Minggu, 13 Juni 2010

NARKOBA TERUS MERAJA LELA!!!!
Narkoba dan Jenisnya
Peredaran narkoba di masyarakat semakin marak saja. Dari waktu-waktu jumlah pengguna narkoba terus meningkat. Tak kenal usia dan tak kenal strata ekonomi. Mulai dari remaja, dewasa, dan tua terperangkap dalam kelamnya narkoba. Begitu juga dengan masyarakat kalangan miskin, menengah, dan atas. Narkoba pun menjadi masalah pelik dan kompleks yang menjadi momok berarti. Tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan penggunanya, tetapi juga berdampak buruk pada aspek ekonomi sosial budaya, pertahanan keamanan, dan perkembangan kehidupan bangsa. Lalu, apa itu narkoba, sehingga begitu memesona dan menjadi masalah pelik yang harus diselesaikan?
Di Indonesia, istilah narkoba dipakai untuk menyingkat kata narkotika dan bahan berbahaya. Selain istilah itu, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan RI adalah NAPZA yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Akan tetapi, pada intinya pemaknaan kedua istilah tersebut tetap merujuk pada jenis-jenis zat yang memiliki resiko dan pada umumnya oleh masyarakat disebut berbahaya.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, dijelaskan pengertian dari narkotika dan psikotropika. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Istilah narcotic sudah ada ada sejak dahulu kala. Dalam ensiklopedia, secara etimologi kata narcotic berasal dari bahasa Yunani yang berarti kelenger, yang merujuk pada sesuatu yang bisa membuat seseorang tak sadarkan diri. Dalam bahasa Inggris, narcotic lebih mengarah ke konteks yang artinya opium atau candu. Istilah candu kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat dunia.
Dalam perkembangannya, candu atau narkoba digunakan untuk berbagai kepentingan. Candu pertama dikenal oleh bangsa Sumeria. Orang Sumeria menyebutnya Hul Gill. Artinya, “tumbuhan yang mengembirakan”. Disebut menggembirakan karena efek yang diberikannya dapat melegakan rasa sakit dan membuat penggunanya cepat terlelap. Dari situlahlah kemudian para ahli atau para pakar kesehatan melakukan beberapa perubahan. Mereka memodifikasi candu dengan berbagai kepentingan. Dari modifikasi tersebutlah dikenal istilah morfin, heroin, dan lain-lainnya. Morfin dibuat untuk kepentingan perang, sebagai penghilang rasa sakit. Begitu juga dengan heroin, yang digunakan sebagai obat penghilang rasa sakit. Perkembangan teknologi memang tak dapat dielakkan. Candu atau narkoba dimodifikasi dengan berbagai campuran khusus, yang kemudian menghasilkan wujud-wujud baru.
Di Indonesia, narkoba atau NAPZA populer dalam berbagai jenis. Seperti yang dirilis oleh situs Badan Narkotika Nasional (BNN), jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah opioid dan kokain. Smentara apa yang dikenal dengan morfin, heroin (putaw), codein, demerol, dan methadone merupakan turunan dari opiod.
Morfin merupakan zat aktif (narkotika) yang diperoleh dari candu melalui pengolahan secara kimia. Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan di bawah kulit, ke dalam otot-otot atau pembuluh darah. Sementara heroin (putaw) merupakan golongan narkotika semisintetis yang dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi. Heroin murni berbentuk bubuk putih, sedangkan heroin tidak murni berwarna putih keabuan. Putih heroin murni hampir mirip dengan putih tepung. Zat ini sangat mudah menembus otak sehingga bereaksi lebih kuat daripada morfin itu sendiri. Hampir sama dengan morfin, heroin juga umumnya digunakan dengan cara disuntik atau dihisap. Walaupun pembuatan, penjualan, dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi heroin selalu diusahakan tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal, karena efek analgesik dan euforiknya yang baik.
Codein termasuk garam. Codein merupakan turunan dari opium atau candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin. Potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Codein dipakai dengan cara ditelan atau disuntikkan. Begitu juga dengan demerol. Cara pemakaian demerol adalah dengan ditelan atau disuntikkan. Demerol dijual dalam bentuk pil atau cairan tidak berwarna. Sementara methadone merupakan jenis narkotika yang saat ini sering digunakan dalam pengobatan ketergantungan opioid. Tiga jenis opioid yang disebut terakhir ini memang sedikit asing di telinga masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tetap saja memiliki efek bahaya jika disalahgunakan.
Jenis narkotika yang kedua adalah kokain. Kokain adalah zat yang adiktif yang sangat berbahaya. Gejala putus kokaian dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Itulah efek bahaya dari penggunaan penyalahgunaan kokain. Narkotika jenis ini berasal dari tanaman belukar Erythroxylon Coca. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan. Oleh penduduk asli di tempat tersebut, tanaman itu biasanya dikunyah untuk mendapatkan efek stimulan. Saat ini kokaina masih digunakan sebagai anestetik lokal. Khususnya untuk pembedahan mata, hidung, dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksif-nya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotika, bersama dengan morfin dan heroina karena efek adiktif.
Sama halnya dengan narkotika, prikotropika di Indonesia juga beredar dalam berbagai jenis. Psikotropika terbagi dalam empat golongan. Ada psikotropika gol I, psikotropika gol II, psikotropika gol III, dan psikotropika gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan di Indonesia adalah psikotropika gol I dan psikotropika gol II. Psikotropika gol I yang populer adalah ekstasi, sedangkan gol II adalah sabu-sabu.
Ekstasi berbentuk pil yang dipakai dengan cara diminum atau ditelan. Ektasi memberikan beragam efek bagi pemakainya. Efeknya dirasakan maksimum satu jam. Tubuh pemakai akan terasa melayang dan lengan, kaki, serta rahang kadang-kadang terasa kaku. Ciri-ciri pemakai ekstasi dapat dilihat dari pupil matanya yang semakin membesar. Psikotropika jenis ini memang sangat populer dan menjadi ladang bisnis yang sangat menjanjikan. Hal ini dikarenakan efek yang ditimbulkan membuat pemakainya merasa nyaman. Selain itu, akan timbul juga perasaan seolah-olah pemakainya merasa hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Begitu juga dengan pikiran yang terasa kosong, rileks, dan asyik.  Efek-efek inilah yang membuat narkotika diminati para penggunanya.
Sabu-sabu merupakan jenis psikotropika gol II yang berbentuk kristal. Pada umumnya berwarna putih. Sabu-sabu dipakai dengan cara dibakar di atas alimuniun foil sehingga mengalir dari ujung satu ke ujung yang lain. Asap yang ditimbulkan kemudian dihirup dengan sebuah bong. Bong ialah sejenis pipa yang di dalamnya berisi air. Sabu-sabu sering ditenggarai sebagai penyebab dari timbulnya rasa takut yang berlebihan (paranoid), menjadi sangat sensitif (mudah tersinggung), halusinasi visual. Setiap pemakai sabu-sabu akan mengalami efek tersebut dalam kadar yang berbeda. Jika sedang banyak mengalami masalah, sebaiknya sabu-sabu jangan dikonsumsi, karena akan sangat berbahaya.
Selain jenis-jenis narkoba yang telah disebutkan di atas, masih ada jenis lain yang sudah beredar di masyarakat. Tanpa disadari, mungkin saja jenis-jenis narkoba lainnya telah berubah bentuk atau wujud. Perubahan bentuk bisa jadi dilakukan untuk memudahkan dan melancarkan proses peredarannya di masyarakat. Tetapi, apapun jenis maupun bentuk dari narkoba atau NAPZA, pastinya akan menjadi sangat berbahaya jika disalahgunakan. Perlu kehati-hatian dan sikap preventif dari masyarakat untuk mencegah semakin meluasnya peredaran narkoba.

Dilema Narkoba
Narkoba atau NAPZA, dari bermanfaat menjadi sangat berbahaya.. Dari “putih” menjadi “hitam”. Dari positif menjadi negatif. Perkembangan dan kemajuan pola pikir manusia telah mengubah fungsi narkoba. Kini narkoba menjadi sesuatu yang sangat ditakuti dan diharamkan. Narkoba pun menjadi dilema bagi kehidupan manusiam antara berkah dan musibah.
Narkoba tak hanya dilihat dari aspek berbahanya. Kebermanfaatan dari beberapa jenis narkoba juga perlu disadari. Hanya saja, sisi positif itu tak terlalu bergema di kalangan masyarakat. Malah sebaliknya, kemudaratannya yang lebih bergema. Kebermanfaatan yang dimaksud itu ada jika narkoba digunakan sesuai kaidah dan kadarnya. Lihat saja, pada saat perang dunia I, beberapa negara menggunakan morfin sebagai obat untuk menghilangkan rasa sakit prajuritnya dari luka-luka perang. Sehingga, morfin saat menjadi komponen penting yang tidak dapat disepelakan peranannya.  Begitu juga dengan heroin. Heroin diproduksi sebagai obat penghilang rasa sakit.  
 Sampai saat ini, beberapa jenis narkoba juga masih diperlukan. Khususnya untuk kepentingan kesehatan. Seperti dalam proses pembedahan atau operasi terhadap bagian tubuh tertentu manusia. Proses ini tidak hanya menuntut keterampilan yang profesional dari seorang dokter. Apalagi hanya mengandalkan peralatan yang prima dan canggih. Tetapi, diperlukan juga zat-zat khusus untuk menjaga keamanan pasien saat pembedahan atau operasi berlangsung. Dalam hal ini biasanya tim dokter dapat melakukan pembiusan dengan menggunakan obat bius jenis narkotika. Di situlah letak kebermanfaatan dari narkoba yang tidak dapat dilupakan. Selain itu, narkoba juga bermanfaat dalam kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu kesehatan. Melalui pengembangan ilmu tentunya diharapkan dapat lahir penemuan-penemuan baru yang mengarah pada peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
 Dewasa ini, narkoba telah banyak beredar di kalangan masyarakat luas. Akan tetapi, masyarakat tidak memanfaatkan zat tersebut sebagaimana yang dilakukan para ahli kesehatan dan peneliti. Dalam hal inilah telah terjadi penyalahgunaan narkoba. Penggunaan dengan dosis yang melebihi ukuran normal, apalagi dalam kasus penyalahgunaan akan menghadirkan dampak-dampak negatif bagi pemakainya. Apalagi penggunaan narkoba melalui media jarum suntik secara bergantian. Resiko besar dari hal itu adalah tertularnya penyakit HIV yang sampai saat ini belum ditemukan secara pasti obatnya. Dampak-dampak itu juga tergantung sampai di taraf mana penyalahgunaan narkoba dilakukan. Ada beberapa tingkatan penyalahgunaan, seperti coba-coba, senang-senang, dan ketergantungan. Tahap ketergantungan atau kecanduan merupakan tahap yang sangat berbahaya. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadi kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP). Tidak hanya itu, organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati, dan ginjal juga akan mengalami kerusakan.
Peningkatan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia memang tak dapat dielakkan lagi. Celakanya, penyalahgunaan narkoba membuka peluang bisnis baru yang sangat menjanjikan. Sebagian orangpun tertarik dan terperangkap dalam bisnis tersebut. Bisnis ini jugalah yang membuat peredaran narkoba semakin merajalela di Indonesia, karena dikelola secara profesional. Fakta-fakta menunjukkan jika Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional peredaran narkoba. Hal ini dipertegas dengan banyaknya warga asing yang tertangkap basah membawa dan mengedarkan narkoba di Indonesia. Selain itu, dengan ditemukannya pabrik-pabrik ekstasi di Jakarta beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa Indonesia merupakan lahan subur bagi peredaran narkoba.
Indonesia menjadi sasaran empuk tempat peredaran narkoba jaringan internasional. Hal ini juga tidak lepas dari faktor banyaknya jumlah pengguna narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis pengguna narkoba di Indonesia pada akhir tahun 2009 mencapai 3,6 juta orang. Jumlah tersebut tentu akan terus meningkat, seiring makin marak dan mudahnya peredaran narkoba. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba menjadi persoalan urgen—bahkan sulit—untuk diselesaikan.
Pengguna narkoba di Indonesia telah merambah di segala usia. Menurut BNN, pada tahun 2009, hampir 40 persen dari jumlah pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar atau remaja. Sementara 70 persen pengguna narkoba adalah kalangan pekerja. Penyalahgunaan narkoba pun tidak hanya di kalangan pria. Perempuan-perempuan di Indonesia banyak yang terlibat dalam penyalahgunaan maupun peredaran narkoba. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh BNN bekerja sama dengan Univesitas Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah perempuan pengedar dan pemakai narkoba sejumlah 6.344, tahun 2007 meningkat hingga 10.270, tahun 2008 meningkat lagi menjadi 10.413, dan tahun 2009 jumlah perempuan yang menjadi pengedar dan pemakai narkoba berjumlah 9.213.
Narkoba seakan telah menjadi kebutuhan pokok bagi para penggunanya. Ketergantungan menjadi hal pelik yang sulit untuk dilepaskan. Bermula dari keinginan untuk mencoba yang akhirnya berakhir pada kemauan untuk terus menggunakan. Selain karena coba-coba, banyak faktor penyebab lain sehingga seseorang menggunakan narkoba. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak dapat dipungkiri jika pengguna narkoba sebagian banyak dilakukan oleh kaum remaja. Khususnya remaja-remaja di perkotaan. Kaum remaja menjadi sasaran utama dari peredaran narkoba. Jika dicermati, memang sangat sulit untuk mengetahui alasan pasti mengapa fenomena itu bisa terjadi. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya. Tetapi, ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai catatan penting berkaitan dengan penggunaan narkoba di kalangan remaja. Seperti yang dijelaskan dalam arikel “Remaja dan Narkoba” yang dirilis oleh situs Kementerian Sosial Indonesia bahwa penggunaan narkoba oleh remaja erat kaitannya dengan beberapa hal menyangkut sebab, motivasi, dan akibat yang ingin dicapai. Fenomena itu pun dapat dilihat secara sosioloigis, subjektif individual, dan objektif.
Secara sosiologis, penggunaan narkoba oleh kaum remaja merupakan suatu tindakan yang disadari. Tindakan tersebut didasarkan atas  pengetahuan atau pengalaman, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial. Secara subjektif individual, penggunaan narkoba oleh kaum remaja merupakan satu di antara akselarasi upaya individual atau subjek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga. Padahal hal tersebut pada hakikatnya merupakan kebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu. Terutama bagi anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Secara objektif, penggunaan narkoba merupakan visualisasi dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat. Itulah beberapa di antara faktor penyebab remaja bersentuhan dengan narkoba. Selain faktor tersebut, masih banyak faktor lain yang meyebabkan seseorang mengonsumsi narkoba. Apalagi mengenai penggunaan narkoba secara universal. Tergantung dari perspektif mana permasalahan tersebut dipandang.

Undang-Undang Narkotika
Masalah peredaran narkoba atau NAPZA di Indonesia merupakan sesuatu yang kompleks. Narkoba dianggap juga sebagai musuh utama perkembangan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah selalu berupaya dengan segala program-programnya untuk memerangi peredaran narkoba di Indonesia. Beberapa undang-undang dibuat untuk mengaturnya.
Peredaran narkoba di Indonesia sudah berlangsung lama. Sejak masa penjajahan Belanda, masalah narkoba pun telah menjadi perhatian khusus. Pada saat itu, pemerintah Belanda hanya memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk mengonsumsi narkoba (candu) dan pengadaan (suplay). Hal itu dianggap legal dan dibenarkan berdasarkan undang-undang. Selain itu, untuk menghindari pemakain dan akibat-akibat pemakaian yang tidak dinginkan, pemerintah Belanda membuat undang-undang yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No. 278 Juncto 536). Setelah merdeka, baru pemerintah Indonesia melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan narkoba.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan UU Narkotika warisan Belanda yang dibuat tahun 1927 sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal, khususnya tentang peredaran gelap. Selain itu, diatur juga tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Mengingat semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. SehinggaUU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-undang ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 kemudian direvisi dan kemudian disusun Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Alasan yang perlu diperhatikan dalam peraturan ini adalah bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional. Artinya tindak pidana narkotika telah dilakukan dengan menggunakan modus operasi yang tinggi dengan menggunakan teknologi canggih yang didukung oleh jaringan organisasi yang luas. Hal yang lebih memprihatikan adalah tindak pidana tersebut semakin banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa. Kenyataan itu tentu sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. disusunlah
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 termuat tujuh belas bagian penting mengenai narkotika. Pada BAB III pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa narkotika ke dalam tiga golongan, yaitu golongan I, II, dan III. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Khusus mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dijelaskan pada BAB XV. Dalam BAB tersebut diatur mengenai jumlah hukuman bagi setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyediakan, memproduksi, menyalurkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, menggunakan dan memberikan narkotika, baik narkotika gol I, II, dan III. Misalnya untuk narkotika gol I, beberapa pasal menjelaskan ketentuan pidana seperti berikut.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki dan menyediakan narkotika gol I dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika gol I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat  lima tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00.
Untuk ketentuan pidana mengenai penyalahgunaan narkotika gol II dan III juga diatur secara jelas dalam BAB tersebut. Misalnya saja, setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki dan menyediakan narkotika gol II dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00. Untuk narkotika gol III, Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki dan menyediakan narkotika gol III dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400.000.000,00 dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00.
Sementara mengenai penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri dijelaskan pada pasal 127 ayat 1. Bagian pertama dijelaskan bahwa setiap penyalahguna narkotika gol I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.  Bagian kedua, penyalahguna narkotika gol II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Bagian ketiga, penyalahguna  narkotika gol III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun.
Hukum narkoba atau Undang-Undang Narkotika tentunya dibuat dengan satu tujuan utama, yaitu untuk membatasi penyalahgunaan narkoba sehingga lingkungan masyarakat menjadi aman dan nyaman. Melalui hukum itu juga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para penyalahguna narkotika. Dengan demikian, dampak negatif dari narkoba dapat diminimalisasi atau bahkan sama sekali hilang dari lingkungan masyarakat.

Terungkapnya Pabrik Narkoba di Kalbar
Provinsi Kalimantan Barat tak luput dari ancaman peredaran narkoba. Hal itu semakin dikuatkan menyusul ditemukannya pabrik narkoba di kediaman Edwin Rahadi, Putra Almahrum Henry Usman (mantan Sekda Kalbar yang juga mantan Ketua Partai Demokrat Kalbar) pada tanggal 5 April 2010. Penemuan pabrik tersebut merupakan hasil pengembanganan penyidikan aparat kepolisian terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan Edwin Rahadi terhadap Uray Qory, remaja berusia 19 tahun warga desa Bekut, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.
Di dua rumah yang ditempati Edwin, yakni di Jl Soeprapto VII dan Jl Adisucipto Pontianak, polisi menemukan sejumlah bahan dan peralatan membuat ekstasi dan sabu-sabu. Selain itu, polisi juga menemukan ribuan pil yang awalnya diduga ekstasi. Tapi, setelah polisi mengadakan pengembangan lebih lanjut, ternyata bahan itu bukan ekstasi, melainkan shabu-shabu. Hal ini diperkuat oleh hasil uji laboratorium Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menunjukkan bahwa barang temuan di kediaman Edwin positif mengandung metamine.  
Hal tersebut diungkapkan oleh Kompol Reza Pahlevi, Kasat Narkoba Poltabes Pontinak bahwa hasil uji laboratorium BPOM semakin menguatkan keyakinan polisi bahwa Edwin Rahadi membuat sabu-sabu, bukan ekstasi seperti dugaan semula ketika pabrik narkoba itu terungkap. Hal ini dikarenakan kandungan pembuat ekstasi berbeda dengan sabu-sabu. “Hasil uji lab dari ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) hampir sebagian besar positif  mengandung metamine. Begitu juga hasil uji lab BPOM yang menunjukkan kandungan metaminenya seratus persen. Metamine ini kandungan yang digunakan untuk membuat sabu-sabu,” katanya.  
Pabrik narkoba Edwin Rahadi ini telah beroperasi sejak September 2009. Itulah yang diakui oleh Edwin kepada pihak kepolisian. Edwin mengaku jika produksi sabu-sabu itu sekedar coba-coba. Menyusul diketahui bahwa Edwin Rahadi memproduksi sabu-sabu, pihak kepolisian terus menyelidiki keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses produksi tersebut. “Menurut logika kita, sebegitu banyak proses kimia dan sebegitu banyak peralatan yang digunakan, tidak mungkin dia bekerja sendiri.” ungkap Kompol Reza Pahlevi. Sampai sejauh ini, selain Edwin, polisi juga sudah menetapkan tujuh orang tersangka lainnya. Ketujuh orang itu adalah Reza, Wina, Fitri, Agil, Adam, Sari, dan Paul Herman. Polisi masih terus mencari keterangan mengenai sejauhmana peran masing-masing ketujuh tersangka tersebut. Selain itu, polisi juga terus mencari informasi mengenai keterlibatan  perusahaan travel milik Edwin, yaitu Rahadi Trave dalam pendistribusian narkoba.
Mengenai kepastian rumah mana yang digunakan Edwin Rahadi untuk memproduksi narkoba, pihak BNN menyatakan bahwa rumah di Jl Adisucipto Pontianak dipastikan sebagai tempat proses produksi. “Tempat masaknya, bikinnya di sini,” kata Brigjen Pol Tommy Sagiman, Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Kapusdalops) BNN saat mengadakan pengeledahan di rumah tersebut. Kepastian rumah tersebut sebagai tempat proses produksi menyusul penemuan tim BNN bahwa ditemukan sejumlah peralatan yang digunakan tersangka untuk memproduksi narkoba. “Ada alat pengering uap, ada tabung reaksi, ada kompor listrik, ada kompor yang pakai timer. Kita ada menemukan bahan kimia, H2O2 untuk peroxide, ada korek api, dan ada ephedrine, ” ujar Brigjen Pol Tommy. Kepastian rumah di Jl Adisucipto digunakan sebagai tempat produksi juga diakui oleh Edwin Rahadi. Menurut Brigjen Tommy, selain mengakui fungsi rumah itu sebagai tempat produksi, Edwin juga mengatakan kalau bahan-bahan tersebut dibeli dari Pasar Pramuka Jakarta dan dibawa ke Kalbar menggunakan kapal laut.
Dengan temuan tersebut, tim BNN dapat memastikan bahwa rumah mewah milik Edwin yang berada di Jl Soeprapto VII hanya dijadikan sebagai tempat penyimpanan narkoba yang sudah jadi dan tempat penyimpanan bahan baku sabu-sabu. Tim memang menemukan beberapa alat pembuat narkoba di tempat tersebut, tapi tidak digunakan di situ. “Ada ditemukan precursor-precursor untuk membuat narkoba, tapi itu bukan tempat pembuatan. Itu hanya penyimpanan saja,” ungkap Brigjen Tommy. Di tempat itu, tim BNN juga menemukan bahan-bahan untuk membuat sabu-sabu. “Ada acetone, ada methamphetamine. Itu bahan semua untuk buat sabu. Bahan untuk buat ecstasy ngak ada,” kata Brigjen Pol Tommy. Barang
Hasil penyidikan yang dilakukan oleh tim BNN juga semakin mempertegas bahwa komplotan Edwin bukan pemroduksi narkoba yang amatiran. Mereka sudah terampil dengan menggunakan beberapa metode khusus untuk meracik narkoba. Menurut Karolin, Petugas  Laboratorium Uji Narkoba Jakarta yang ikut dalam tim BNN menjelaskan bahwa Edwin bersama para kroninya meracik narkoba dengan mempelajari sejumlah metode. Di antaranya metode lazars maupun metode nazi. Metode nazi lebih mudah dilakukan karena tidak membutuhkan peralatan yang kompleks. “Orang biasa bisa membuatnya asal bahannya tersedia sesuai dengan formulanya,” kata Karolin.
 Fakta lain dari temuan tim BNN di lapangan juga mengindikasikan bahwa Edwin punya jaringan yang telah terorganisir dengan baik. Dengan ditemukannya beberapa bahan baku untuk membuat sabu-sabu, seperti lithium, ephedrine, acetone, dan methamphetamine yang merupakan bahan yang tidak mudah untuk didapatkan dan tidak dijual secara sembarangan, menggambarkan jika komplotan Edwin memiliki jaringan yang cukup kuat. “Di Indonesia, barang-barang seperti itu biasanya diimport karena tidak ada pabriknya. Bahan-bahan tersebut juga tidak dijual secara bebas. Bahan ini harus ada izinnya dari Depkes,” ungkap Brigjen Pol Tommy Sagiman.
Sementara itu, Ketua Badan Narkotika Provinsi Kalbar, Cristiandy Sanjaya merasa prihatin dengan terbongkarnya kasus ini. Menurut Cristiandy Sanjaya yang juga merupakan Wakil Gubernur Kalbar, BNP akan lebih meningkatkan lagi upaya-upaya penanggulangan sesuai dengan kemampuan yang ada di tubuh BNP. Selama ini, BNP lebih terfokus pada upaya pencegahan, sementara pihak kepolisian cenderung pada upaya penindakan.  “Kita akan tingkatkan sosialisasi tentang bahaya narkoba dan lebih banyak berkoordinasi dengan kepolisian. Memang, kita bukan merazia, tetapi kita akan lakukan berbagai upaya,” jelasnya.

Epidemi Kasus Narkoba di Kalbar
Peredaran narkoba di Indonesia bagaikan air yang terus mengalir. Tak ada hentinya dan juga tak ada habisnya. Termasuk juga di Provinsi Kalimantan Barat. Dari tahun-tahun, tercatat banyak kasus narkoba yang berhasil diungkap pihak Kepolisian Daerah Kalbar. Fakta itu menggambarkan bagaimana gencar dan luasnya perdaran narkoba di Kalbar. Kalbar tak lagi hanya menjadi sasaran dari peredaran narkoba, tapi pencetaknya.
Pada tahun 2007, tercatat ada 164 kasus narkoba yang diungkap oleh Polda Kalbar. Jumlah tersangka yang berhasil diciduk adalah 177 orang.
 

Tidak ada komentar: