata-semata diukur melalui kebesaran atau jumlah asetnya atau jumlah anggotanya. Tetapi lebih-lebih pada seberapa banyak perubahan hidup masyarakat anggotanya yang disumbangkan atau dilayani oleh CU,” tegasnya.
Mewakili Dewan Pimpinan Credit Union Pancur Kasih periode 2007-2009, Dra. Norberta Yati menyampaikan permohonan maafnya kepada seluruh anggota CU Pancur Kasih. Menurutnya, apa yang telah dikerjakan pengurus sebagai mandat yang diberikan anggota pada RAT tahun buku 2007 belumlah sempurna. Tapi, apapun hasilnya tetap ada keberhasilan dan kekurangan. Ia juga menjelaskan beberapa program khusus yang telah dilakukan selama masa kepengurusannya periode 2007-2009. Seperti pembenahan lembaga dengan mengkonsilidasi sistem internal CU Pancur Kasih dan merubah struktur manajemen serta pembenahan layanan kepada anggota melalui teknologi informasi dengan penyediaan software, bekerja sama dengan Kopdit Jakarta. Dalam hal ini CU PK menjadi pelopor, sehingga CU-CU lain dapat juga mengambil manfaat dari software yang telah disediakan.
“Tahun ini ada kabar gembira bahwa program yang kita pakai lebih bagus, lebih sempurna dari software yang pertama dan kita akan bisa melakukan pelayanan secara online di semua TP, walaupun ini dilakukan secara bertahap,” ungkap Norberta Yati. Ia berharap pelayanan secara online akan memberikan kemudahan bagi anggota dalam melakukan transaksi. “Hal ini sesuai dengan tema yang kita angkat pada RAT tahun buku 2009 ini, yaitu Meningkatkan Pelayanan Prima kepada Anggota. Salah satu bentuk atau wujud dari pelayanan prima, kita menyediakan pelayanan yang cepat, akurat, dan aman. Mudah-mudahan,” harapnya.
Dukungan terhadap perkembangan CU Pancur Kasih juga datang dari Bupati Kabupaten Landak, Dr. Adrianus Asia Sidot. Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan secara langsung oleh Wakil Bupati Kabupaten Landak, Agustinus Sukian, S.H., ia mengajak semua anggota CU Pancur Kasih untuk bersyukur karena kebaikan Tuhanlah sehingga CU Pancur Kasih masih tegak berdiri dan tetap konsisten mengemban misinya sebagai lembaga ekonomi kerakyatan yang berpihak kepada masyarakat di segala lapisan dan tingkat ekonomi. Selain itu, ia juga menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas prestasi yang telah dicapai oleh CU Pancur Kasih dalam mengelola perekonomian yang berbasis kerakyatan. Menurutnya, prestasi tersebut tentu bukan datang tiba-tiba dari langit, melainkan hasil dari kerja keras dan ketekunan para pengurus yang tak kenal lelah menyadarkan masyarakat atas pentingnya pengelolaan keuangan keluarga yang baik, guna mempersiapkan masa depan keluarga.
Dr. Adrianus Asia Sidot juga menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan antara CU Pancur Kasih dengan pemerintah daerah, khususnya pemerintah Kabupaten Landak. “Setelah saya menawarkan kerja sama dalam pembelian handtracktor dalam upaya peningkatan produktivitas petani di Kabupaten Landak, kali ini saya menawarkan kerja sama dalam pembelian gabah petani dan beras dari penggilingan miliki Kabupaten Landak,” ungkap Bupati Kabupaten Landak ini dalam sambutan tertulisnya. Ia juga mengatakan melalui kerja sama ini diharapkan dapat menguntungkan petani dan pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama ini. Di akhir sambutannya, ia berharap agar melalui RAT tahun ini CU Pancur Kasih dapat bertumbuh dan berkembang sebagai lembaga keuangan mikro yang semakin sehat dan kuat.
Selain dari Bupati Kabupaten Landak, harapan besar terhadap perkembangan CU Pancur Kasih juga datang dari Kepala Dinas Perindakop dan UKM Provinsi Kalimantan Barat, Frans Juardi. Ia mengharapkan CU Pancur Kasih dapat terus menyebarkan kasihnya di segala lapisan masyarakat. “CU Pancur Kasih sudah 23 tahun. Usia 23 tahun merupakan usia orang dewasa. Sudah boleh berkeluargalah. Saya harapkan nanti CU Pancur Kasih menelurkan kasihnya lebih banyak lagi,” harapnya. Selain itu ia juga menambahkan bahwa pengurus CU akan mendapatkan pelatihan dan sertifikasi. “Kementerian Negara dan Koperasi bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura mengadakan pelatihan-pelatihan yang bertingkat sertifikatif. Kita harapkan pengurus mendapatkan sertifikasi oleh lembaga-lembaga yang memang betul-betul mempunyai kemampuan, sehingga CU nanti bisa bersaing. Bukan hanya di tingkat kabupaten atau provinsi, tapi juga di tingkat nasional,” ungkap Frans Juardi dalam sambutannya.

Profesional dan Berpihak Kepada Kepentingan Anggota
Rapat Anggota Tahunan CU Pancur Kasih tahun buku 2009 tampak sangat istimewa. Hal ini tidak lain karena kehadiran Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, M.H. Dalam sambutannya, Cornelis memberikan semangat dan dukungan bagi perkembangan CU di masa yang akan datang. Khususnya CU Pancur Kasih. Untuk ke depan ia berharap manajemen CU lebih profesional.
Sambutan Cornelis dalam RAT kali ini memberikan pencerahan bagi anggota CU Pancur Kasih yang memenuhi gedung Audit Untan. Banyak hal-hal baru yang dapat dijadikan anggota CU Pancur Kasih sebagai pelajaran bermakna. Tidak hanya itu, Cornelis sangat mendukung dan mengharapkan CU dapat terus berkembang serta terus memberikan pendidikan kepada masyarakat. Khususnya, tentang pengelolaan keuangan keluarga yang baik.
Dalam sambutannya, Cornelis mengatakan CU Pancur Kasih merupakan CU yang pertama kali dikenalnya. Keterlibatannya dengan CU Pancur Kasih sudah dilakukan sejak lama. Ia pernah ikut mensosialisasikan CU Pancur Kasih di beberapa daerah. “CU pertama yang saya kenal adalah CU Pancur kasih dan saya terlibat sudah lama. Saya sosialisasi di Menjalin, Manyuke, dan Meranti. Di Landak itu hampir semua saya ikut serta. Untuk apa, koperasi ini tujuannya adalah menyejahterakan anggota. Di sini bukan kumpulan-kumpulan modal, bukan kumpulan-kumpulan duit. Tapi, di sini kumpulan anggota. Anggota yang mau sejahtera,” ungkap Cornelis.
Pada kesempatan itu, Cornelis juga mengungkapkan alasan mengapa ia mau terlibat dan menjadi anggota CU. ”Kalimantan itu adalah daerah yang sangat kaya raya. Luar biasa. Tetapi, mengapa kita miskin, kenapa kita bodoh, dan kenapa kita dicap orang primitif. Karena, ada persoalan. Persoalan pertama kita tidak bisa mengelola uang. Oleh karena itu, saya mau ke CU ini dan saya jadi anggota sudah lama. Karena di situ ada pendidikan bagaimana mengelola uang. Para anggota dididik dan dilatih bagaimana manajemen keuangan yang betul, terutama manajemen keuangan di rumah tangga,” ungkapnya. Bagi Cornelis, adanya pendidikan dan pelatihan bagi anggota tentang pengelolaan uang yang baik merupakan nilai lebih yang dimiliki CU.
Cornelis juga berharap pengurus baru CU Pancur Kasih yang terpilih dalam RAT merupakan orang-orang yang profesional. Orang-orang yang mementingkan kepentingan anggota. Bukan kepentingan pribadi. Menurutnya, kesejahteraan anggota harus menjadi prioritas yang utama. ”Oleh karena itu, nanti dalam pemilihan. Tolong dicari orang yang profesional. Orang yang tidak KKN. Dan ini tidak boleh disentuh dengan kepentingan-kepentingan lain, khusus untuk kepentingan CU saja. Jangan ada kepentingan politik praktis,” tegas Cornelis.

Pengurus dan Pengawas Terpilih Periode 2010-2012
Tidak terasa, pengurus dan pengawas CU Pancur Kasih yang terpilih dalam RAT tahun buku 2007 telah menyelesaikan masa kerjanya, periode 2007-2009. Oleh karena itu, RAT tahun buku 2009 ini dilaksanakan sekaligus untuk memilih pengurus dan pengawas baru CU Pancur Kasih. Pengurus dan pengawas baru tersebut dipilih melalui proses yang demokratis.
Setelah melalui pemilihan dan perhitungan yang demokratis. Akhirnya, ditetapkan pengurus dan pengawas baru CU Pancur Kasih. Berikut ini susunan pengurus dan badan pengawas CU Pancur Kasih periode 2010-2012.

Susunan Pengurus Susunan Badan Pengawas
Ketua Umum : Dra. Noberta Yati Lantok
Ketua I : Pdt.Sucipto, S.Th.
Ketua II : Fransiskus Kamis, S.H.
Bendahara : Yunita Semestiana, S.P.
Sekretaris : Gabriel Marto, S.Pd.
Anggota : Marcelus L, S.Pd.
Anggota : Yoseph Banche, S.Pd. Ketua : Marius Acai, S.Pd.
Sekretaris : Benyamin Kaja, S.P.
Anggota : Hamdani Dani, A.Ma.Pd.
Anggota : Sabinus Nus
Anggota : Kerubinus Cilin Sievandu


MAKSIMIANUS HAJAANG

Rabu, 04 Agustus 2010

Secarik Ironi di Tengah Kepungan Sawit



“Kami ini seperti dibunuh secara perlahan-lahan. Lahan habis. Sungai kering. Untuk ladang dan ngaret saja tak ada lagi. Kami yang punya lahan, malah kami yang harus hidup seperti ini,” kata Acan, Kepala Adat Sungai Rosat kepada KR. Hidup dalam kepungan sawit, membuat masyarakat harus berhadapan dengan berbagai persoalan hidup. Jeritan-jeritan mereka akan sebuah pertolongan seakan tak terdengar, terhalang oleh luasnya perkebunan sawit. Kini, mereka yang harus menangung kesengsaraan itu.
Sekilas, tak ada bedanya kampung Sungai Rosat dengan kampung-kampung lainnya. Suasana kehidupan masyarakat pedesaan begitu terasa. Mulai dari keakraban, keramahan, hingga kekuatan nuansa alam yang begitu memikat. Tapi, di balik semua itu. Ada sebuah sisi yang seakan selalu tersembunyi dan tak berbunyi. Sebuah bongkahan besar, pemicu berbagai persoalan kehidupan. Perkebunan sawit yang dielu-elukan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, tak pernah ada nyatanya. Malahan, jadi penghimpit kehidupan. Itulah yang terjadi di Sungai Rosat. Sawit tak hanya telah mengepung kampung, tapi telah merenggut sebagian dari kehidupan mereka.
Sungai Rosat adalah dusun yang berada dalam wilayah Desa Semerangkai, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Letaknya dari pusat kota cukup jauh. Meski jauh, kampung itu tak terisolasi. Jalur transportasinya telah tersedia. Untuk datang ke tempat itu dapat menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Tapi, belum ada transportasi umum roda empat yang datang ke wilayah itu.
Perjalanan ke Sungai Rosat terasa melelahkan. Selain jauh, kondisi jalan mensyaratkan pengguna jalan memiliki ketahanan fisik yang lebih. Apalagi saat memasuki jalan perkebunan sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII (Persero). Bergelombang dan sebagian besar hanya mengandalkan bahan dasar tanah, menjadi gambaran utuh kondisi jalan di wilayah itu. Sebuah kondisi yang memperlihatkan kurangnya perhatian dan perawatan jalan. Padahal, jalan itu tak hanya untuk kepentingan perusahaan. Tapi juga menjadi nadi kehidupan masyarakat yang tinggal di Sungai Rosat dan sekitarnya.
Sepanjang perjalanan menuju kampung Sungai Rosat, hamparan sawit menjadi suguhan pemandangan yang tak biasa. Hampir di samping kiri dan kanan jalan, hanya sawit yang dapat ditemui. Pemandangan itu semakin kental. Tak kala beberapa truk mondar-mandir, mengangkut ribuan tandan sawit. Tandan sawit itu diangkut dan kemudian dibawa ke pabrik pengolahan minyak sawit (PMS). Di wilayah itu ada PMS Rimba Belian.
Lajunya truk-truk pengangkut buah sawit, membuat jalan begitu berdebu. Walaupun di musim hujan, tapi debu-debu tak henti bertebaran. Tak dapat dibayangkan bagaimana amuk debu-debu saat musim kemarau. Debu-debu itu tak hanya telah mengganggu kenyamanan perjalanan, tapi akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan para pengguna jalan. Apalagi bagi masyarakat yang mendiami wilayah sekitar perkebunan. Contohnya saja masyarakat Sungai Rosat. Meski masyarakatnya telah terbiasa, tapi keluhan akan keadaan itu terus terbesit.
Memasuki kampung Sungai Rosat, hamparan pohon sawit seakan tak pernah habis. Sekilas, sawit-sawit itu seperti telah bercengkrama dengan masyarakat setempat. Sawit-sawit tumbuh dan mengisi setiap sisi lingkungan. Di belakang, di samping, dan di halaman depan rumah. Hampir tak ada lahan kosong yang tak ada sawitnya. Pohon sawit seakan dengan sombong berdiri, menegaskan kekuasaannya terhadap masyarakat pemilik lahan.
Perluasan areal perkebunan sawit belakangan ini, memang telah membuat masyarakat Sungai Rosat kehilangan lahan pribadinya. Itu terjadi sejak lama. Warga tak menyangka kondisi akan terjadi separah ini. Kondisi itu yang akhirnya membuat warga terbiasa. Terbiasa dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Tak hanya lahan yang hilang. Masih banyak hal lain yang harus dialami warga. Penderitaan dan kesengsaraan, terus menghantui hidup mereka. Rasa itu seakan tak pernah lekang oleh waktu. Terus menghantui, dan berharap akan ada jalan keluar di kemudian hari.

Sungai yang Mengering
Jangan kira krisis air hanya terjadi di kota-kota besar saja. Di perkampungan yang masih lekat dengan nuansa alam, air bersih saja begitu sulit dicari. Baik di musim kemarau maupun musim hujan. Keadaan ituh yang sedang terjadi di kampung Sungai Rosat. Sungai-sungai di sekitar kampung telah habis mengering. Kini, masyarakatnya harus susah payah mencari air bersih. Baik untuk mandi, maupun mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hujan baru saja selesai mengguyur bumi. Tapi, langit masih mendung. Begitupun angin, berhembus dengan kencang. Tampaknya, akan turun hujan susulan. Seorang ibu terlihat sibuk menyiapkan ember, sebagai penadah air hujan. Sesekali, ibu itu memandang ke langit. Dengan sebuah harapan akan turun hujan lagi. Ibu itu,  contoh dari sebagian besar masyarakat Sungai Rosat yang begitu berharap memperoleh persediaan air bersih yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  
Sementara itu, di sebuah rumah di ujung kampung, seorang pria terlihat sedang menambatkan ayam. Di sekitar rumah pria itu, tampak berkeliaran dengan bebas beberapa ekor babi. Maklum, di Sungai Rosat, babi peliharaan warga masih dilepas bebas. Babi dibiarkan berkeliaraan mencari makanannya sendiri, meskipun di sekitar kampung tak ada lagi hutan yang lebat. Yang ada, hanya hamparan pohon sawit.
Pria yang sedang menambatkan ayam itu ialah Kocin Nirwandi. Sehari-harinya ia biasa disapa Kocin. Fisiknya masih terlihat segar dan kuat. Di beberapa bagian tubuhnya terlukis beberapa motif tato. Tato-tato itu membalut otot-ototnya yang perkasa. Sekilas, ia memang terlihat sedikit menyeramkan. Tapi, nyatanya ia tidak seseram yang dikira. Ia, sosok pria yang penuh dengan keramahan. Sebuah cerminan sikap masyarakat pedesaan yang masih kental dengan unsur kekerabatannya.
Berbincang dengan Kocin begitu mengasyikkan. Meski ia sebelumnya tak pernah tahu asal usul orang yang menjadi lawan bicaranya, tapi tak sedikitpun tampak hasrat ketakutan dari dirinya. Melalui dialah, KR mendapatkan tumpangan sekaligus teman bincang selama berada di Sungai Rosat. Ia pun rela meluangkan waktunya untuk memandu KR ke beberapa tempat.
Kocin sudah bekeluarga. Di rumah dengan interior yang sederhana, ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Sehari-harinya ia bekerja sebagai karyawan di perkebunan sawit PTPN XIII (Persero). “Hari-hari saya bekerja di perkebunan,” katanya. Bekerja di perkebunan sawit milik PTPN XIII (Persero) memang telah lama ia lakoni. “Sudah lama saya kerja di perkebunan. Hampir tujuh tahun,” lanjutnya. Tak ada pilihan lain bagi Kocin, dengan pekerjaan itulah ia dapat menghidupi keluarganya. Meski, gajinya tak dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. “Sudah lama saya kerja, tapi gaji tetap seperti ini,” kata Kocin sambil menunjukkan nilai nominal gajinya yang tertera di surat kontrak karyawan miliknya.
Sudah hampir dua minggu ini ia tidak pergi bekerja. Itu karena ada urusan yang harus ia kerjakan. Maklum, ia tergabung dalam struktur tim yang dibentuk warga beberapa waktu yang lalu. Dalam tim itu, ia punya tanggung jawab yang besar. Karena itu, ia tak ingin melalaikan tugas dan kepercayaan warga kepadanya. Meski gajinya harus dipotong, karena tak bekerja. “Tak kerja, gaji dipotong,” kata Kocin.
Tim itu, berkepentingan untuk menyiapkan rencana pembangunan pipa air yang akan dialirkan dari bukit ke kampung. “Warga kampung kami akan membuat pipa panjang, untuk mengalirkan air dari bukit ke perkampungan,” kata Kocin. Nantinya, di setiap rumah warga akan ada pipa-pipa air. Sehingga, warga mudah untuk mengambil air.
Rencana pembangunan pipa air itu sudah lama didengungkan. Warga mendapatkan bantuan dari salah satu bank dunia. “Kami mendapat bantuan. Selain itu, setiap kepala keluarga juga mengumpulkan uang seadanya untuk keperluan mengurus administrasi dan pembuatan pipa nantinya,” terangnya. Dari beberapa donatur pun warga mendapatkan bantuan. “Kami buat proposal. Kami minta kepada para pejabat dan orang-orang perusahaan,” katanya. Kocin mengakui, selama ini warga tidak mendapatkan perhatian yang layak dari perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi di sekitar kampung. “Mana ada bantu kita, paling buat jalan ini saja,” jawab Kocin saat ditanya terkait bantuan dari pihak PTPN XIII kepada warga Sungai Rosat.  Sesuai rencana, bulan Agustus 2010 ini, pembangunan pipa itu sudah dimulai. Warga kampung akan bahu membahu dalam proses pembangunan itu.   
Pembangunan pipa air itu penting artinya bagi warga Sungai Rosat. Karena, biasanya warga harus pergi mencari air bersih ke gunung Dekan. Letak gunung itu pun tak dekat. Warga yang punya motor seperti Pak Kocin saja mengeluhkan jauhnya tempat itu. Apalagi yang tidak ada kendaraan. Akan begitu terasa kesusahannya. “Kami ngambil air di gunung Dekan. Untung saya punya motor. Sekali pergi, saya bawa dua galon air. Kemudian, saya harus balik lagi. ” ujar Kocin.
Tak hanya sulit mencari air bersih untuk keperluan sehari-hari, warga Sungai Rosat juga kesusahan mencari tempat yang dekat untuk mandi. Jika ingin mandi, mereka harus pergi ke Sungai Rurut. Untuk datang ke tempat itu, warga yang tak punya sepeda motor harus jalan kaki. Waktu yang ditempuh lumayan lama. Paling cepat, setengah jam. “Yang ada motor nyaman, yang tak punya motor harus jalan kaki,” kata Kocin. Apalagi dengan medan jalan perkebunan yang tak bersahabat. Begelombang dan penuh dengan debu.
Kondisi sulitnya mendapatkan air bersih, sudah beberapa tahun ini warga kampung Sungai Rosat alami. Menariknya, meski kampung ini bernama Sungai Rosat, tapi tak banyak lagi sungai yang layak untuk dipakai. Selain, ada yang tercemar. Sungai-sungai di kampung itu juga telah mengering. “Di sini, sungai kita kering,” kata Kocin di tengah perjalanan menyusuri sungai-sungai dikatakannya kering. Kocin menyebutkan bahwa ada satu sungai yang letaknya di belakang perumahan warga. Sungai itu anak Sungai Empanan. Kini, sungai itu tak layak lagi untuk digunakan.
Selain kering, sungai-sungai yang ada di sekitar perkebunan juga terancam akan pencemaran. “Sungai-sungai di sini ada yang sudah tercemar. Dulu tanggul limbah pabrik sawit pernah jebol, sungai kita habis kena,” kata Kocin. Pencemaran sungai tentu tak hanya terjadi karena limbah pabrik. Tapi juga karena faktor pemakaian zat-zat peransang pertumbuhan sawit. Seperti zat pestisida dan bahan kimia lainnya. Bayangkan, dengan ribuan hektar lahan perkebunan sawit, berapa banyak juga zat-zat berbahaya itu digunakan.  
Dulu, warga tak kesusahan untuk mandi dan mencari air bersih. Dengan letak yang tak jauh, Sungai Empanan menjadi andalan warga. Tapi, itu dulu. Sejak perkebunan sawit masuk dan terus meluaskan lahannya, kondisi krisis air mulai terasa. Sungai-sungai mengering. Rumput-rumput tandus. Warga pun harus rela pergi mandi dan mengambil air bersih ke tempat yang jauh letaknya dari perkampungan. “Sawit telah merusak lingkungan kami. Sungai-sungai habis kering,” kata Kocin sambil membasuh tangannya di sisa-sisa genangan air sungai yang makin mengering. Kocin juga sempat bercerita, jika dulunya di sungai itu warga dengan bebas berenang. “Kalau mau mandi, dengan mudah kami datang ke sini. Anak-anak pun bebas mandi dan berenang. Semuanya terasa mudah,” kenang Kocin dengan tatapan rtuju pada dua orang anak yang sedang mandi. Dua anak itu tampak dengan riang bermain, memanfaatkan genangan air yang tersisa.
Dengan kondisi yang ada, warga coba bertahan. Melalui semuanya dengan penuh ketulusan, meski penuh dengan ketersiksaan. “Warga jadi terbiasa dengan kondisi ini,” kata Kocin. Kocin mungkin hanya sebagian dari warga kampung Sungai Rosat yang tak terima dengan keadaan itu. Dari tutur katanya, sunggu terasa jika ia sangat menyesali keadaan ini. Ingin berbuat, tapi semuanya telah terjadi. Warga tersiksa, tapi perkebunaan sawit itu tak mungkin dengan cepat dan mudah untuk digantikan dengan pohon-pohon karet dan lainnya. Kini, warga coba bertahan dan menghadapi kondisi yang ada dengan ketulusan. Sambil berharap tak ada lagi perluasan lahan perkebunan sawit.

Terampasnya Sumber Penghasilan
“Jangankah lahan untuk berladang, untuk bikin WC di belakang rumah saja hampir tak ada lagi. Semuanya sudah penuh dengan sawit. Setiap bulanpun kita harus beli beras,” kata Acan, Kepala Adat kampung Sungai Rosat. Itulah yang saat ini dialami masyarakat Sungai Rosat. Budaya berladang seakan tinggal kenangan. Tak ada lagi lahan kosong yang dapat dimanfaatkan. Keadaan itu juga berpengaruh pada penghasilan warga.
Malam telah datang. Kocin terlihat sedang menyalakan api pelita. Pelita-pelita itu kemudian ditaruh di beberapa sudut ruangan rumahnya. Dari pelita itulah, bersinar cahaya-cahaya yang menerangi rumahnya. Maklumlah, di kampung Sungai Rosat belum ada listrik negara ataupun desa. Kebanyakan, bagi warga yang mampu, dapat membeli mesin listrik pribadi. Sementara, warga yang tak mampu tetap mengandalkan pelita sebagai penerang utama. “Yang beduit, beli mesin sendiri. Yang tak mampu seperti saya, begelap seperti ini,” kata Kocin. Aspirasi warga akan kebutuhan listrik ini telah lama didengungkan. Warga berharap, akan adanya listrik desa.
Jarum jam bergerak mendekati angka 7.00. Kocin dan KR pergi ke rumah Kepala Adat Sungai Rosat, Marsan. Letak rumahnya tak begitu jauh dari rumah Kocin. Di rumah Marsan, listrik bersinar terang. Ia punya mesin listrik pribadi. Ada beberapa warga yang mengambil aliran listrik dari rumahnya.
Di rumahnya itu, Marsan banyak berbincang tentang kondisi nyata yang dialami masyarakat Sungai Rosat saat ini. Marsan yang kerap disapa Acan, bercerita dengan penuh keterbukaan. Tak ada yang ditutupi. Dengan lantang ia berbicara, tentang perkebunan sawit yang mengepung kampung Sungai Rosat. Meski raganya terlihat semakin menua. Tapi, semangat dan usaha keras untuk mendapatkan kembali hak mereka yang telah terampas, begitu besar. Sebuat saja, hak akan lahan yang telah habis terpakai untuk perkebunan sawit PTPN XIII (Persero).
Acan menuturkan begitu sengsaranya warga Sungai Rosat, harus hidup di tengah kepungan sawit. Hampir dalam berbagai hal, warga merasa dicurangi oleh janji yang semula ditawarkan oleh pihak yang mengaku ingin membantu. Sekarang, warga yang harus menanggung dan merasakan kesengsaraan itu. Bayangkan, warga kampung seperti Sungai Rosat tak dapat lagi berladang. Lahan kosong untuk berladang sulit lagi untuk dicari. Sebuah kondisi yang tak lazim terjadi di wilayah pedesaan.
“Oi, lebih parah,” jawab Acan saat ditanya terkait hilangnya kebiasaan berladang di Sungai Rosat. Warga terpaksa harus membeli beras tiap bulannya. “Sekarang semuanya main beli. Kalau dulu ndak. Kita panen, dapat padi,” katanya. Saat ini, masa-masa berladang tinggal jadi kenangan. Apalagi, dulu setiap musim berladang tiba dan berakhir, masyarakat dengan meriah membuat pesta. Pesta sebagai wujud syukur. “Dulu, kalau waktu sudah panen, ramai orang pesta. Sampai-sampai pesta dua hari dua malam. Pokoknya ramai,” kenangnya.
Tak adanya lahan untuk berladang, tentu bukan kondisi yang mudah untuk dihadapi. Tapi, bagaimanapun, semuanya sudah terjadi. Lahan warga telah habis terpakai untuk perkebunan sawit. Semula, lahan itu masih ada. Sedikit demi sedikit pihak perusahaan meluaskan lahan perkebunannya. Padahal dulunya, ada perjanjian yang dibuat masyarakat terkait penggunaan lahan. Tapi, semuanya telah diingkari. Masyarakat pun tak dapat berbuat banyak. “Semuanya habis. Gunung telah habis. Yang ada sawit melulu,” kata Acan. Ia menyebutkan, ada beberapa gunung yang habis tertanam sawit. Seperti Gunung Dekan dan Terentang.
Hilangnya lahan itu juga berdampak pada penghasilan warga. Seperti, tak ada lagi lahan karet. Dulu warga masih bisa ngaret. Bahkan, kebanyakan warga menjadikan karet sebagai penghasilan utama. Seperti yang diungkapkan Acan. Dengan karet, warga dapat memperoleh penghasilan yang memadai setiap harinya. “Coba kalau getah. Jika 10 kg sehari, kita sudah dapat Rp 124.000. Kerja setengah hari. Siangnya berladang, dapat padi,” katanya. Tapi, apa yang diungkapkan Acan kini tinggal menjadi sebuah mimpi. Karet-karet milik warga kini tinggal sedikit yang ada. Semuanya telah tergantikan dengan sawit.
Berkaitan dengan penghasilan. Sebetulnya warga punya lahan sawit. Mereka mengolah, merawat, dan memanennya sendiri. Tapi, seberapalah luas lahan itu. Ada yang punya tiga kapling, dua kapling, dan satu kapling. “Punya saya hanya satu kapling. Itupun sisa lahan yang dulu tidak diserahkan ke perusahaan,” tambah Kocin. Masalah lain muncul lagi, tatkala warga perlu uang banyak untuk mengelola lahannya. Dari itulah dibentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Warga bisa pinjam uang, sebagai modal. Tapi, lama ke lamaan, warga juga mulai mengeluh dengan sistem pembayaran kredit di KUD. Setiap panen, selalu dipotong 30% dari jumlah keseluruhan hasil panen. Warga sering mempertanyakan, jumlah nominal yang sebenarnya dipotong. Mengapa setiap bulan, selalu dipotong 30%. Warga merasa dirugikan dengan sistem pemotongan seperti demikian. “Kami tidak setuju dengan sistem pemotongan seperti itu,” kata Kocin.
Penghasilan warga dari sawit tidaklah seberapa. Itu yang menjadi keluhan mereka. “Sekarang apa. Sawit. Harganya berapalah, Rp 1.300. Dipotong, bersihnya dapat Rp 700. Kalau satu bulan dapat satu ton, berarti kita dapat Rp 700.000. Cukupkah untuk makan keluarga satu bulan. Belum lagi, kalau dibagi tiga keluarga. Mana mau hidup!” kata Acan. Dalam hal inilah, warga sangat tidak setuju. Warga kerja keras, tapi menerima hasil yang tak sesuai dengan harapan.
Apa yang dikatakan Acan tidaklah berlebihan. Kini, mata pencaharian warga kampung Sungai Rosat sangat tidak menjanjikan. Dengan uang Rp 700.000 per bulan itu, warga harus pandai-pandai mengelolanya. Jika tidak pandai-pandai, wabah kelaparan akan segera mendera. “Jangan pikir kami di sini baik-baik saja. Untuk perbaiki rumah saja, kami harus pinjam uang di Credit Union (CU). Kalau tidak begitu, mana kami bisa,” tambah Acan.
Dari kebutuhan hidup yang paling sederhana, warga merasa kesulitan untuk memenuhinya. Setiap harinya, warga harus membeli lauk-pauk dari penjual sayur-mayur yang datang ke kampung. Lagi-lagi, warga harus mengeluarkan uang. Keadaan itu mungkin tidak akan terjadi jika hutan-hutan di sekitar perkampungan masih ada. Dan sungai-sungainya masih layak untuk digunakan. Jika masih ada hutan dan lahan, warga tentu tak perlu mengeluarkan uang untu membeli sayur. Warga cukup berkebun atau rajin-rajin mencari ke hutan. Begitupun jika sungai masih mengalir dengan normal. Warga dapat langsung mencair ikan. “Setiap hari, kami beli sayur dengan Mas Jawa yang datang ke kampung. Kalau dia tak datang. Kami terpaksana makan seadanya. Seperti dengan telur dan ikan kalengan,” ungkap Kocin.
Keadaan memang tak berpihak dengan warga. Sekilas, tak ada hal pelik yang terjadi dengan warga Sungai Rosat. Tapi, nyatanya, rintihan dan keluhan akan kenyataan yang dihadapi terdengar begitu sendu. Warga tak dapat berbuat banyak.Yang penting adalah kebutuhan hidup sehari-hari dapat tercukupi. Dengan suatu harapan, adanya perhatian yang lebih. Dan juga berharap kembalinya lahan-lahan milik mereka. Sesuai dengan janji yang pernah diungkapkan saat warga menyerahkan lahan dengan suka rela untuk pembukaan dan perluasan lahan perkebunan sawit. “Kami akan terus menuntut hak kami sampai kapanpun. Lahan kami harus dikembalikan dengan ganti rugi yang memadai,” kata Acan.

Habis Manis, Sepah Dibuang
Malam semakin larut. Perbincangan dengan Acan dan Kocin semakin menarik saja. Sebagai Kepala Adat, Acan sampai saat ini tak pernah berhenti memperjuangkan hak masyarakat. Berulangkali ia mengungkapkan kurangnya perhatian pihak PTPN XIII terhadap masyarakat. “Janji tinggal janji, ndak ada bukti. Mana pernah kami dibantu,” kata Acan dengan lantang. “Kami ini seperti dibunuh dengan cara tidak langsung,”tegasnya lagi.   
Dari dulu, hingga saat ini. Warga memang telah bosan dengan janji-janji yang disampaikan pihak perusahaan. “Dulu, mereka datang ke sini banyak janji. Mereka bilang, perkebunan sawit akan membantu masyarakat,” kata Acan. Tapi, nyatanya. Masyarakat tak merasakan apa yang dijanjikan itu. “Bapak jangan kuatir, pemerintah membangun perkebunan ini untuk masyarakat. Hak bersama. Masyarakat jangan malas, nanti dikasih pekerjaan yang layak,” katanya menirukan janji-janji yang pernah disampaikan pihak pemerintah maupun perusahaan kepada warga.
Pekerjaan dan hidup yang layak, menjadi janji manis yang dijual kepada warga. Tapi, kata Acan, yang terjadi malah sebaliknya. “Sekarang apa, banyak numpuk surat lamaran pekerjaan di sana. Berapa puluh orang. Tapi, tak pernah diproses,” ujarnya. Warga berulang kali mempertanyakan masalah itu, tapi tak ada jawaban pasti yang mereka dapatkan. “Ndak ada. Udah kita susul, ndak ada jawabannya. Masalah itu dibilang hak mereka, bukan hak kita,” ujarnya.  
Dalam hal perekrutan tenaga kerja, masyarakat juga mengeluhkan. Mayoritas, yang bekerja di perkebunan adalah orang-orang luar atau yang bukan warga Sungai Rosat. Jika diteliti, masih banyak warga Sungai Rosat yang belum mendapatkan pekerjaan. “Orang-orang yang jauh, yang diambil mereka. Malah, kebanyakan orang dari luar Kalimantan. Padahal kami di sini masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata Kocin menambahkan. Di sinilah, timbul keresahan. Bahkan kemarahan warga. Padahal, dulunya pernah ada janji, jika yang diutamakan adalah putra daerah setempat atau penduduk pribumi. “Banyak yang dari luar Kalimantan,” katanya.
Selain masalah lapangan pekerjaan. Selama ini, warga merasa sangat tidak diperhatikan. Pihak perusahaan seperti lepas tangan. “Sekarang janji tinggal janji. Mana mereka mau tau. Lihat saja udah,” kata Acan. Dalam berbagai hal, masyarakat terabaikan. Seharusnya, tidak demikian. Seperti yang tersurat dalam beberapa poin surat perjanjian antara masyarakat dan perusahaan.
 Salah satu poin perjanjian itu tercakup makna bahwa, pihak perusahaan harus turut serta dalam membangun perkampungan. Itupun tak semuanya dibebankan kepada perusahaan, tapi bersama-sama dengan masyarakat. Tapi, kesepakatan itu tak berpihak kepada masyarakat. Yang ada, sebaliknya. “Lihat jalan, seperti kolam lele,” kata Acan. Bagi Acan, keadaan tersebut adalah bentuk ketidakpedulian terhadap mereka. Padahal masyarakat sangat mengandalkan jalan itu dalam melaksanakan aktivitasnya.
Tak hanya jalan. Sedikitpun pihak perusahaan tak pernah peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di kampung Sungai Rosat. “Mana ada anak-anak kami dibantu,” kata Kocin. Warga berusaha untuk mandiri menyekolahkan anaknya. Begitupun dalam hal membangun kampung. Masyarakat sadar, tak ada yang dapat diharapkan dari pihak perusahaan. Bukannya bantuan yang mereka dapatkan, tapi kesengsaraan.
Memang banyak hal yang diungkapkan Acan dan Kocin. Realita yang apa adanya tentang kehidupan masyarakat Sungai Rosat, terus mereka kumandangkan. Tak banyak yang mengerti dengan yang mereka alami. Malah, pihak yang mengerti, tak sedikitpun berempati.
Karena itu, bersama masyarakat, keduanya tak akan pernah berhenti memperjuangkan hak yang sesungguh dimiliki mereka. Hak-hak yang telah terampas. Meski harus berhadapan dengan orang-orang yang penuh dengan kekuasaan dan kelicikan, tapi mereka tak akan pernah mundur. “Kita akan terus berjuang. Menuntut hak kita yang dirampas. Jika terus diperlakukan seperti ini, tahun 2010 ini kami akan minta lahan milik kami dikembalikan. Jika tidak, ini akhir. Saya mengatakan, daripada saya hidup seperti ini, bagus saya mati,” kata Acan.
Perkataan Acan itupun menjadi akhir dari perbincangan. Di saat malam semakin tinggi, dan lampu-lampu di rumah warga satu per satu mulai dipadamkan. Kampung Sungai Rosat pun tampak begitu gelap. Segelap kenyataan yang tengah menerpa masyarakatnya. Di saat harus hidup dalam belenggu ketidakpastian, akibat perluasan perkebunan sawit yang tak berorientasi pada kemakmuran masyarakarakat adat setempat.