Rabu, 04 Agustus 2010

Secarik Ironi di Tengah Kepungan Sawit



“Kami ini seperti dibunuh secara perlahan-lahan. Lahan habis. Sungai kering. Untuk ladang dan ngaret saja tak ada lagi. Kami yang punya lahan, malah kami yang harus hidup seperti ini,” kata Acan, Kepala Adat Sungai Rosat kepada KR. Hidup dalam kepungan sawit, membuat masyarakat harus berhadapan dengan berbagai persoalan hidup. Jeritan-jeritan mereka akan sebuah pertolongan seakan tak terdengar, terhalang oleh luasnya perkebunan sawit. Kini, mereka yang harus menangung kesengsaraan itu.
Sekilas, tak ada bedanya kampung Sungai Rosat dengan kampung-kampung lainnya. Suasana kehidupan masyarakat pedesaan begitu terasa. Mulai dari keakraban, keramahan, hingga kekuatan nuansa alam yang begitu memikat. Tapi, di balik semua itu. Ada sebuah sisi yang seakan selalu tersembunyi dan tak berbunyi. Sebuah bongkahan besar, pemicu berbagai persoalan kehidupan. Perkebunan sawit yang dielu-elukan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, tak pernah ada nyatanya. Malahan, jadi penghimpit kehidupan. Itulah yang terjadi di Sungai Rosat. Sawit tak hanya telah mengepung kampung, tapi telah merenggut sebagian dari kehidupan mereka.
Sungai Rosat adalah dusun yang berada dalam wilayah Desa Semerangkai, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Letaknya dari pusat kota cukup jauh. Meski jauh, kampung itu tak terisolasi. Jalur transportasinya telah tersedia. Untuk datang ke tempat itu dapat menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Tapi, belum ada transportasi umum roda empat yang datang ke wilayah itu.
Perjalanan ke Sungai Rosat terasa melelahkan. Selain jauh, kondisi jalan mensyaratkan pengguna jalan memiliki ketahanan fisik yang lebih. Apalagi saat memasuki jalan perkebunan sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII (Persero). Bergelombang dan sebagian besar hanya mengandalkan bahan dasar tanah, menjadi gambaran utuh kondisi jalan di wilayah itu. Sebuah kondisi yang memperlihatkan kurangnya perhatian dan perawatan jalan. Padahal, jalan itu tak hanya untuk kepentingan perusahaan. Tapi juga menjadi nadi kehidupan masyarakat yang tinggal di Sungai Rosat dan sekitarnya.
Sepanjang perjalanan menuju kampung Sungai Rosat, hamparan sawit menjadi suguhan pemandangan yang tak biasa. Hampir di samping kiri dan kanan jalan, hanya sawit yang dapat ditemui. Pemandangan itu semakin kental. Tak kala beberapa truk mondar-mandir, mengangkut ribuan tandan sawit. Tandan sawit itu diangkut dan kemudian dibawa ke pabrik pengolahan minyak sawit (PMS). Di wilayah itu ada PMS Rimba Belian.
Lajunya truk-truk pengangkut buah sawit, membuat jalan begitu berdebu. Walaupun di musim hujan, tapi debu-debu tak henti bertebaran. Tak dapat dibayangkan bagaimana amuk debu-debu saat musim kemarau. Debu-debu itu tak hanya telah mengganggu kenyamanan perjalanan, tapi akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan para pengguna jalan. Apalagi bagi masyarakat yang mendiami wilayah sekitar perkebunan. Contohnya saja masyarakat Sungai Rosat. Meski masyarakatnya telah terbiasa, tapi keluhan akan keadaan itu terus terbesit.
Memasuki kampung Sungai Rosat, hamparan pohon sawit seakan tak pernah habis. Sekilas, sawit-sawit itu seperti telah bercengkrama dengan masyarakat setempat. Sawit-sawit tumbuh dan mengisi setiap sisi lingkungan. Di belakang, di samping, dan di halaman depan rumah. Hampir tak ada lahan kosong yang tak ada sawitnya. Pohon sawit seakan dengan sombong berdiri, menegaskan kekuasaannya terhadap masyarakat pemilik lahan.
Perluasan areal perkebunan sawit belakangan ini, memang telah membuat masyarakat Sungai Rosat kehilangan lahan pribadinya. Itu terjadi sejak lama. Warga tak menyangka kondisi akan terjadi separah ini. Kondisi itu yang akhirnya membuat warga terbiasa. Terbiasa dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Tak hanya lahan yang hilang. Masih banyak hal lain yang harus dialami warga. Penderitaan dan kesengsaraan, terus menghantui hidup mereka. Rasa itu seakan tak pernah lekang oleh waktu. Terus menghantui, dan berharap akan ada jalan keluar di kemudian hari.

Sungai yang Mengering
Jangan kira krisis air hanya terjadi di kota-kota besar saja. Di perkampungan yang masih lekat dengan nuansa alam, air bersih saja begitu sulit dicari. Baik di musim kemarau maupun musim hujan. Keadaan ituh yang sedang terjadi di kampung Sungai Rosat. Sungai-sungai di sekitar kampung telah habis mengering. Kini, masyarakatnya harus susah payah mencari air bersih. Baik untuk mandi, maupun mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hujan baru saja selesai mengguyur bumi. Tapi, langit masih mendung. Begitupun angin, berhembus dengan kencang. Tampaknya, akan turun hujan susulan. Seorang ibu terlihat sibuk menyiapkan ember, sebagai penadah air hujan. Sesekali, ibu itu memandang ke langit. Dengan sebuah harapan akan turun hujan lagi. Ibu itu,  contoh dari sebagian besar masyarakat Sungai Rosat yang begitu berharap memperoleh persediaan air bersih yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  
Sementara itu, di sebuah rumah di ujung kampung, seorang pria terlihat sedang menambatkan ayam. Di sekitar rumah pria itu, tampak berkeliaran dengan bebas beberapa ekor babi. Maklum, di Sungai Rosat, babi peliharaan warga masih dilepas bebas. Babi dibiarkan berkeliaraan mencari makanannya sendiri, meskipun di sekitar kampung tak ada lagi hutan yang lebat. Yang ada, hanya hamparan pohon sawit.
Pria yang sedang menambatkan ayam itu ialah Kocin Nirwandi. Sehari-harinya ia biasa disapa Kocin. Fisiknya masih terlihat segar dan kuat. Di beberapa bagian tubuhnya terlukis beberapa motif tato. Tato-tato itu membalut otot-ototnya yang perkasa. Sekilas, ia memang terlihat sedikit menyeramkan. Tapi, nyatanya ia tidak seseram yang dikira. Ia, sosok pria yang penuh dengan keramahan. Sebuah cerminan sikap masyarakat pedesaan yang masih kental dengan unsur kekerabatannya.
Berbincang dengan Kocin begitu mengasyikkan. Meski ia sebelumnya tak pernah tahu asal usul orang yang menjadi lawan bicaranya, tapi tak sedikitpun tampak hasrat ketakutan dari dirinya. Melalui dialah, KR mendapatkan tumpangan sekaligus teman bincang selama berada di Sungai Rosat. Ia pun rela meluangkan waktunya untuk memandu KR ke beberapa tempat.
Kocin sudah bekeluarga. Di rumah dengan interior yang sederhana, ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Sehari-harinya ia bekerja sebagai karyawan di perkebunan sawit PTPN XIII (Persero). “Hari-hari saya bekerja di perkebunan,” katanya. Bekerja di perkebunan sawit milik PTPN XIII (Persero) memang telah lama ia lakoni. “Sudah lama saya kerja di perkebunan. Hampir tujuh tahun,” lanjutnya. Tak ada pilihan lain bagi Kocin, dengan pekerjaan itulah ia dapat menghidupi keluarganya. Meski, gajinya tak dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. “Sudah lama saya kerja, tapi gaji tetap seperti ini,” kata Kocin sambil menunjukkan nilai nominal gajinya yang tertera di surat kontrak karyawan miliknya.
Sudah hampir dua minggu ini ia tidak pergi bekerja. Itu karena ada urusan yang harus ia kerjakan. Maklum, ia tergabung dalam struktur tim yang dibentuk warga beberapa waktu yang lalu. Dalam tim itu, ia punya tanggung jawab yang besar. Karena itu, ia tak ingin melalaikan tugas dan kepercayaan warga kepadanya. Meski gajinya harus dipotong, karena tak bekerja. “Tak kerja, gaji dipotong,” kata Kocin.
Tim itu, berkepentingan untuk menyiapkan rencana pembangunan pipa air yang akan dialirkan dari bukit ke kampung. “Warga kampung kami akan membuat pipa panjang, untuk mengalirkan air dari bukit ke perkampungan,” kata Kocin. Nantinya, di setiap rumah warga akan ada pipa-pipa air. Sehingga, warga mudah untuk mengambil air.
Rencana pembangunan pipa air itu sudah lama didengungkan. Warga mendapatkan bantuan dari salah satu bank dunia. “Kami mendapat bantuan. Selain itu, setiap kepala keluarga juga mengumpulkan uang seadanya untuk keperluan mengurus administrasi dan pembuatan pipa nantinya,” terangnya. Dari beberapa donatur pun warga mendapatkan bantuan. “Kami buat proposal. Kami minta kepada para pejabat dan orang-orang perusahaan,” katanya. Kocin mengakui, selama ini warga tidak mendapatkan perhatian yang layak dari perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi di sekitar kampung. “Mana ada bantu kita, paling buat jalan ini saja,” jawab Kocin saat ditanya terkait bantuan dari pihak PTPN XIII kepada warga Sungai Rosat.  Sesuai rencana, bulan Agustus 2010 ini, pembangunan pipa itu sudah dimulai. Warga kampung akan bahu membahu dalam proses pembangunan itu.   
Pembangunan pipa air itu penting artinya bagi warga Sungai Rosat. Karena, biasanya warga harus pergi mencari air bersih ke gunung Dekan. Letak gunung itu pun tak dekat. Warga yang punya motor seperti Pak Kocin saja mengeluhkan jauhnya tempat itu. Apalagi yang tidak ada kendaraan. Akan begitu terasa kesusahannya. “Kami ngambil air di gunung Dekan. Untung saya punya motor. Sekali pergi, saya bawa dua galon air. Kemudian, saya harus balik lagi. ” ujar Kocin.
Tak hanya sulit mencari air bersih untuk keperluan sehari-hari, warga Sungai Rosat juga kesusahan mencari tempat yang dekat untuk mandi. Jika ingin mandi, mereka harus pergi ke Sungai Rurut. Untuk datang ke tempat itu, warga yang tak punya sepeda motor harus jalan kaki. Waktu yang ditempuh lumayan lama. Paling cepat, setengah jam. “Yang ada motor nyaman, yang tak punya motor harus jalan kaki,” kata Kocin. Apalagi dengan medan jalan perkebunan yang tak bersahabat. Begelombang dan penuh dengan debu.
Kondisi sulitnya mendapatkan air bersih, sudah beberapa tahun ini warga kampung Sungai Rosat alami. Menariknya, meski kampung ini bernama Sungai Rosat, tapi tak banyak lagi sungai yang layak untuk dipakai. Selain, ada yang tercemar. Sungai-sungai di kampung itu juga telah mengering. “Di sini, sungai kita kering,” kata Kocin di tengah perjalanan menyusuri sungai-sungai dikatakannya kering. Kocin menyebutkan bahwa ada satu sungai yang letaknya di belakang perumahan warga. Sungai itu anak Sungai Empanan. Kini, sungai itu tak layak lagi untuk digunakan.
Selain kering, sungai-sungai yang ada di sekitar perkebunan juga terancam akan pencemaran. “Sungai-sungai di sini ada yang sudah tercemar. Dulu tanggul limbah pabrik sawit pernah jebol, sungai kita habis kena,” kata Kocin. Pencemaran sungai tentu tak hanya terjadi karena limbah pabrik. Tapi juga karena faktor pemakaian zat-zat peransang pertumbuhan sawit. Seperti zat pestisida dan bahan kimia lainnya. Bayangkan, dengan ribuan hektar lahan perkebunan sawit, berapa banyak juga zat-zat berbahaya itu digunakan.  
Dulu, warga tak kesusahan untuk mandi dan mencari air bersih. Dengan letak yang tak jauh, Sungai Empanan menjadi andalan warga. Tapi, itu dulu. Sejak perkebunan sawit masuk dan terus meluaskan lahannya, kondisi krisis air mulai terasa. Sungai-sungai mengering. Rumput-rumput tandus. Warga pun harus rela pergi mandi dan mengambil air bersih ke tempat yang jauh letaknya dari perkampungan. “Sawit telah merusak lingkungan kami. Sungai-sungai habis kering,” kata Kocin sambil membasuh tangannya di sisa-sisa genangan air sungai yang makin mengering. Kocin juga sempat bercerita, jika dulunya di sungai itu warga dengan bebas berenang. “Kalau mau mandi, dengan mudah kami datang ke sini. Anak-anak pun bebas mandi dan berenang. Semuanya terasa mudah,” kenang Kocin dengan tatapan rtuju pada dua orang anak yang sedang mandi. Dua anak itu tampak dengan riang bermain, memanfaatkan genangan air yang tersisa.
Dengan kondisi yang ada, warga coba bertahan. Melalui semuanya dengan penuh ketulusan, meski penuh dengan ketersiksaan. “Warga jadi terbiasa dengan kondisi ini,” kata Kocin. Kocin mungkin hanya sebagian dari warga kampung Sungai Rosat yang tak terima dengan keadaan itu. Dari tutur katanya, sunggu terasa jika ia sangat menyesali keadaan ini. Ingin berbuat, tapi semuanya telah terjadi. Warga tersiksa, tapi perkebunaan sawit itu tak mungkin dengan cepat dan mudah untuk digantikan dengan pohon-pohon karet dan lainnya. Kini, warga coba bertahan dan menghadapi kondisi yang ada dengan ketulusan. Sambil berharap tak ada lagi perluasan lahan perkebunan sawit.

Terampasnya Sumber Penghasilan
“Jangankah lahan untuk berladang, untuk bikin WC di belakang rumah saja hampir tak ada lagi. Semuanya sudah penuh dengan sawit. Setiap bulanpun kita harus beli beras,” kata Acan, Kepala Adat kampung Sungai Rosat. Itulah yang saat ini dialami masyarakat Sungai Rosat. Budaya berladang seakan tinggal kenangan. Tak ada lagi lahan kosong yang dapat dimanfaatkan. Keadaan itu juga berpengaruh pada penghasilan warga.
Malam telah datang. Kocin terlihat sedang menyalakan api pelita. Pelita-pelita itu kemudian ditaruh di beberapa sudut ruangan rumahnya. Dari pelita itulah, bersinar cahaya-cahaya yang menerangi rumahnya. Maklumlah, di kampung Sungai Rosat belum ada listrik negara ataupun desa. Kebanyakan, bagi warga yang mampu, dapat membeli mesin listrik pribadi. Sementara, warga yang tak mampu tetap mengandalkan pelita sebagai penerang utama. “Yang beduit, beli mesin sendiri. Yang tak mampu seperti saya, begelap seperti ini,” kata Kocin. Aspirasi warga akan kebutuhan listrik ini telah lama didengungkan. Warga berharap, akan adanya listrik desa.
Jarum jam bergerak mendekati angka 7.00. Kocin dan KR pergi ke rumah Kepala Adat Sungai Rosat, Marsan. Letak rumahnya tak begitu jauh dari rumah Kocin. Di rumah Marsan, listrik bersinar terang. Ia punya mesin listrik pribadi. Ada beberapa warga yang mengambil aliran listrik dari rumahnya.
Di rumahnya itu, Marsan banyak berbincang tentang kondisi nyata yang dialami masyarakat Sungai Rosat saat ini. Marsan yang kerap disapa Acan, bercerita dengan penuh keterbukaan. Tak ada yang ditutupi. Dengan lantang ia berbicara, tentang perkebunan sawit yang mengepung kampung Sungai Rosat. Meski raganya terlihat semakin menua. Tapi, semangat dan usaha keras untuk mendapatkan kembali hak mereka yang telah terampas, begitu besar. Sebuat saja, hak akan lahan yang telah habis terpakai untuk perkebunan sawit PTPN XIII (Persero).
Acan menuturkan begitu sengsaranya warga Sungai Rosat, harus hidup di tengah kepungan sawit. Hampir dalam berbagai hal, warga merasa dicurangi oleh janji yang semula ditawarkan oleh pihak yang mengaku ingin membantu. Sekarang, warga yang harus menanggung dan merasakan kesengsaraan itu. Bayangkan, warga kampung seperti Sungai Rosat tak dapat lagi berladang. Lahan kosong untuk berladang sulit lagi untuk dicari. Sebuah kondisi yang tak lazim terjadi di wilayah pedesaan.
“Oi, lebih parah,” jawab Acan saat ditanya terkait hilangnya kebiasaan berladang di Sungai Rosat. Warga terpaksa harus membeli beras tiap bulannya. “Sekarang semuanya main beli. Kalau dulu ndak. Kita panen, dapat padi,” katanya. Saat ini, masa-masa berladang tinggal jadi kenangan. Apalagi, dulu setiap musim berladang tiba dan berakhir, masyarakat dengan meriah membuat pesta. Pesta sebagai wujud syukur. “Dulu, kalau waktu sudah panen, ramai orang pesta. Sampai-sampai pesta dua hari dua malam. Pokoknya ramai,” kenangnya.
Tak adanya lahan untuk berladang, tentu bukan kondisi yang mudah untuk dihadapi. Tapi, bagaimanapun, semuanya sudah terjadi. Lahan warga telah habis terpakai untuk perkebunan sawit. Semula, lahan itu masih ada. Sedikit demi sedikit pihak perusahaan meluaskan lahan perkebunannya. Padahal dulunya, ada perjanjian yang dibuat masyarakat terkait penggunaan lahan. Tapi, semuanya telah diingkari. Masyarakat pun tak dapat berbuat banyak. “Semuanya habis. Gunung telah habis. Yang ada sawit melulu,” kata Acan. Ia menyebutkan, ada beberapa gunung yang habis tertanam sawit. Seperti Gunung Dekan dan Terentang.
Hilangnya lahan itu juga berdampak pada penghasilan warga. Seperti, tak ada lagi lahan karet. Dulu warga masih bisa ngaret. Bahkan, kebanyakan warga menjadikan karet sebagai penghasilan utama. Seperti yang diungkapkan Acan. Dengan karet, warga dapat memperoleh penghasilan yang memadai setiap harinya. “Coba kalau getah. Jika 10 kg sehari, kita sudah dapat Rp 124.000. Kerja setengah hari. Siangnya berladang, dapat padi,” katanya. Tapi, apa yang diungkapkan Acan kini tinggal menjadi sebuah mimpi. Karet-karet milik warga kini tinggal sedikit yang ada. Semuanya telah tergantikan dengan sawit.
Berkaitan dengan penghasilan. Sebetulnya warga punya lahan sawit. Mereka mengolah, merawat, dan memanennya sendiri. Tapi, seberapalah luas lahan itu. Ada yang punya tiga kapling, dua kapling, dan satu kapling. “Punya saya hanya satu kapling. Itupun sisa lahan yang dulu tidak diserahkan ke perusahaan,” tambah Kocin. Masalah lain muncul lagi, tatkala warga perlu uang banyak untuk mengelola lahannya. Dari itulah dibentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Warga bisa pinjam uang, sebagai modal. Tapi, lama ke lamaan, warga juga mulai mengeluh dengan sistem pembayaran kredit di KUD. Setiap panen, selalu dipotong 30% dari jumlah keseluruhan hasil panen. Warga sering mempertanyakan, jumlah nominal yang sebenarnya dipotong. Mengapa setiap bulan, selalu dipotong 30%. Warga merasa dirugikan dengan sistem pemotongan seperti demikian. “Kami tidak setuju dengan sistem pemotongan seperti itu,” kata Kocin.
Penghasilan warga dari sawit tidaklah seberapa. Itu yang menjadi keluhan mereka. “Sekarang apa. Sawit. Harganya berapalah, Rp 1.300. Dipotong, bersihnya dapat Rp 700. Kalau satu bulan dapat satu ton, berarti kita dapat Rp 700.000. Cukupkah untuk makan keluarga satu bulan. Belum lagi, kalau dibagi tiga keluarga. Mana mau hidup!” kata Acan. Dalam hal inilah, warga sangat tidak setuju. Warga kerja keras, tapi menerima hasil yang tak sesuai dengan harapan.
Apa yang dikatakan Acan tidaklah berlebihan. Kini, mata pencaharian warga kampung Sungai Rosat sangat tidak menjanjikan. Dengan uang Rp 700.000 per bulan itu, warga harus pandai-pandai mengelolanya. Jika tidak pandai-pandai, wabah kelaparan akan segera mendera. “Jangan pikir kami di sini baik-baik saja. Untuk perbaiki rumah saja, kami harus pinjam uang di Credit Union (CU). Kalau tidak begitu, mana kami bisa,” tambah Acan.
Dari kebutuhan hidup yang paling sederhana, warga merasa kesulitan untuk memenuhinya. Setiap harinya, warga harus membeli lauk-pauk dari penjual sayur-mayur yang datang ke kampung. Lagi-lagi, warga harus mengeluarkan uang. Keadaan itu mungkin tidak akan terjadi jika hutan-hutan di sekitar perkampungan masih ada. Dan sungai-sungainya masih layak untuk digunakan. Jika masih ada hutan dan lahan, warga tentu tak perlu mengeluarkan uang untu membeli sayur. Warga cukup berkebun atau rajin-rajin mencari ke hutan. Begitupun jika sungai masih mengalir dengan normal. Warga dapat langsung mencair ikan. “Setiap hari, kami beli sayur dengan Mas Jawa yang datang ke kampung. Kalau dia tak datang. Kami terpaksana makan seadanya. Seperti dengan telur dan ikan kalengan,” ungkap Kocin.
Keadaan memang tak berpihak dengan warga. Sekilas, tak ada hal pelik yang terjadi dengan warga Sungai Rosat. Tapi, nyatanya, rintihan dan keluhan akan kenyataan yang dihadapi terdengar begitu sendu. Warga tak dapat berbuat banyak.Yang penting adalah kebutuhan hidup sehari-hari dapat tercukupi. Dengan suatu harapan, adanya perhatian yang lebih. Dan juga berharap kembalinya lahan-lahan milik mereka. Sesuai dengan janji yang pernah diungkapkan saat warga menyerahkan lahan dengan suka rela untuk pembukaan dan perluasan lahan perkebunan sawit. “Kami akan terus menuntut hak kami sampai kapanpun. Lahan kami harus dikembalikan dengan ganti rugi yang memadai,” kata Acan.

Habis Manis, Sepah Dibuang
Malam semakin larut. Perbincangan dengan Acan dan Kocin semakin menarik saja. Sebagai Kepala Adat, Acan sampai saat ini tak pernah berhenti memperjuangkan hak masyarakat. Berulangkali ia mengungkapkan kurangnya perhatian pihak PTPN XIII terhadap masyarakat. “Janji tinggal janji, ndak ada bukti. Mana pernah kami dibantu,” kata Acan dengan lantang. “Kami ini seperti dibunuh dengan cara tidak langsung,”tegasnya lagi.   
Dari dulu, hingga saat ini. Warga memang telah bosan dengan janji-janji yang disampaikan pihak perusahaan. “Dulu, mereka datang ke sini banyak janji. Mereka bilang, perkebunan sawit akan membantu masyarakat,” kata Acan. Tapi, nyatanya. Masyarakat tak merasakan apa yang dijanjikan itu. “Bapak jangan kuatir, pemerintah membangun perkebunan ini untuk masyarakat. Hak bersama. Masyarakat jangan malas, nanti dikasih pekerjaan yang layak,” katanya menirukan janji-janji yang pernah disampaikan pihak pemerintah maupun perusahaan kepada warga.
Pekerjaan dan hidup yang layak, menjadi janji manis yang dijual kepada warga. Tapi, kata Acan, yang terjadi malah sebaliknya. “Sekarang apa, banyak numpuk surat lamaran pekerjaan di sana. Berapa puluh orang. Tapi, tak pernah diproses,” ujarnya. Warga berulang kali mempertanyakan masalah itu, tapi tak ada jawaban pasti yang mereka dapatkan. “Ndak ada. Udah kita susul, ndak ada jawabannya. Masalah itu dibilang hak mereka, bukan hak kita,” ujarnya.  
Dalam hal perekrutan tenaga kerja, masyarakat juga mengeluhkan. Mayoritas, yang bekerja di perkebunan adalah orang-orang luar atau yang bukan warga Sungai Rosat. Jika diteliti, masih banyak warga Sungai Rosat yang belum mendapatkan pekerjaan. “Orang-orang yang jauh, yang diambil mereka. Malah, kebanyakan orang dari luar Kalimantan. Padahal kami di sini masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata Kocin menambahkan. Di sinilah, timbul keresahan. Bahkan kemarahan warga. Padahal, dulunya pernah ada janji, jika yang diutamakan adalah putra daerah setempat atau penduduk pribumi. “Banyak yang dari luar Kalimantan,” katanya.
Selain masalah lapangan pekerjaan. Selama ini, warga merasa sangat tidak diperhatikan. Pihak perusahaan seperti lepas tangan. “Sekarang janji tinggal janji. Mana mereka mau tau. Lihat saja udah,” kata Acan. Dalam berbagai hal, masyarakat terabaikan. Seharusnya, tidak demikian. Seperti yang tersurat dalam beberapa poin surat perjanjian antara masyarakat dan perusahaan.
 Salah satu poin perjanjian itu tercakup makna bahwa, pihak perusahaan harus turut serta dalam membangun perkampungan. Itupun tak semuanya dibebankan kepada perusahaan, tapi bersama-sama dengan masyarakat. Tapi, kesepakatan itu tak berpihak kepada masyarakat. Yang ada, sebaliknya. “Lihat jalan, seperti kolam lele,” kata Acan. Bagi Acan, keadaan tersebut adalah bentuk ketidakpedulian terhadap mereka. Padahal masyarakat sangat mengandalkan jalan itu dalam melaksanakan aktivitasnya.
Tak hanya jalan. Sedikitpun pihak perusahaan tak pernah peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di kampung Sungai Rosat. “Mana ada anak-anak kami dibantu,” kata Kocin. Warga berusaha untuk mandiri menyekolahkan anaknya. Begitupun dalam hal membangun kampung. Masyarakat sadar, tak ada yang dapat diharapkan dari pihak perusahaan. Bukannya bantuan yang mereka dapatkan, tapi kesengsaraan.
Memang banyak hal yang diungkapkan Acan dan Kocin. Realita yang apa adanya tentang kehidupan masyarakat Sungai Rosat, terus mereka kumandangkan. Tak banyak yang mengerti dengan yang mereka alami. Malah, pihak yang mengerti, tak sedikitpun berempati.
Karena itu, bersama masyarakat, keduanya tak akan pernah berhenti memperjuangkan hak yang sesungguh dimiliki mereka. Hak-hak yang telah terampas. Meski harus berhadapan dengan orang-orang yang penuh dengan kekuasaan dan kelicikan, tapi mereka tak akan pernah mundur. “Kita akan terus berjuang. Menuntut hak kita yang dirampas. Jika terus diperlakukan seperti ini, tahun 2010 ini kami akan minta lahan milik kami dikembalikan. Jika tidak, ini akhir. Saya mengatakan, daripada saya hidup seperti ini, bagus saya mati,” kata Acan.
Perkataan Acan itupun menjadi akhir dari perbincangan. Di saat malam semakin tinggi, dan lampu-lampu di rumah warga satu per satu mulai dipadamkan. Kampung Sungai Rosat pun tampak begitu gelap. Segelap kenyataan yang tengah menerpa masyarakatnya. Di saat harus hidup dalam belenggu ketidakpastian, akibat perluasan perkebunan sawit yang tak berorientasi pada kemakmuran masyarakarakat adat setempat.
  




Tidak ada komentar: