Jumat, 26 Maret 2010

ANDI-JAPIN: Ketika Masyarakat Adat Berdaulat


Matahari bersinar terang. Langit cerah. Suasana di Pengadilan Negeri Kabupaten Ketapang tampak biasa saja. Irama rutin diperagakan. Tak ada penjagaan ketat. Hanya tampak seorang satpam dan dua orang teman bicaranya di ruang tunggu pengadilan. Tapi, suasana itu tak bertahan lama. Sekitar pukul 8.30, ratusan massa memasuki halaman gedung Pengadilan Negeri Ketapang. Massa melangkah dengan tegak dan penuh semangat. Langkah mereka berhenti, tepat di depan pintu masuk gedung pengadilan. Terpisah oleh anak-anak tangga gedung pengadilan. 
   ”Hidup masyarakat adat,” teriak seorang massa. Teriakan itu kemudian diikuti secara serentak oleh semua massa. Teriakan itu bagian dari perjuangan yang tak henti membela kebenaran. Tidak hanya itu, massa  juga mengangkat poster dan baliho. Di poster dan baliho tersebut tertulis kalimat-kalimat seruan. ”Hukum Kami Hukum Adat”, ”Bebaskan Andi-Japin”, ”Polisi, Jaksa, Hakim Jangan Mau Jadi Budak Pengusaha”, ”Stop Kriminalisasi Masyarakat Adat”, ”Hentikan Sidang Demi Hukum dan Keadilan”, dan ”Kembalikan Kedaulatan Hukum Adat”. 
   Tak lama setelah massa berkumpul, datang puluhan aparat kepolisian. Mereka berjaga-jaga. Berdiri berhadapan dengan massa. Coba melakukan pengamanan. Tapi, kedatangan para aparat kepolisian tak sedikitpun membuat massa takut. Mereka malahan semakin bersemangat, tak gentar sedikitpun. Teriakan-teriakan massa semakin nyaring terdengar. ”Pak Polisi, jangan kuatir. Kami tidak akan anarkis. Kami hanya datang untuk memperjuangkan hak kami. Menegakkan kembali keadilan yang telah dirampas oleh PT Bangun Nusa Mandiri (BNM) anak perusahaan Sinar Mas Group dan para koleganya,” teriak seorang massa menyambut kedatangan aparat kepolisian. Teriakan itupun disambut massa dengan tepuk tangan riuh.
   Gambaran di atas adalah suasana yang terlihat di Pengadilan Negeri Kabupaten Ketapang. Hari itu hari Kamis, 18 Maret 2010. Ratusan massa datang untuk mengikuti persidang kedua Vitalis Andi dan Japin. Massa yang datang merupakan gabungan dari masyarakat adat dari berbagai kampung yang terletak di Kecamatan Jelai, Marau, Tumbang Titih, Kecamatan Air Rupas, dan umumnya dari Masyarakat Adat yang ada di Kabupaten Ketapang. Mereka datang untuk memperjuangkan hak mereka dan terutama untuk memberikan dukungan moril kepada dua saudara mereka, Andi dan Japin. “Kami ingin keadilan, bukan kebohongan. Bebaskan Andi-Japin,” teriakakan massa yang tak pernah henti. 
   Andi dan Japin adalah dua masyarakat adat yang didakwa melakukan pelanggaran hukum. Keduanya dilaporkan oleh pihak PT BNM telah melakukan perampasan buldoser dan mengancam operator buldoser. Berdasarkan laporan tersebut, kemudian Andi dan Japin ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya sempat mendekam di balik jeruji besi selama 14 hari, sebelum ditangguhkan hukumannya, selasa tanggal 9 Maret 2010. 
   Di balik penetapan keduanya sebagai tersangka, banyak hal yang terasa janggal. Hal tersebutlah yang menyulut semangat masyarakat adat datang ke Pengadilan Negeri Kabupaten Ketapang untuk membela keduanya. Tanpa dikomandoi ataupun diorganisir oleh pihak-pihak tertentu. “Kami datang karena kami ingin memperjuangkan hak kami. Kami ingin memberi dukungan kepada Andi dan Japin,” ungkap Iboy. Menurut Iboy, masyarakat adat menganggap Andi dan Japin adalah korban ketidakadilan. Padahal keduanya merupakan pejuang yang memperjuangkan hak tanah adat masyarakat yang telah dirampas oleh PT BNM. Lebih dari itu, masyarakat sangat tak terima dengan apa yang telah dilakukan pihak PT BNM.  
   PT BNM tidak hanya telah memenjarakan Andi dan Japin. Tapi, PT BNM telah merampas hak masyarakat adat dan melecehkan hukum adat. Khususnya masyarakat adat yang ada di Kecamatan Marau. Tanah masyarakat adat diambil tanpa permisi untuk lahan perkebunan sawit. Kebun karet yang menjadi harta tak tehingga sepanjang masa pun habis digusur, diganti dengan sawit. Lebih mentragiskan lagi, lahan kuburan (pemakaman) masyarakat adat pun digusur. Inilah yang sangat membakar emosi warga.  

Telah Diselesaikan dengan Hukum Adat 
Konflik antara masyarakat adat Silat Hulu dengan PT BNM dimulai sejak tahun 2008. Beberapa kesepakatan telah dibuat untuk menyelesaikan persoalan ini. Tapi, konflik itu tetap terjadi hingga tahun 2009. Pihak perusahaan melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Akhirnya, oleh masyarakat adat pihak perusahaan dikenai hukum adat. Tanggal 19 November 2009, pihak perusahaan membayar lunas hukum adat. Hal itu berarti persoalan telah selesai secara hukum adat.  
   Hal tersebut diungkapkan oleh Japin. Menurut Japin, masyarakat sudah beberapa kali meminta pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya. Akan tetapi, pihak perusahaan tak pernah mendengarkannya. Perusahaan malah terus menggusur kebun karet milik warga. Tidak hanya itu, kuburan pun mereka gusur, dijadikan sebagai lahan perkebunan sawit.  
   “Sejak tahun 2008 warga meminta agar tanah adat jangan digusur lagi. Akhirnya perusahaan berhenti. Sekitar awal tahun 2009, perusahaan kembali melakukan penggusuran seluas 18 hektar. Padahal masyarakat sudah melakukan penanaman karet sebanyak 6.000 batang. Waktu itu karet masyarakat dibuang, digantinya lagi dengan sawit. Hal itu membuat masyarakat mengamuk. Masyarakat memotong sawit perusahaan. Sama balas membalaslah,”cerita Japin. 
   Persoalan itupun kemudian diselesaikan di Kantor Kecamatan Marau. Camat Marau memutuskan bahwa persoalan tersebut tidak diselesaikan secara hukum, karena ini seolah-olah sama rugi. “Pak Camat saat itu mengatakan bahwa sebelum mengadakan sosialisasi pihak Sinar Mas tidak boleh melakukan penggusuran,” ujar Japin. Akan tetapi persoalan itu kembali terjadi. Pihak Sinar Mas melanggar kesepakatan yang telah dibuat secara bersama di kantor Kecamatan Marau.  
   “Sekitar bulan Juli tahun 2009 pihak sinar mas melakukan penggusuran  lagi, seluas 280 hektar. Jika ditotalkan, pihak perusahaan telah menggusur tanah masyarakat adat sebanyak 350 hektar. Pada waktu itu durian, perumahan, lahan kuburan, dan karet masyarakat adat terkena lagi. Akhirnya masyarakat mengamankan dua buldoser milik perusahaan, agar pihak perusahaan membayar hukum adat dan persoalan diselesaikan. Ketika tanggal 19 November 2009 pihak perusahaan telah menyelesaikan hukum adat dengan membayar lima belas buah tajau, empat singkir piring, dan empat tatak mangkuk. Persoalan kami dengan PT BNM pun telah selesai dan dianggap sah,” kisah Japin.  
   Penyelesaian persoalan antara masyarakat Silat Hulu dengan pihak perusahaan secara hukum juga disampaikan oleh TPMA. “Proses hukum antara masyarakat Silat Hulu dengan PT BNM telah ditempuh. Persoalan tersebut telah dinyatakan selesai,” papar TPMA dalam eksepsinya. TPMA mengungkapkan bahwa polisi telah merusak apa yang sudah diselesaikan. Hal ini bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat dengan hukum adatnya. Sementara itu, Bambang Edhy Supriyanto, hakim anggota persidangan Andi-Japin mengatakan bahwa institusi kehakiman mengakui keberadaan hukum adat. “Jika suatu  kasus telah diselesaikan secara hukum adat seharusnya sudah selesai. Dan jika sampai ke persidangan, maka hukum adat itu menjadi bahan pertimbangan penting bagi hakim,”jelasnya.  
   Upur, warga yang datang pada persidangan kedua Andi dan Japin mengungkapkan bahwa hukum adat dalam masyarakatnya adalah hal yang utama. Hukum adat sudah ada sejak dahulu dan harus dihormati. “Di kampung sebenarnya hukum adat itu yang sangat kami utamakan. Karena hukum adat itu sudah beberapa keturunan. Kalau peribahasa kami, dari krasik mulai tumbuh, tanah mulai menjadi, itu sudah ada hukum adat” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa hukum adat saat ini sudah dilecehkan oleh pihak perusahaan. “Contohnya saja penyerobotan tanah, pengusuran tanah kuburan, dan kasus yang dialami Pak Japin,” ungkap warga Batu Keling Desa Sukaria ini.  

Kejanggalan Proses Perkara 
Ditagih padahal tak berhutang, dituduh padahal tak bersalah. Ungkapan itu sangat tepat untuk menggambarkan apa yang dialami oleh Andi dan Japin. Sejak awal proses perkara Andi dan Japin diduga penuh dengan tipu muslihat. Ada rekayasa dan konspirasi di balik semuanya. 
   Pada persidangan pertama, selasa tanggal 9 Maret 2010 lalu jaksa penuntut umum (JPU), Soenoto membacakan surat dakwaan terhadap Vitalis Andi dan Japin. Surat dakwaan dengan No.Reg: Perkara: PDM-44/KETAP/01/2010, tanggal 09 Maret 2010 mendakwa terdakwa, Primair: pasal 21 Jo pasal 47 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Berdasarkan pasal tersebut, Andi dan Japin dituduh telah melakukan tindakan pengancaman, pemaksaan, dan pengerusakan.  
   Pasal 21 berbunyi, setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainya, penggunaan perkebunan tanah perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Sementara pasal 47 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. 
   Tidak hanya itu, Andi dan Japin juga diancam dengan hukuman 9 tahun. Hal tersebut tertuang dalam subsidair pasal 368 KUHP. Subsidair itu berbunyi, barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagaimananya termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan penjara selama-lamanya 9 tahun. 
   Dakwaan terhadap Andi dan Japin mendapat reaksi keras dari massa maupun Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA). TPMA yang terdiri atas Johnson Panjaitan S.H., Sulistiyono S.H., Martinus Yestri Pobas M.H., dan Blasius Hendi Chandra S.H., langsung menyampaikan eksepsi atau keberatan atas dakwaan JPU. “Kami berniat mulia untuk membantu Pengadilan Negeri Ketapang ini agar tidak terseret dalam lingkaran mafia pengadilan. Kami mencium aroma bau busuk kolusi antara perusahaan, polisi, dan kejaksaan yang memaksakan kasus ini,” ungkap Jhonson Panjaitan, Ketua TPMA. Johnson Penjaitan juga menambahkan bahwa dalam proses pemeriksaan pendahuluan ada manipulasi pelaporan oleh pelapor. “Awalnya tersangka itu ada enam, tapi yang dimajukan ada dua. Ini memperlihatkan bahwa dari awal proses perkara ini sudah direkayasa dan adanya konspirasi,” ungkapnya. 
   Sementara itu, menurut Japin apa yang didakwakan kepada dirinya dan Vitalis Andi sangat tidak benar. Tak sedikitpun ada tindakan pengancaman dan perampasan. “Saya dituduh mengambil kunci buldoser dan melakukan pengancaman. Tapi, ternyata kita di lapangan memang betul-betul ndak ada yang mengancam. Ndak ada sama sekali,” ungkap Japin. Ia juga menambahkan bahwa buldoser itu datang ke kampung dalam keadaan hidup. “Buldosernya jarak enam kilo dari sana (hutan) ke kampung, hidup. Ndak ada kita pegang kuncinya, ndak ada kita pegang yang lainnya,” ungkap pria berusia 32 tahun ini. 
   Japin juga menolak jika ia dan masyarakat dikatakan mengancam dengan membawa parang. “Bahkan kami dituduh lagi membawa parang, tetapi pada waktu itu kita ndak ada bawa apa-apa. Bahkan buldosernya juga ke kampung berjalan mulus. Manusianya (operator buldoser) datang ke kampung malah kita kasih makan. Ndak ada niat membunuh dan mengancam itu,” tegas suami Siunjir ini. Ia juga kembali mengungkapkan bahwa tuduhan bahwa ia mengambil kunci buldoser sangat-sangat tidak benar. Menurutnya, ketika beliau (operator buldoser) datang ke kampung Silat Hulu langsung diserahkan kepada masyarakat. “Tidak ada pemaksaan sedikitpun,” ungkap ayah Siunyal dan Prianus ini.  
   Istri Vitalis Andi, Lusiana juga mengungkapkan jika penangkapan suaminya dan Japin merupakan bentuk penculikan. Tak ada pemberitahuan dari pihak kepolisian perihal penahanan suaminya. “Saya tidak diberitahu tentang penahanan suami saya. Saat itu dia ke Ketapang memenuhi panggilan polisi. Sorenya dapat kabar dia ditahan. Ini tidak adil, suami saya diculik aparat penegak hukum,” ujar Lusiana. Hal senada juga diungkapkan oleh Iboy. “Ini sangat tidak adil. Kenapa orang tidak bersalah malah diciduk,” ungkap warga kampung Batu Keling Kecamatan Air Rupas ini.  

Kebenaran Akan Selalu Menang 
   Pada persidangan kedua, Kamis 19 Maret 2009, dakwaan terhadap Andi dan Japin diputuskan oleh hakim batal demi hukum. Andi dan Japin dinyatakan bebas. Keputusan ini disambut gembira oleh masyarakat adat yang hadir dalam persidangan tersebut. “Yang benar akan selalu menang,” teriak massa menyambut keputusan tersebut.  
   Hari itu, persidangan kedua Andi dan Japin dilaksanakan sekitar pukul 10.00. Agenda persidangan adalah pembacaan tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap eksepsi tim kuasa hukum Andi dan Japin yang disampaikan pada persidangan pertama tanggal 9 Maret 2010. Setelah JPU membacakan tanggapannya, majelis hakim yang diketui oleh Bestman Simarmata, S.H., memutuskan untuk menskor (menghentikan sementara) sidang sampai pukul 14.00.  
   Keputusan majelis hakim menskor sidang tidak membuat massa yang ada di luar ruang persidangan putus asa. “Pak Hakim, jangan mau dihasut. Gunakan hati nuranimu, keadalian harus tetap ditegakkan,” teriakan massa yang ada di luar. Semangat massa tak sedikipun pudar. Mereka tetap setia menanti keputusan hakim walau harus menunggu beberapa jam. “Kami tetap menunggu, karena ini adalah perjuangan kami,” ungkap Upur, satu di antara warga Batu Keling Desa Sukaria yang datang pada hari itu. Di sela waktu menunggu, massa tetap duduk di halaman depan Pengadilan Negeri Ketapang, tetapi ada juga massa yang masuk ke ruangan sidang. Ruangan sidang menjadi tempat istirahat massa. Ada yang hanya duduk sambil berbincang-bincang dan ada juga yang membaringkan tubuhnya walau hanya beralaskan lantai porselen. 
   Sekitar pukul 14.00, majelis hakim memasuki ruang sidang. Bestman Simarmata, S.H., membacakan putusan majelis hakim terhadap terdakwa Andi dan Japin. Majelis hakim memutuskan bahwa dakwaan terhadap Andi dan Japin batal demi hukum. Majelis hakim memandang bahwa ada kejanggalan dari dakwaan jaksa terhadap Andi dan Japin. “Pada dasarnya, uraian dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap. Tapi, kami tidak melihat hal tersebut ada,” ungkap Bambang Edi S.H., Wakil Kepala Pengadilan Negeri Ketapang. 
   Majelis hakim juga memandang bahwa kronologis pengambilan kunci buldoser yang disampaikan oleh jaksa dalam dakwaan juga tidak jelas. Hal tersebut diungkapkan oleh Bambang Edi, S.H., bahwa kronologis pengambilan kunci buldoser membuat majelis hakim bingung. “Di dalam dakwaan, jaksa menjelaskan bahwa para tersangka naik ke buldoser dan langsung mencabut kunci kontak. Tapi, di dalam dakwaan juga disebutkan oleh jaksa bahwa terdakwa mengancam operator buldoser untuk menyerahkan kunci. Jadi, kita bingung, mana yang benar. Dari situlah kami menilai dakwaan jaksa tidak jelas,” ungkapnya.  
   Sementara itu, massa yang ada di ruangan sidang maupun yang di luar menyambut keputusan hakim dengan gembira. Ada juga beberapa di antara massa yang meneteskan air mata. “Kami gembira, terharu. Tidak sia-sia perjuangan kami. Yang benar pasti akan menang,” seru massa. Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Vitalis Andi. Ia merasa keputusan ini telah menegakkan kembali keadilan dan kebenaran. “Kebenaran tetap ditegakkan dan inilah hasil dari perjuangan kita bersama,” ungkap Andi.  
   Pada kesempatan itu juga Andi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya. “Terima kasih kepada masyarakat adat yang ada di seluruh Kabupaten Ketapang yang telah mendukung saya dan bersama-sama memperjuangkan hak-hak adat. Terima kasih juga kepada Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) yang telah gigih membela dan memperjuangkan kebenaran serta keadilan,” ujar Andi. Tidak lupa ia juga berpesan kepada seluruh masyarakat adat agar tak pernah berhenti berjuang menjaga tanah adatnya. “Masyarakat adat harus terus memperjuangkan hak-haknya. Jangan pernah takut, karena yang benar akan selalu menang,” pesan Andi.  
   Ketua TPMA, Jhonson Panjaitan S.H., memandang jika apa yang diputuskan oleh majelis hakim sudah benar. Majelis hakim dianggapnya cermat dan teliti dalam memandang kasus ini. “Kita perlu mengapresiasi majelis hakim. Majelis hakim telah menangkap langsung aspirasi keadilan masyarakat,” ungkap Jhonson. Ia juga menilai bahwa majelis hakim telah menunjukkan keprofesionalannya dalam memandang kasus ini. Berkaitan dengan upaya hukum selanjutnya, Jhonson menungkapkan bahwa secara materi pokok perkara, pihaknya akan terus berjuang untuk memperjuangkannya. “Kita akan terus memperjuangkan persoalan ini. Kebenaran dan keadilan harus tetap ditegakkan. Hak masyarakat adat harus terus diperjuangkan,” ungkap Jhonson.  
Maksi Hajaang 
25 Maret 2010

Tidak ada komentar: