Senin, 31 Mei 2010

Sertifikasi Guru: Antara Kualitas dan Kesejahteraan

Pendidikan memiliki peranan penting dalam perkembangan suatu bangsa. Bangsa yang maju dan sejahtera mensyaratkan sumber daya manusia yang berkualitas. Tidak dalam satu aspek, tapi terampil di segala aspek. Untuk melahirkan manusia seperti itu, diperlukan proses pendidikan yang bermutu dan berkualitas pula. Guru sebagai komponen dari proses pendidikan mempunyai posisi yang strategis untuk mewujudkan hal tersebut.

Dewasa ini, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkembang begitu pesat. Peran dan pengaruh IPTEK sangat besar dalam menunjang perkembangan kehidupan manusia secara global. Semua aspek kehidupan manusia tak lepas dari pengaruh tersebut. Mau tidak mau, manusia harus tanggap terhadap berbagai perkembangan dan perubahan tersebut. Dalam hal inilah, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Tak hanya berkualitas secara intelektual, tapi berkualitas secara moral dan spiritual.
Untuk mewujudkan manusia yang diharapkan tersebut, diperlukan proses pendidikan yang berkualitas pula. Proses pendidikan yang dapat membentuk dan memberdayakan pribadi manusia secara terpadu. Hal ini sesuai dengan hakikat pendidikan yang tercakup dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Hakikat dari pendidikan juga dapat dipahami secara jelas dan singkat dari apa yang pernah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak bangsa.
Pendidikan tak sekedar bertujuan untuk menghasilkan manusia yang cerdas atau “pintar” secara intelektual. Tapi, menghasilkan manusia yang berbudi pekerti tinggi, memiliki kekuatan spritual keagamaan, dan memiliki integritas yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Kecerdasan yang hanya diukur lewat angka-angka atau nilai saja bukanlah tujuan utama dari proses pendidikan. Pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana memanusiakan manusia, sehingga menjadi manusia yang beradab. Sungguh tepat kiranya jika tema Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 adalah “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Hanya dengan proses pendidikan seperti itulah, akan muncul SDM yang berkualitas, baik secara moral maupun intelektual.
Perwujudan dari hakikat pendidikan sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang terlibat dalam pelaksanaan proses pendidikan. Setiap komponen pendidikan harus dapat menjalankan fungsinya secara berkualias dan bersinergis. Satu di antara komponen tersebut adalah guru. Guru punya peranan penting dalam pelaksanaan proses pendidikan. Kenyataan itu pun tak dapat dielakkan lagi. Lihat saja, saat hasil belajar siswa rendah. Apalagi berhubungan dengan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN). Siapa yang paling utama disoroti atau bahkan disalahkan? Gurulah orang tersebut.
Guru berada pada barisan terdepan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Gurulah yang sehari-harinya melaksanakan proses pendidikan di sekolah. Ia berhadapan dan berinteraksi langsung dengan peserta didiknya. Tidak sekedar mengajar, tapi juga bertanggung jawab untuk mendidik, membimbing, dan membentuk pribadi peserta didik. Tak hanya itu. Gurulah orang yang memberikan kepada peserta didiknya suatu pusaka “yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan”, yaitu ilmu pengetahuan. Karena itulah, peranan guru tidak dapat disepelakan.
Berbagai persoalan tentang guru di Indonesia tidak pernah sepi dibicarakan. Selalu menjadi topik hangat yang tak pernah basi. Mulai dari persoalan kesejahteraan hingga kualitas guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Belum lagi menyangkut harkat dan martabat guru yang terkadang terpinggirkan. Hal-hal itu menjadi persoalan serius dan kompleks yang terus menyertai pelaksanaan proses pendidikan di Indonesia.
Persoalan kesejahteraan sudah lama menjadi persoalan yang terus didengungkan dan dituntut oleh guru. Kesejahteraan yang layak menjadi impian semua guru. Tapi, belum semua guru dapat merasakan itu. Gaji bulanan sebagai guru tidak dapat diandalkan dibandingkan kebutuhan hidup yang harus dicukupinya. Karena itu, ada sebagian guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Pekerjaan samping yang dilakoni itulah yang terkadang membuat guru tidak seratus persen menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengajar dan pendidik.
Begitupun dengan persoalan kualitas dalam menjalankah tugas dan tanggung jawabnya. Profesionalisme guru selalu menjadi sorotan berbagai kalangan. Jika mutu pendidikan bangsa rendah, gurulah orang yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. Guru dituding tidak profesional. Kenyataan itu pun tidak dapat dihindari. Meskipun bukan faktor guru saja yang menjadi satu-satunya penyebab.
Setidaknya, dewasa ini, kedua persoalan tersebut semakin sering diperdebatkan. Apalagi dengan lahirnya program sertifikasi guru pada tahun 2007. Program ini dianggap sebagai program yang dapat mengatasi persoalan kesejahteraan guru. Sekaligus untuk membuktikan kelayakan guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Guru yang layak itulah yang disebut guru profesional. Guru yang profesionallah guru yang berhak lulus sertifikasi. Sehingga, program sertifikasi merupakan program untuk mengatasai kedua persoalan tersebut secara bersama-sama. Peningkatan kesejahteraan guru dan peningkatan kualitas guru dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya.
Sama hal dengan program-program pemerintah lainnya. Selalu timbul sikap pro dan kontra dari berbagai pihak. Begitu pula dengan program sertifikasi. Program sertifikasi masih menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengganggap sertifikasi sebagai program yang sia-sia, karena tak akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Apalagi dengan berbagai kisruh yang muncul dalam pelaksanan sertifikasi. Ada juga yang optimis jika program sertifikasi setidaknya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan yang selama ini tak pernah berakhir. Misalnya saja, mengenai kesejahteraan guru.

Sertifikasi Guru Sebagai Solusi
Lahirnya program sertifikasi guru memberikan sejuta asa bagi para guru. Mimpi guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak seakan terjawab. Guru yang lulus sertifikasi akan mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya setara satu kali gaji pokok. Tapi, untuk mendapatkan itu, tidaklah mudah. Guru harus memenuhi persyratan tertentu dan mengikuti serangkaian proses penilaian. Guru harus dapat membuktikan kelayakannya dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya.
Munculnya program sertifikasi guru tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru. Program ini didasarkan atas pandangan bahwa peningkatan mutu guru akan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Jika itu benar-benar terlaksana, diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Sebagai suatu upaya peningkatan kualitas pendidikan, program sertifikasi guru tidak langsung lahir begitu saja. Bahkan, pada awalnya isu program sertifikasi dianggap sebagai khayalan saja. Hal ini menyusul dengan tidak adanya tindak lanjut dari dua Undang-Undang yang sebelumnya telah ada. Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Beberapa pasal dalam dua UU tersebut mengamanatkan pengakuan guru sebagai suatu profesi yang setara dengan profesi lain, seperti dokter ataupun akuntan. Seiringan dengan pengakuan guru sebagai suatu profesi, setiap guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi minimal dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar. Di sinilah, gema sertifikasi mulai terdengar.
Sekitar satu setengah tahun, program sertifikasi menjadi isu yang tak terealisasi. Tapi, pada tahun 2007, sertifikasi menjadi nyata. Menyusul dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan. Permendiknas ini menjadi angin segar bagi guru-guru se-Indonesia yang telah lama menanti kehadiran program sertifikasi. Gurupun coba menggapai mimpi lewat sertifikasi. Mimpi untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Sertifikasi disebut-sebut sebagai satu solusi untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini menyelimuti dunia pendidikan nasional. Terutama persoalan mutu pendidikan. Berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 dan UU No 14 Tahun 2005, pengakuan guru sebagai sebuah profesi akhirnya berimbas pada suatu kewajiban bagi guru untuk memiliki kualifikasi minimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk mendapatkan predikat berkualifikasi dalam bidangnya, guru diharuskan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik inilah yang membuktikan bahwa guru tersebut memiliki kelayakan dalam menjalankan profesinya.
Sertifikat pendidik didapatkan guru jika telah lulus dalam mengikuti program sertifikasi. Sertifikat pendidik ini menjadi bukti formal sebagai pengakuan profesionalitas guru. Dengan memiliki sertifikat tersebut, gurupun menyandang gelar sebagai guru yang profesional. Selain mendapat pengakuan tersebut, guru juga berhak mendapatkan tunjangan profesi satu kali gaji pokok. Melalui tunjangan profesi inilah diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan guru. Sehingga, dengan kesejahteraan yang layak, gurupun dapat meningkatkan kualitasnya dalam mengajar dan mendidik.

Memahami Sertifikasi Guru
Sejak kali pertama dilaksanakan pada tahun 2007, sertifikasi semakin menjadi primadona yang penuh daya tarik bagi guru. Guru-guru berlomba mengikuti sertifikasi. Lalu, apa sebenarnya sertifikasi guru itu? Mengapa harus ada dan untuk apa?
Pada hakikatnya sertifikasi guru adalah suatu proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru haruslah memenuhi standar profesional guru. Kewajiban bagi guru untuk profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik yang diberikan kepada guru merupakan sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi. Sertifikat itu sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi guru dilaksanakan dengan tujuan dan manfaat yang berorientasi pada perkembangan pendidikan nasional. Pada hakikatnya sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalitas guru.
Adapun manfaat sertifikasi guru adalah melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi guru, melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional, serta meningkatkan kesejahteraan guru. Di sinilah arti penting sertifikasi guru. Pekerjaan guru tak lagi dipandnag sebelah mata.
Sertifikasi guru penting dilakukan mengingat guru merupakan suatu profesi yang sama halnya dengan profesi yang lain. Sebagai suatu profesi, proses pembuktian profesionalisme perlu dilakukan. Pengakuan guru sebagai suatu profesi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang menyatakan hal tersebut adalah pasal 8. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11 ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
Dari pasal 8 UUGD tersebut, ada tiga hal penting yang berkaitan dengan profesi guru. Ketiga hal itu adalah memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan itu diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat (S1/D-IV). Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam UUGD Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Guru yang telah memenuhi persyaratan baik kualifikasi akademik maupun kompetensi, berhak mendapatkan sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik inilah yang wajib dimiliki seorang guru.
Sertifikasi guru juga memiliki sasaran penting. Sertifikasi guru pada dasarnya diperuntukkan bagi semua guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam UUGD Pasal 9, dan PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 28 ayat (2). Di dalam pasal-pasal tersebut disebutkan bawah kualifikasi minimal guru adalah sarjana atau diploma empat (S1/D-IV) yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Dengan demikian, sertifikasi berlaku untuk semua guru. Baik guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non-PNS/swasta).
Penyelenggara sertifikasi guru melalui pendidikan profesi dan uji kompetensi adalah perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dengan beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi guru prajabatan (calon guru) dan guru dalam jabatan yang sudah mengajar dilaksanakan melalui mekanisme yang berbeda didasarkan atas penghargaan terhadap pengalaman kerja guru. Sekarang ini, sertifikasi yang sudah berjalan adalah sertifikasi guru dalam jabatan.
Sertifikasi guru prajabatan (calon guru) dilakukan melalui pendidikan profesi yang diakhiri dengan uji kompetensi. Uji kompetensi melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai standar kompetensi. Ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup wawasan atau landasan kependidikan, materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi mata pelajaran, konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran. Ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktek pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional pada satuan pendidikan yang relevan.
Beban belajar pada pendidikan profesi berkisar antara 18 (delapan belas) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester. Penetapan beban belajar berdasarkan persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan pendidikan tempat penugasan. Bobot muatan belajar untuk lulusan program S1/D-IV kependidikan dititikberatkan pada penguatan pada kompetensi profesional. Sedangkan bobot muatan belajar untuk lulusan program S1/D-IV non kependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi pedagogik. Sertifikat pendidik bagi seseorang yang akan menjadi guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru. Di sinilah perbedaannya dengan sertifikasi guru dalam jabatan.
Lain halnya dengan sertifikasi guru prajabatan. Bagi guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik S1/D-IV dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio berdasarkan standar penilaian yang ditetapkan pemerintah. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, hasil karya perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Guru yang belum memenuhi standar penilaian portofolio akan diberikan pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Proses PLPG diakhiri dengan uji kompetensi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau lembaga lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi guru yang lulus uji kompetensi mendapat sertifikat pendidik. Bagi guru yang gagal uji kompetensi diberi kesempatan untuk mengulang hanya untuk bagian yang belum dikuasainya. Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya.
Pelaksanaan sertifikasi pendidik melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak yang terlibat adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Pendidikan Tinggi), Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Perguruan Tinggi penyelenggara sertifikasi guru. Pihak-pihak inilah yang diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Sehingga, sertifikasi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang diinginkan.
Dirjen Pendidikan Tinggi bertugas menyiapkan perangkat kebijakan berkaitan dengan penetapan perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi guru dan pelaksanaan pendidikan profesi, dan perangkat penilaian sertifikasi guru. Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sebagai pengelola guru, bertugas menyiapkan guru, menentukan skala prioritas guru peserta sertifikasi, dan menetapkan peserta sertifikasi guru berdasarkan seleksi internal. Perguruan Tinggi penyelenggara sertifikasi guru yang telah ditetapkan pemerintah sebagai penyelenggara sertifikasi guru bertugas melaksanakan proses penilaian guru secara objektif, transparan, dan akuntabel sesuai dengan standar dan indikator penilaian yang telah ditetapkan, dan mengeluarkan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan.

Sertifikasi Guru Membuka Ladang Bisnis Baru
Memang tak ada yang sempurna. Tak ada yang selalu berjalan mulus. Begitu juga dengan program sertifikasi guru. Di tahun yang keempat ini, pelaksanaan sertifikasi guru terus menuai kritik. Bahkan memunculkan masalah baru. Ada pihak yang dengan sengaja memanfaatkan program ini sebagai peluang untuk memperkaya diri.
Sejak munculnya program sertifikasi, banyak pihak yang pesimis jika program ini dapat meningkatkan mutu proses pendidikan. Profesionalisme guru yang coba ditingkatkan melalui program sertifikasi dianggap sia-sia belaka. Jika persoalan kesejahteraan—mungkin saja—dapat diperbaiki dengan adanya program ini.
Mulai dari proses pelaksanaan hingga berkaitan dengan motivasi utama guru dalam mengikuti program setifikasi, menjadi hal pelik yang terus dipersoalkan. Hal utama berkaitan dengan sistem penilaian melalui portofolio. Portofolio merupakan sistem penilaian dalam program sertifikasi yang mencakup 10 aspek penting. Kesepuluh aspek tersebutlah yang akan menjadi penilaian, sekaligus penentu apakah seorang guru dapat lulus sertifikasi atau tidak.
Permasalahannya adalah apakah portofolio yang berupa dokumen itu dapat menunjukkan bahwa seorang guru profesional. Menurut Profesor T. Taka Joni, portofolio itu adalah salah satu solusi yang diambil pemerintah dalam meneropong tingkat kualitas dan profesionalitas yang berupa rekam jejak guru. Dia tidak sependapat dengan hal tersebut. Karena, rekam jejak tidak sepenuhnya menggambarkan tingkat profesionalitas.
Sampai saat ini, masalah penilaian dengan portofolio ini masih menjadi pro dan kontra. Para praktisi pendidikan banyak yang berpendapat bahwa lulus sertifikasi bukanlah jaminan bahwa seorang guru dapat dikatakan profesional. Melalui penilaian secara portofolio belumlah dapat menggambarkan kualitas guru secara menyeluruh. Hal yang terpenting adalah kemauan guru untuk mengembangkan dirinya. Guru harus terus mengasah kemampuan dan menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan profesinya sebagai pengajar dan pendidik.
Sementara itu, ada kesan jika motivasi utama guru untuk mengikuti sertifikasi adalah motivasi untuk sejahtera saja. Seperti hasil kajian yang dilakukan Prof. Dr. Baedhowi, M.Si. “Dari kajian yang dilakukan, ternyata motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapatkan tunjangan profesi,” ungkapnya dalam pidato pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, seperti yang dirilis oleh Website Pendidikan Network Indonesia.
Motivasi yang sama ditemukan Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian serupa di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008. Kajian ini melibatkan responden 2.600 guru yang belum mengikuti sertifikasi dan 2.600 guru yang telah mengikuti sertifikasi. “Alasan mereka bervariasi, secara umum motivasi mereka mengikuti sertifikasi ialah finansial,” kata Baedhowi.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Ketua Tim Nasional Pengembang Sertifikasi Guru, Dirjen Dikti, Depdiknas Prof, Dr H Akhmad Muqadis. Ia mengungkapkan bahwa ada kesalahan persepsi dari guru dalam menilai sertifikasi. “Masih ada lagi, belum terbangunnya kultur belajar guru dengan baik, sertifikasi dipersepsikan sebagai peningkatan kesejahteraan sekaligus diidentikan dengan gaji, bukan kemudahan pengembangan karir dan lainnya,” ungkapnya.
Permasalahan sertifikasi tidak hanya sampai di situ saja. Banyak hal yang perlu direfleksi dan dievaluasi lagi. Seperti dengan merebaknya isu komersialisasi sertifikasi. Sertifikasi dimanfaatkan sebagian orang untuk kepentingan pribadi. Utamanya untuk memperkaya diri. Itulah isu yang berkembang saat ini. Istilah makelarpun mulai berhembus. Tepatnya istilah“Marpolo”, Makelar Portofolio.
Gejala komersialisasi sertifikasi memang telah lama berhembus. Misalnya saja, semakin banyaknya pelaksanaan seminar dengan iming-iming sertifikat. Sertifikat itulah yang dikejar para guru untuk menambah nilai portofolio. Jika dilihat, salah satu aspek dalam penilaian secara portoflio adalah keikutsertaan dalam forum ilmiah. Keikutsertaan dalam forum ilmiah dibuktikan dengan adanya sertifikat. Sertifikat inilah yang harus dimiliki guru.
Mengenai komersialisasi sertifikasi ini juga pernah diungkapkan oleh Dr. Aswandi, Wakil Ketua Sertifikasi Guru Rayon 20 di Surat Kabar Pontianak Post, tanggal 22 Januari 2010. Menurut Aswandi, gejala komersialisasi sertifikasi guru itu ada. “Banyak laporan soal itu. Di beberapa daerah, komersialisasi itu sangat merugikan guru,” katanya. Oleh karena itu, pihaknya memperketat dosen yang telah ditetapkan sebagai asesor untuk menjadi narasumber dalam sebuah seminar yang bertemakan pendidikan. Makanya, pihaknya meminta guru mewaspadai pelaksanaan seminar pendidikan yang diimingi-imingi sertifikat untuk menambah nilai portofolio.
Maraknya pelaksanaan seminar pendidikan menyusul adanya program sertifikasi memang tak dapat dipungkiri. Guru berlomba-lomba mengikuti seminar. Ada sebagian guru tak perduli dengan berapapun biaya pendaftaran yang ditetapkan oleh pihak penyelenggara seminar. Yang penting adalah sertifikatnya. Sertifikat untuk mencukupi persyaratan penilaian portofolio.
Selain tak mau tahu harga yang dipatok panitia penyelenggara seminar, sebagian guru juga tidak mau tahu materi apa yang akan dibicarakan dalam forum itu. Kenyataan ini tentu sangat buruk bagi perkembangan dunia pendidikan. Seharusnya, dengan mengikuti forum-forum itu, guru dapat menambah pengetahuan, sehingga dapat berdampak pada peningkatan kualitasnya sebagai guru. Tapi, terkadang guru tak mementingkan hal itu. Mendapatkan sertifikat, itulah tujuan utamanya. Dalam hal inilah pihak-pihak tertentu coba mengambil kesempatan. Tepatnya, kesempatan dalam kesulitan. Meraup untung yang banyak melalui pelaksanaan seminar menjadi tujuan utama.
Parahnya lagi, ada guru yang tak mau sulit atau sibuk dalam mengikuti program sertifikasi. Jalan pintas pun diambil. Banyak ditemukan kejanggalan saat dilaksanakan penilaian portofolio oleh tim asesor. Seperti bukti fisik dokumen portofolio yang tidak benar, misalnya bukti fisik diklat yang discan, RPP yang hanya dicopy paste, bahkan disinyalir ada ijazah yang “aspal” atau penilaian dari atasan hanya sekadar formalitas. Inilah suatu bukti ketidakjujuran. Suatu fenomena yang sangat menyedihkan bagi dunia pendidikan bangsa Indonesia. Bagaimana seorang guru harus mengajar dan mendidik peserta didiknya, jika ia saja tak memiliki kejujuran dan pikiran yang positif dalam mengikuti program seritifikasi.
Praktik jalan pintas inilah yang memunculkan indikasi ketidakseriusan beberapa guru dalam mengikuti progam sertifikasi. Guru-guru tak mau repot. Meminta jasa orang lain untuk membuat dan menyusun portofolio menjadi opsi akhir. Keinginan guru untuk menempuh jalan pintas, berbanding lurus dengan kemauan beberapa pihak untuk memberikan jasa. Ada gejala jika beberapa pihak tertentu bersedia menyediakan jasa untuk melayani kepentingan guru-guru seperti itu. Dalam hal inilah, sertifikasi menjadi ladang bisnis baru dan sangat menjanjikan.
Jika gejala penyediaan jasa pembuatan portofolio itu memang benar adanya, ini merupakan sebuah praktik yang sangat memilukan sekaligus memalukan. Peningkatan kualitas guru melalui program sertifikasi hanya akan menjadi sebuah wacana kosong. Yang ada malah timbul berbagai persoalan baru menyangkut guru. Persoalan-persoalan baru tersebutlah yang seharunya menjadi bahan evaluasi dari para pengambil kebijakan. Bagaimana mengupayakan suatu program yang benar-benar dapat meningkatkan kualitas guru, sekaligus kesejahteraan hidup guru. Tanpa ada pihak-pihak tertentu yang merasakan dirugikan dengan adanya program tersebut. Apalagi harus menimbulkan masalah yang lebih pelik lagi.

Persoalan Lain
Persoalan yang muncul dari program sertifikasi tak hanya sebatas tentang portofolio saja. Ada berbagai persoalan lain yang muncul. Persoalan-persoalan yang sepantasnya menjadi perhatian dan sebagai bahan pertimbangan. Sehingga, di masa yang akan datang persoalan itu tak terjadi lagi.
Pertama, persoalan tentang guru yang harus kuliah lagi. Implementasi UU No. 14 tahun 2005 menghadapi beberapa persoalan di lapangan. Tak hanya tentang portofolio yang harus dibuat oleh guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Tapi, menyangkut kualifikasi akademik. Seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik S1/D.IV. Kualifikasi itu memang sesuatu yang ideal untuk meningkatkan kualitas guru. Tapi, kendalanya, persyaratan itu juga diberlakukan bagi guru juga yang telah lama mengajar.
Bagi guru yang tak muda lagi, tentu hal itu akan menjadi persoalan bagi mereka. Persoalan waktu, tenaga, dan biaya. Kadang kala untuk mengikuti pendidikan atau kuliah S1, guru justru tidak dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugas dan tangung jawabnya. Konsentrasi guru terbagi-bagi. Tugas mengajar dan mendidik sering ditinggalkan. Mereka harus memikirkan kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang tak sedikit jumlahnya. Di sinilah beban yang harus dipikul guru.
Belum lagi persoalan biaya. Biaya yang dikeluarkan guru untuk menempuh pendidikan S1 tak sedikit jumlahnya. Meski ada beasiswa yang diberikan pemerintah, tapi tak semua guru mendapatkan itu. Beasiswa itu pun kadang-kadang tak jelas prosedur penyalurannya. Agar dapat menempuh pendidikan lagi, guru harus ekstra pandai dalam mengelola keuangannya. Untuk kuliah dan untuk kebutuhan hidup keluarganya.
Kedua, persoalan guru PNS dan non-PNS. Dikotomi antara guru PNS dan non-PNS pun jadi hal pelik dalam pelaksanaan program sertifikasi. Ada kencenderungan bahwa sertifikasi guru hanya diprioritaskan bagi guru yang berstatus PNS. Guru-guru yang berstatus honor terkesan diabaikan. Padahal tugas dan tanggung jawab keduanya sama. Hanya status saja yang membedakannya.
Ketentuan kuota sertifikasi 75 % untuk PNS dan 25% untuk swasta sebetulnya semakin mempertegas gejala dikotomi antara guru PNS dan non-PNS. Jika sertifikasi memang dilakukan untuk mengukur kompetensi atau kualitas guru, maka perbedaan itu selayaknya tidak ada. Bukankah semua guru berhak ikut sertifikasi, asalkan mampu mencukupi persyaratan yang telah ada. Seharusnya ada keseimbangan dan proporsi yang sama. Jangan sampai dengan kuota seperti itu timbul kecemburuan sosial antara guru PNS dan non-PNS.
Guru non-PNS pun merasa semakin terpinggirkan. Tak kala, jumlah jam mengajar mereka dikurangi. Hal itu dilakukan agar para guru yang berstatus PNS dapat memenuhi 24 jam mengajar per minggu, sebagai syarat untuk mengikuti proses sertifikasi. Kenyataan ini tentu sangat merugikan guru non-PNS.
Padahal, jika dipahami, sertifikasi guru punya arti yang penting bagi guru non-PNS. Apalagi bagi guru honor yang sudah tak mungkin diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dengan mendapatkan sertifikat pendidik, tentu akan menjadi jaminan perbaikan kesejahteraan bagi para guru seperti itu. Jaminan itulah yang setidaknya dapat memotivasi guru-guru seperti itu untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuannya dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sehari-harinya.
Ketiga, persoalan penetapan kuota sertifikasi. Penetapan kuota sertifikasi guru merupakan proses awal dari pelaksanaan sertifikasi guru. Secara nasional, kuota sertifikasi ditentukan oleh Dinas Pendidikan Nasional. Karena sasaran sertifiasi terbatas, maka perlu disusun kuota sertifikasi untuk setiap provinsi dan kabupaten atau kota. Dalam proses penentuan kuota tiap provinsi dan kabupaten atau kota inilah sering muncul beberapa permasalah. Ada gejala ketidaksamaan pemahaman dalam penetapan kuota maupun peserta sertifikasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten. Padahal aturan itu sedah secara ada dalam Pedoman Penetapan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksana Sertifikasi Guru. Belum lagi masalah kurangnya transparansi dalam proses penentapan calon peserta sertifikasi.
Dalam proses penetapan peserta sertifikasi pun muncul indikasi penyimpangan. Seperti pemilihan yang tidak transparan dan ada peserta dengan masa kerja lebih pendek dari yang belum menjadi peserta. Ada juga guru yang menjadi peserta setelah melakukan pendekatan terhadap Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Di sinilah muncul praktik yang buruk. Praktik yang menggambarkan ketidakjujuran dan budaya yang korup.
Kesalahan besar juga terjadi jika penetapan sertifikasi guru dilakukan melalui kuota per sekolah. Ketidakadilan akan muncul dalam proses penetapan seperti itu. Menurut pengamat pendidikan, Prof. Dr. Wayan Maba, proses penetapan nama-nama guru peserta sertifikasi tidak sama dengan kegiatan bagi-bagi sembako. Sebuah kekeliruan besar jika Dinas Pendidikan (Disdik) kabupaten/kota selaku pihak yang berwenang menetapkan peserta sertifikasi guru itu membagi-bagi kuota peserta sertifikasi itu secara merata kepada sekolah. dengan mengabaikan urutan masa kerja/pengalaman mengajar, usia, pangkat/golongan, jabatan/tugas tambahan dan prestasi kerja. Artinya, kuota yang diterima antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya tidak mutlak harus sama.
Prof. Dr. Maba meminta Disdik kabupaten/kota taat dan tunduk dengan pedoman yang dikeluarkan Depdiknas. Dia mengingatkan, penetapan peserta sertifikasi itu tidak mengenal istilah kuota per sekolah. Pasalnya, ukuran senioritas guru di sebuah sekolah jelas tidak sama dengan di sekolah lain. "Di sekolah A misalnya, bisa jadi guru yang dianggap senior itu memiliki masa kerja di atas 30 tahun. Tetapi di sekolah lainnya, guru yang paling senior hanya memiliki masa kerja 15 tahun. Jadi, pola penetapan peserta sertifikasi guru yang meniru pola pembagian sembako alias sama rata itu jelas tidak mencerminkan prinsip keadilan,"ungkapnya seperti dilansir oleh Bali Post Online.
Keempat, timbulnya kecemburuan sosial. Inilah dilema yang harus dihadapi. Kecemburuan sosial karena program sertifikasi tak hanya terjadi antara guru PNS dan non-PNS. Tapi juga terjadi antara sesama guru PNS, yaitu antara guru yang sudah sertifikasi dan belum sertifikasi. Muncul kecemburuan. Bahkan penurunan efektivitas kinerja. Mungkin saja, muncul rasa rendah diri dari guru yang belum sertifikasi. Tapi, jika guru yang memiliki komitmen yang kuat untuk mengabdi, tak akan ada kata cemburu. Apalagi rendah diri. Guru yang benar-benar mengabdi, tetap akan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional.
Itu hanyalah sebagian dari persoalan yang muncul dan menyertai proses sertifikasi. Masih banyak persoalan lain. Persoalan yang begitu kompleks dan dan tak mudah untuk diselesaikan. Perlu kesadaran bersama, bahkan kerja sama yang sinergis dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan tersebut. Refleksi dan evaluasi secara kontinus pantas untuk dilakukan. Hanya dengan kejujuran dan kemauan untuk maju dan memperbaiki dirilah, kunci utama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.



Tidak ada komentar: